KlikDokter.com - Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan keputusan memperbolehkan para jemaah yang akan pergi umrah atau haji untuk melakukan vaksinasi meningitis - walaupun dalam proses pembuatan vaksin tersebut menggunakan enzim tripsin yang berasal dari babi-, beberapa pihak masih kembali memertanyakan posisi keabsahan hukum halal dan haramnya.
Jika kita membuka-buka kembali buku pelajaran Biologi SLTP atau SMU dulu, istilah tripsin dapat kita temukan dalam bab sistem pencernaan manusia. Tripsin merupakan salah satu dari 3 enzim pencernaan yang penting selain pepsin dan kimotripsin.
Ia dihasilkan oleh pankreas dan dikeluarkan ke dalam usus halus. Selain di manusia, enzim ini terdapat pula pada beberapa mamalia lain, termasuk babi dan sapi.
Saat ini tripsin babi digunakan karena kemiripan materi genetik (DNA) babi dengan manusia yaitu sebesar 96%.
Pun, pertimbangan utama MUI dalam memperbolehkan penggunaan vaksin ini adalah meninjau pentingnya vaksinasi tersebut dan belum adanya alternatif enzim tripsin babi dalam pembuatan vaksin.
Lagipula Pemerintah Arab Saudi memang memasukkan vaksinasi meningitis sebagai syarat diperbolehkannya calon jemaah haji masuk ke negaranya.
Karena penghentian penggunaan vaksin tentunya bukan pilihan yang bijaksana, karena vaksin sangat bermanfaat dalam pencegahan berbagai macam penyakit infeksi dengan potensi fatal yang mengancam Republik Infeksi (RI) ini.
Tingginya Risiko Infeksi
Mengingat tingginya risiko infeksi meningitis terhadap seseorang serta komplikasi yang dapat berakibat fatal, vaksinasi merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk mencegahnya.
Vaksin yang tersedia di pasaran saat ini adalah vaksin meningitis meningokokus A, C (bivalen) dan vaksin tetravalen yang terbuat dari bakteri serogrup A, C, Y, dan W135. Penambahan grup Y dan W135 terjadi karena 20% dari kasus meningitis meningokokus disebabkan oleh serogrup tersebut.
Karena di Arab Saudi banyak ditemukan serogrup W135, sedangkan banyak jemaahnya yang berasal dari Afrika (serogrup A dan C), calon jemaah haji diwajibkan untuk mendapatkan vaksinasi meningitis jenis tetravalen.
Paparan meningitis meningokokus sendiri tersebar secara sporadis di seluruh dunia dengan variasi musiman.
Negara-negara yang terletak pada Afrika sub-Sahara, antara Senegal pada bagian barat sampai Etiopia di timur, menjadi tempat di mana epidemi luas penyakit ini terjadi pada musim kemarau sehingga disebut juga sebagai sabuk Meningitis.
Epidemi di Afrika berhubungan dengan N. meningitides serogrup A dan C. Pada tahun 2000 dan 2001 beberapa ratus jemaah haji di Saudi Arabia terinfeksi N. Meningitis W135.
Tidak Hanya Meningitis
Proses produksi vaksin polio terdiri dari beberapa tahapan, yang pertama adalah penyiapan medium (sel vero) untuk pengembangbiakan virus.
Penyiapan sel vero dilakukan menggunakan mikrokarier (bahan pembawa yang akan mengikat sel) yaitu N, N diethyl amino ethyl (DEAE).
Tripsin dengan sifat proteasenya digunakan pada proses selanjutnya dimana sel vero harus dilepaskan dari mikrokarier. Setelah itu tripsin harus dicuci bersih untuk kelangsungan proses produksi.
Jadi, pada tahap produksi berikutnya sampai akhir, tidak ada lagi unsur babi yang digunakan. Pada hasil akhirnya dalam bentuk vaksin, enzim tersebut tidak akan terdeteksi. Hal ini berlaku dalam produksi vaksin apapun.
Ternyata, selain tripsin, produksi vaksin juga menggunakan bahan-bahan lain status haramnya belum jelas, seperti jaringan ginjal kera, sel dari ginjal anjing, dan dari retina mata manusia untuk media biakan virus untuk pengembangan vaksin influenza.
Sel ginjal monyet juga digunakan untuk produksi vaksin polio, sedangkan sel embrio ayam untuk produksi vaksin campak.
Karena itu, dari berbagai vaksin yang tersedia di Indonesia, yang betul-betul bebas dari keterlibatan bahan haram adalah vaksin campak yang dibiakkan dengan embrio telur ayam dan bebas dari penggunaan tripsin babi.
Vaccine Goes Vegan
Satu-satunya solusi yang mungkin dapat memecahkan masalah ini adalah pengembangan vaksin yang tidak menggunakan bahan-bahan yang telah dibahas di atas.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Bio Farma, Drs. Iskandar, Apt., M.M mengatakan bahwa saat ini PT. Bio Farma sedang melakukan penelitian untuk mengganti enzim dari binatang dengan sediaan yang berasal dari tanaman, dalam hal ini enzim yang diolah dari kacang kedelai. Hasil penelitian ini mungkin baru akan terwujud 2 – 3 tahun lagi.