Kesehatan Anak

Mengurai Problem Penanganan Stunting

Tim Redaksi KlikDokter, 30 Jun 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Kasus stunting diprediksi meningkat selama pandemi. Kondisi tersebut mengancam generasi masa depan. Di lapangan problem stunting sulit diurai.

Mengurai Problem Penanganan Stunting

Eni Gustina waswas menanti hasil Pendataan Keluarga 2021. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) ini khawatir situasi stunting di Indonesia yang diprediksi lembaganya menjadi kenyataan.

"Sedang dihitung, tapi kami baru dapat kabar-kabar bahwa kemungkinan akan naik lagi sekitar 30 persen," katanya.

Perkiraan tersebut, bila benar menjadi kenyataan, bisa menjadi kabar buruk. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak. Keadaan tersebut terjadi karena kurangnya asupan nutrisi.

Tren kasus stunting di Indonesia sepanjang satu dekade terakhir sebenarnya cukup menggembirakan. Dari tahun ke tahun, angka kejadian berhasil ditekan.

Riset kesehatan Dasar 2013, yang dilaporkan Badan Pusat Statistik, menunjukkan  kasus stunting di Indonesia mencapai 37,8 persen dari total anak. Angkanya turun signifikan menjadi 30,8 persen di survei serupa yang diselenggarakan pada 2018.

Upaya penanganan stunting tampak berada di jalur yang benar. Sebab, Studi Status Gizi Indonesia tahun 2019 kembali menunjukkan penurunan kasus yang tajam.

Temuan survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI itu mendapati kasus stunting di Indonesia sebanyak 27,67 persen dari populasi balita.

Memburuknya situasi stunting pada 2021 diduga berhubungan erat dengan pandemi COVID-19.

Begitu pandemi melanda Indonesia, sektor ekonomi ikut terpukul. Akibatnya, banyak orang yang kini kehilangan pekerjaan. Daya beli masyarakat terhadap kebutuhan makanan bernutrisi yang memadai juga merosot.

"Dengan banyaknya yang di-PHK ada kemungkinan peningkatan stunting, tapi kita belum bisa bicara soal berapanya karena angkanya belum masuk," Eni memperkirakan.

Artikel Lainnya: Dampak Stunting pada Masa Depan Anak

1 dari 5

Ambang Batas WHO

Hasil resmi riset Pendataan Keluarga 2021, menurutnya, baru akan rampung pada September mendatang. Kenaikan kasus stunting akan membuat Indonesia menjauh dari ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Lembaga tersebut mematok standar maksimal kasus stunting 20 persen di suatu negara. Jika kita merujuk data SSGI 2019 dengan 27 persen kasus stunting, artinya saat ini satu dari tiga anak di Indonesia mengalami stunting.

Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan. Dokter spesialis anak, Reza Fahlevi, mengatakan gagal tumbuh pada anak punya dampak jangka pendek dan jangka panjang.

Kondisi kekurangan nutrisi, pada jangka pendek, akan menurunkan daya tahan tubuh anak. Bukan tidak mungkin anak menjadi mudah sakit.

Pada jangka panjang, stunting punya dimensi yang lebih kompleks. Tak cuma masalah kesehatan, kekurangan gizi pada masa kecil bisa berdampak pada aspek ekonomi. 

"Intelektualitas orang yang pernah stunting akan lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang yang tidak stunting," ujar Reza.

Sederhananya, masalah stunting berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Hal itu sejalan dengan dengan penelitian Bank Dunia (World bank) seputar stunting.

Artikel Lainnya: Risiko Stunting Meningkat Saat Pandemi, Mengapa?

2 dari 5

Dampak Stunting Terhadap Ekonomi

Riset tahun 2018 itu menyimpulkan, gagal tumbuh berkorelasi dengan penurunan  produktivitas sebuah negara.

Diperkirakan, stunting dapat menurunkan produktivitas sebuah negara dan berdampak pada penurunan produksi domestik bruto antara 2-11 persen. Stunting juga berpengaruh pada pendapatan perkapita sebesar 7 persen.

Menurut Reza, penting bagi setiap orang tua memantau tumbuh-kembang anak. Ia mengingatkan, stunting merupakan jenis malnutrisi kronis.

Ketika tanda stunting pada seorang anak terdeteksi, artinya kondisi tersebut sudah gawat. "Jadi kalau kita bicara soal kapan ketahuannya (seorang anak mengalami) stunting, sebenarnya itu sudah telat," Reza menjelaskan.

Anak yang mengalami stunting, pada tahap awal, akan mengalami masalah berat badan rendah. Lama kelamaan, jika tidak segera diatasi, tinggi badan anak ikut bermasalah.

Mencegah, kata Reza, akan jauh lebih mudah ketimbang mengobati. Ia menjelaskan, 1000 hari pertama kehidupan, sejak kehamilan hingga anak berusia dua tahun, merupakan periode krusial untuk mencegah stunting.

Itu sebabnya ibu hamil dianjurkan memantau kehamilan tiap bulan. Kemudian, anak usia 0-1 tahun itu perlu pemantauan ke dokter juga setiap bulan. Sementara, anak usia 1-2 tahun dipantau per tiga bulan.

"Kalau terdeteksinya terlambat, sudah lebih dari usia dua tahun, mungkin masih bisa kita perbaiki. Kemungkinannya jauh lebih kecil dibandingkan kita mendeteksinya lebih cepat dalam dua tahun," Reza menambahkan.

Pada awal tahun lalu, Presiden Jokowi menunjuk BKKBN sebagai garda terdepan penanganan stunting. Pemerintah menargetkan stunting bisa ditekan hingga 14 persen pada 2024.

Artikel Lainnya: Gunakan Air Masak untuk Minum Berisiko Sebabkan Stunting pada Anak?

3 dari 5

Strategi Hulu ke Hilir

Eni Gustina mengatakan, strategi penanganan stunting BKKBN membentang dari hulu ke hilir. Salah satu penyumbang kasus stunting, kata dia, adalah bayi-bayi yang terlahir dengan kondisi tersebut.

Hitung-hitungan BKKBN, di Indonesia terdapat 5 juta kehamilan setiap tahun. "BKKBN mulai melihat intervensinya jauh ke hulu, dari calon pengantinnya," ungkap Eni.

Para calon pengantin akan menjalani penapisan. BKKBN menggunakan aplikasi tertentu, mengingat situasi pandemi membuat keterbatasan gerak petugas untuk mendatangi satu per satu.

Para calon pengantin akan mengisi form di aplikasi untuk mengidentifikasi risiko-risiko stunting pada kelahiran. Beberapa aspek yang akan dievaluasi antara lain umur calon pengantin, tinggi badan, kondisi anemia, hingga lingkar lengan atas.

Bila calon pengantin memiliki risiko stunting, BKKBN akan memberi edukasi agar mereka menunda kehamilan. "Kita berikan surat keterangan belum layak hamil," papar Eni.

Pemantauan juga akan dilakukan di masa kehamilan. Bagi bayi dan balita, akan ada pengawasan tumbuh-kembang menggunakan bantuan posyandu.

Artikel Lainnya: Cegah stunting, Perhatikan Ini Saat Pilih Susu untuk Anak

4 dari 5

Bisa Dialami Semua Kalangan

Meski berkaitan erat dengan kondisi ekonomi, tidak serta-merta stunting hanya menjadi masalah kesehatan yang dialami kelompok menengah ke bawah.

Pada dasarnya, kondisi kekurangan nutrisi bisa terjadi di kalangan mana pun. Masalah pemahaman terhadap kebutuhan gizi anak menjadi faktor yang menentukan.

"Ada kejadian nutrisinya kurang, karena orangtuanya tidak paham tentang pola makan anak, nah seperti ini artinya tidak sepenuhnya karena pengaruh ekonomi," jelas Eni.

Dalam kasus kelahiran anak kembar, misalnya, juga bisa menjadi faktor stunting. Sebab, anak kembar cenderung memiliki berat badan rendah.

"Kemungkinan dia juga daya serap makannya juga tidak baik. Jadi banyak faktor penyebab lain yang menyebabkan terjadinya stunting," Eni menambahkan.

Di lapangan, memberikan pemahaman seputar gizi anak menjadi kendala terbesar penanganan stunting. Pemahaman yang keliru itu berujung pada perilaku masyarakat yang tidak tepat.

Eni mencontohkan, di beberapa daerah, ada kebiasaan memberi makan anak dengan terlebih dulu mengunyah makanan di mulut orangtua.

"Dikunyah ibunya dulu, sudah dikunyah ibunya baru dikasih ke anaknya, jadi zat gizinya sudah tidak ada," kata Eni.

Di tempat lain, minimnya pemahaman berakibat pada fokus penggunaan anggaran dana desa yang tidak tepat sasaran.

Alih-alih untuk membiayai sektor kesehatan, ada kepala desa yang menggunakan dana desa sepenuhnya untuk membangun infrastruktur.

Artikel Lainnya: Pastikan Anak Stunting Mendapatkan 5 Nutrisi Ini Setiap Hari

5 dari 5

Masalah Multidimensi

Alhasil, stunting menjadi masalah yang tidak terselesaikan di daerah tersebut. Sementara itu, Nanda Dwinta Sari, Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan, menilai stunting sebagai masalah multidimensi.

Baginya, penanganan stunting bukan sekadar soal akses terhadap makanan sehat. Ia mencontohkan soal aspek budaya masyarakat seperti perkawinan anak.

"Perkawinan anak juga menyumbang terhadap bayi stunting, jadi harus banyak pihak memberikan perhatian dan termasuk kesadaran masyarakat sendiri," ia mengenaskan.

Lembaga yang ia pimpin bekerja sama dengan beberapa organisasi lain mencanangkan Indonesia bebas stunting pada 2030.

Tantangannya menurut Nanda lumayan banyak, mulai dari minimnya perhatian banyak pihak, komitmen politik, hingga sulitnya mengubah perilaku masyarakat.

"Ada juga kekurangan data dari kemauan kita mengevaluasi program–program yang sudah dijalankan," imbuhnya.

Cari tahu seputar stunting dan cara pencegahannya melalui artikel di aplikasi Klikdokter dan layanan konsultasi Live Chat.

(JKT/AYU)

Liputan Khusus
Kesehatan Anak
Nutrisi
stunting