Sebagian besar pasien positif COVID-19 akan mengalami sejumlah gejala seperti demam, batuk, kelelahan, nyeri otot, sesak napas, hingga anosmia atau menurunnya kemampuan indra penciuman.
Gejala tersebut umumnya dirasakan selama dua pekan hingga para penyintas pulih dari infeksi virus corona. Namun nyatanya, dalam beberapa kasus, gejala dapat bertahan lebih lama.
Hal ini menyebabkan penyintas merasakan gejala infeksi COVID-19 lebih dari empat pekan, bahkan hingga berbulan-bulan. Kondisi ini dinamakan long COVID.
Berdasarkan data King's College London dan perusahaan kesehatan, Zoe, satu dari 10 pasien positif virus corona berpeluang mengalami long COVID. Fakta ini mendorong banyak peneliti menggali lebih dalam penyebab infeksi jangka panjang virus corona.
Salah satu studi yang mengkaji penyebab long COVID diterbitkan dalam jurnal Cardiovascular Diabetology. Para peneliti menduga long COVID terjadi karena adanya gumpalan mikro yang terjebak di dalam darah penyintas.
Artikel lainnya: Gejala Long COVID pada Anak yang Perlu Diketahui
Penelitian soal Penyebab Long COVID Syndrome
Riset skala kecil yang digagas Departemen ilmu fisiologis Stellenbosch University, Afrika Selatan, menemukan sebagian besar gumpalan mikro dalam darah penyintas coronavirus mengandung molekul peradangan.
Gumpalan molekul peradangan lantas menyumbat aliran darah, sehingga mengganggu proses distribusi oksigen dan nutrisi penting ke seluruh tubuh.
Akibatnya, penyintas mengalami gejala long COVID berupa kelelahan, sakit kepala, hingga kesulitan bernapas.
Penelitian dilakukan dengan membandingkan darah 11 pasien long COVID dan 13 orang dengan kondisi sehat.
“Kami menemukan gumpalan mikro dalam darah pasien long COVID mengandung molekul inflamasi yang sangat tinggi,” ujar peneliti Profesor Resia Pretorius.
“Beberapa molekul tersebut mengandung protein pembekuan fibrinogen dan alpha 2 antiplasmin,” dia menambahkan.
Perlu Anda ketahui, fibrinogen merupakan protein dalam darah yang bertugas membantu tubuh menghentikan perdarahan. Mereka bekerja dengan cara menciptakan gumpalan darah.
Adapun alpha 2 antiplasmin merupakan molekul yang membantu mencegah pecahnya gumpalan darah. Molekul ini juga berperan menghambat gumpalan darah tumbuh terlalu besar.
Dalam kondisi normal, tubuh menggunakan fibrinogen dan alpha 2 antiplasmin untuk mengurangi kehilangan banyak darah akibat cedera.
Sayangnya, kadar alpha 2 antiplasmin yang terlalu tinggi, menurut Profesor Resia Pretorius dapat menurunkan kemampuan tubuh dalam memecah gumpalan darah. Akibatnya, aliran oksigen dalam darah terhambat.
Artikel lainnya: Long COVID Picu Penurunan Kognitif, Diet Ini Solusinya
Diduga Terkait dengan Pembekuan Darah Abnormal
Studi lain yang terkait dengan temuan ini mengungkapkan, pasien long COVID mengalami peningkatan pembekuan darah.
Riset yang diterbitkan Journal of Thrombosis and Haemostasis itu memeriksa 50 penyintas dengan gejala long COVID. Peneliti ingin mengetahui apakah pembekuan darah abnormal ikut terlibat dalam kondisi tersebut.
Mereka menemukan peningkatan signifikan penanda pembekuan di dalam darah pasien long COVID. Hal ini bila dibandingkan dengan orang yang sehat.
Pembekuan darah abnormal lebih tinggi terjadi pada orang yang memerlukan perawatan di rumah sakit saat infeksi awal COVID-19.
Meski demikian, gejala pembekuan darah yang tinggi juga dialami pasien yang menjalani perawatan di rumah.
Meski semua penanda peradangan sudah kembali normal, potensi peningkatan pembekuan masih ditemukan pada orang dengan long COVID.
Artikel lainnya: Long COVID-19 Bisa Dideteksi Lewat Kerusakan Kornea Mata
“Hasil ini menunjukkan sistem pembekuan mungkin saja terlibat dalam long COVID syndrome,” ujar Dr. Helen Fogarty, penulis utama studi.
Menanggapi hasil penelitian, dr. Dyah Novita Anggraini menyarankan penyintas COVID-19 yang mengalami gejala berkepanjangan agar melakukan pemeriksaan D-dimer.
D-dimer merupakan protein yang berfungsi memecah darah beku di pembuluh darah.
“Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi keberadaan protein D-dimer dan mengetahui risiko penggumpalan darah ke depannya,” katanya.
Nantinya, dokter bisa merekomendasikan perawatan lanjutan yang tepat bagi penyintas COVID-19.
Meski sudah diteliti secara ilmiah, masih dibutuhkan riset lanjutan dalam skala lebih besar untuk mengetahui penyebab long COVID.
Hal ini dilakukan guna memperoleh bukti kuat soal pengaruh sistem pembekuan darah atau gumpalan molekul peradangan sebagai penyebab long COVID syndrome.
Jika ingin bertanya lebih lanjut seputar infeksi virus corona, manfaatkan layanan Live Chat dari aplikasi Klikdokter.
[HNS/JKT]