Sebuah studi terbaru yang dirilis Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Amerika Serikat, mengungkapkan orang yang tidak divaksin COVID-19 berisiko 10 kali lebih tinggi dirawat di rumah sakit.
Penelitian juga menemukan, tidak divaksin menyebabkan pasien 11 kali lebih berpeluang meninggal karena infeksi virus corona. Hal ini dibandingkan dengan mereka yang memperoleh vaksinasi dua dosis.
Riset tersebut dilakukan dengan menganalisis 600.000 kasus rawat inap, serta kematian akibat coronavirus yang menjangkiti orang berusia 18 tahun ke atas. Studi didasarkan pada status vaksinasi pasien di 13 negara bagian dan kota di AS pada 4 April hingga 17 Juli 2021.
Bahaya Tidak Vaksin
Bahaya tidak vaksin tersebut sekaligus mengukuhkan pentingnya vaksinasi sebagai moda perlindungan utama di masa pandemi. Hal ini setidaknya dalam hal mengurangi risiko gejala berat yang disebabkan coronavirus.
Disampaikan dr. Arina Heidyana, orang yang tidak divaksin berisiko lebih tinggi meninggal karena belum terbentuk antibodi di dalam tubuhnya, sebagaimana orang yang sudah divaksin.
Artikel lainnya: Benarkah Urine Sapi Bisa Sembuhkan COVID-19?
“Sehingga saat terkena COVID-19, tubuh belum ada persiapan menghadapi virus yang masuk dan virus pun berpeluang berkembang biak dengan cepat dalam tubuh,” kata dr. Arina.
“Sementara orang yang sudah divaksin kan sudah ada antibodi yang terbentuk. Ketika terinfeksi virus corona, tubuh langsung melawan virus tersebut, sehingga tidak sempat memperberat gejala klinis,” dia menambahkan.
Vaksin COVID-19 Masih jadi Solusi
Studi CDC selanjutnya menemukan bahwa vaksin coronavirus Moderna lebih efektif mencegah kasus rawat inap COVID-19. Hal ini dibandingkan dengan vaksin Pfizer-BioNTech dan Johnson & Johnson.
Riset yang dilakukan CDC tersebut melibatkan 32.000 pasien positif virus corona di sembilan negara bagian AS. Studinya dilakukan dari Juni hingga awal Agustus 2021.
Vaksin Moderna disebut mencegah rawat inap sebesar 95 persen, sementara Pfizer-BioNTech 80 persen, lalu disusul Johnson & Johnson 60 persen.
Artikel lainnya: Dukung Program Vaksinasi Ibu Hamil Lewat Donasi
CDC tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa Moderna memiliki efektivitas paling tinggi dalam mencegah gejala berat virus corona.
Meski begitu, ada dugaan yang menyebut hal ini terjadi karena dosis mRNA Moderna tiga kali lipat lebih besar daripada Pfizer-BioNTech, menilik laporan Washington Post.
Dugaan lainnya, karena jarak waktu penyuntikan dosis pertama dan kedua Moderna lebih lama daripada vaksin Pfizer-BioNTech. Moderna memiliki rentang waktu penyuntikan selama empat pekan, sementara Pfizer-BioNTech tiga pekan.
Interval waktu penyuntikan antara dosis pertama dan kedua yang lebih lama, berdasarkan beberapa penelitian, diyakini dapat membangun kekebalan yang lebih baik.
Kendati demikian, peneliti juga menemukan efektivitas vaksin dalam mencegah rawat inap berkurang pada lansia berusia 75 tahun atau lebih. Penurunan efektivitas ini diduga terjadi karena berkurangnya kekebalan di usia tua.
Artikel lainnya: Overdosis Ivermectin Sebabkan Kemandulan pada Pria, Benarkah?
Selain itu, berkurangnya efektivitas vaksin tersebut juga diduga karena kemampuan mutasi SARS-CoV-2 yang kian berkembang dalam menghindari sistem kekebalan.
Meski begitu, hasil penelitian CDC menyimpulkan vaksin Moderna, Pfizer-BioNTech dan Johnson & Johnson memberikan perlindungan kuat yang berkelanjutan bagi semua orang usia dewasa.
Ketiganya memiliki rata-rata efektivitas sebesar 82 persen dalam mencegah gejala berat serta risiko rawat inap akibat virus corona.
Menilik efektivitas vaksin dalam mencegah gejala berat dan kematian akibat coronavirus, Direktur CDC Rochelle Walensky sangat menganjurkan Anda untuk memperoleh vaksin sesegera mungkin, apa pun jenisnya.
Efek tidak vaksin dapat meningkatkan risiko gejala berat dan kematian akibat COVID-19. Jadi, tunggu apa lagi? Segera lakukan vaksinasi guna mencegah komplikasi penyakit akibat virus corona.
Jika Anda ingin bertanya lebih lanjut seputar infeksi COVID-19, chat dokter kami via Live Chat 24 Jam.
[HNS/JKT]