Kesehatan Anak

Mengapa Stres Oksidatif Lebih Berbahaya dari Stres Pikiran untuk Anak Autis

Stres oksidatif dapat memicu kerusakan sel lebih serius pada anak autis dibandingkan stres pikiran. Artikel ini membahas dampak terhadap kesehatan dan cara mengelola stres oksidatif dengan tepat.

Mengapa Stres Oksidatif Lebih Berbahaya dari Stres Pikiran untuk Anak Autis

Stres adalah respons alami tubuh terhadap situasi yang dianggap mengancam atau menantang. Stres pikiran, atau psikologis, terjadi ketika seseorang merasa tertekan atau cemas akibat masalah emosional, pekerjaan, atau lingkungan.

Sementara itu, stres oksidatif adalah kondisi berbeda yang melibatkan ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh.

Radikal bebas adalah molekul tidak stabil yang dapat merusak sel-sel tubuh, sementara antioksidan membantu menetralkannya. Pada anak-anak autis, stres oksidatif dapat memiliki dampak yang lebih signifikan dibandingkan stres pikiran.

Hal ini disebabkan karena anak autis memiliki kondisi biologis dan metabolik yang unik, yang membuat mereka lebih rentan terhadap kerusakan sel akibat stres oksidatif.

Dalam artikel ini, dr. Dyah Novita Anggraini akan menjelaskan mengapa stres oksidatif lebih berbahaya dari stres pikiran untuk anak autis, gejalanya, cara mengatasinya, serta kapan harus ke dokter.

Artikel lainnya: 10 Jenis Terapi untuk Anak dengan Autisme

Apa Itu Stres Oksidatif pada Anak Autis?

Stres oksidatif terjadi ketika tubuh mengalami kelebihan radikal bebas yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan yang ada.

Pada anak autis, berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan radikal bebas dan kekurangan antioksidan, seperti glutathione, yang merupakan antioksidan utama dalam tubuh.

Kondisi ini menyebabkan kerusakan sel, termasuk sel saraf, yang dapat memperburuk gejala autisme. Faktor-faktor penyebab stres oksidatif pada anak autis antara lain:

  • Genetik: Anak autis cenderung memiliki gangguan metabolisme yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengolah zat tertentu dan menghasilkan antioksidan.
  • Diet dan nutrisi: Kekurangan nutrisi penting seperti vitamin C, vitamin E, dan selenium, yang semuanya adalah antioksidan, dapat memperparah stres oksidatif.
  • Paparan lingkungan: Anak-anak autis mungkin lebih sensitif terhadap polutan dan bahan kimia, yang bisa memicu peningkatan produksi radikal bebas.
  • Peradangan kronis: Kondisi peradangan yang sering ditemukan pada anak autis dapat meningkatkan risiko stres oksidatif.

Artikel lainnya: Olahraga Picu Stres Oksidatif, Apa Artinya?

Apa Gejala Stres Oksidatif pada Anak Autis?

Stres oksidatif dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai gejala yang seringkali berkaitan dengan peningkatan keparahan gejala autisme. Berikut adalah beberapa gejala yang dapat diamati:

1. Peningkatan gejala autisme

Anak mungkin menunjukkan regresi dalam keterampilan komunikasi dan sosial, menjadi lebih sensitif terhadap suara atau cahaya, atau menunjukkan lebih banyak perilaku repetitif.

2. Masalah tidur

Stres oksidatif dapat memengaruhi kualitas tidur, menyebabkan kesulitan tidur atau sering terbangun di malam hari.

3. Gangguan pencernaan

Kondisi ini sering menyebabkan masalah gastrointestinal, seperti sembelit, diare, atau nyeri perut.

4. Keletihan dan kurangnya energi

Anak dapat tampak lebih lelah dari biasanya, tidak bersemangat, atau kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari.

5. Perubahan perilaku

Stres oksidatif dapat memicu perubahan suasana hati yang cepat, termasuk iritabilitas, kecemasan, atau bahkan agresi.

Artikel lainnya: Memahami Tanda-Tanda Anak Autisme Siap Bersekolah

Cara Mengatasi Stres Oksidatif pada Anak Autis

Cara Menghindari Stres Oksidatif Karena Olahraga

Mengelola stres oksidatif pada anak autis membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membantu mengurangi dampak stres oksidatif:

1. Meningkatkan asupan antioksidan

  • Diet seimbang: Memberikan makanan yang kaya antioksidan seperti buah-buahan (misalnya, buah beri, jeruk), sayuran (brokoli, bayam), dan kacang-kacangan dapat membantu menetralkan radikal bebas.
  • Suplemen: Dalam beberapa kasus, suplemen antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, dan glutathione dapat direkomendasikan oleh dokter untuk meningkatkan kadar antioksidan dalam tubuh.

2. Mendukung detoksifikasi tubuh

  • Hidrasi yang cukup: Minum cukup air membantu ginjal dan hati dalam mengeluarkan racun dari tubuh.
  • Olahraga ringan: Aktivitas fisik yang teratur, seperti berjalan atau berenang, dapat mendukung fungsi detoksifikasi dan meningkatkan sirkulasi darah.

3. Mengurangi paparan racun lingkungan

  • Meminimalkan paparan polutan: Menghindari tempat-tempat dengan polusi tinggi atau menggunakan filter udara dalam ruangan dapat membantu mengurangi paparan polutan.
  • Memilih produk non-toksik: Penggunaan produk rumah tangga yang bebas bahan kimia berbahaya seperti pestisida atau produk pembersih dapat membantu mengurangi beban toksin.

4. Menjaga pola tidur yang baik

  • Rutin tidur: Menerapkan waktu tidur yang konsisten dapat membantu mengatur ritme sirkadian dan meningkatkan kualitas tidur.
  • Lingkungan tidur yang tenang: Pastikan kamar tidur bebas dari kebisingan dan cahaya yang mengganggu untuk mendukung tidur yang lebih nyenyak.

5. Pengelolaan stres psikologis

  • Terapi sensorik atau terapi wicara: Terapi ini dapat membantu anak mengelola stres pikiran yang mungkin meningkatkan stres oksidatif.
  • Latihan relaksasi:Teknik pernapasan dalam, yoga, atau pijat dapat membantu menurunkan stres psikologis dan berkontribusi pada keseimbangan stres oksidatif.

Artikel lainnya: Cara Menghindari Stres Oksidatif Karena Olahraga

Kapan Harus ke Dokter?

Jika Kamu mengamati bahwa anak menunjukkan gejala yang semakin memburuk atau muncul gejala baru yang tidak biasa, seperti perubahan perilaku yang ekstrem, kelelahan yang tidak wajar, atau masalah kesehatan lainnya yang tidak kunjung membaik, sebaiknya segera konsultasikan dengan dokter.

Tanda-tanda ini mungkin menunjukkan adanya masalah kesehatan yang lebih serius dan memerlukan evaluasi medis lebih lanjut.

Dokter mungkin akan melakukan tes laboratorium untuk mengukur tingkat stres oksidatif dalam tubuh anak dan meresepkan intervensi yang lebih spesifik, seperti suplemen antioksidan dosis tinggi atau terapi lainnya.

Stres oksidatif merupakan ancaman serius bagi anak-anak autis karena dapat memperburuk gejala autisme dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan lainnya.

Dibandingkan dengan stres pikiran, stres oksidatif lebih berbahaya karena melibatkan kerusakan seluler yang dapat berkontribusi pada peradangan, gangguan tidur, dan gangguan fungsi neurologis.

Mengatasi stres oksidatif memerlukan pendekatan menyeluruh, termasuk perubahan diet, dukungan detoksifikasi, dan pengurangan paparan racun. Penting bagi orang tua untuk waspada terhadap gejala-gejala yang menunjukkan stres oksidatif dan segera mencari bantuan medis jika diperlukan.

Dapatkan informasi kesehatan terpercaya langsung di genggaman Kamu dengan download aplikasi KlikDokter sekarang!

Temukan juga berbagai artikel kesehatan lainnya, mulai dari pengelolaan stres hingga tips menjaga kesehatan anak autis, hanya di KlikDokter. Yuk, selalu #JagaSehatmu dan keluarga Kamu.

  • Chauhan, A., & Chauhan, V. (2006). Oxidative stress in autism. Pathophysiology, 13(3), 171-181.
  • Frustaci, A., Neri, M., Cesario, A., Adams, J. B., Domenici, E., & Dalla Bernardina, B. (2012). Oxidative stress-related biomarkers in autism: Systematic review and meta-analysis. Free Radical Biology and Medicine, 52(10), 2128-2141.
  • James, S. J., Melnyk, S., Jernigan, S., Cleves, M. A., Halsted, C. H., Wong, D. H., & Gaylor, D. W. (2004). Metabolic endophenotype and related genotypes are associated with oxidative stress in children with autism. American Journal of Medical Genetics Part B: Neuropsychiatric Genetics, 127B(1), 1-10.
  • Rossignol, D. A., & Frye, R. E. (2014). Evidence linking oxidative stress, mitochondrial dysfunction, and inflammation in the brain of individuals with autism. Frontiers in Physiology, 5, 150.
  • Herbert, M. R. (2005). Autism: A brain disorder, or a disorder that affects the brain? Clinical Neuropsychiatry, 2(6), 354-379.