BUKK!!! Suara Dentuman mengagetkan Arya (34 tahun) yang sedang asyik menatap layar ponselnya. Malam itu jarum jam menunjukkan pukul 22.30.
Arya melonjak dan langsung menyibak tirai di depan kasurnya. Kegaduhan itu juga membuat teman sekamar yang tidur di sebelahnya terbangun.
Mereka menyaksikan seorang pasien berusia 40-an tahun di deretan kasur seberang terjatuh dari kasurnya. Arya tidak berani memindahkan pasien itu.
"Kita berdua panik, langsung panggil perawat," kata Arya kepada Klikdokter.
Di ruangan itu ada lima pasien COVID-19 yang dirawat. Dua pasien lain di ruangan yang sama masih tertidur pulas karena pengaruh obat.
Hari itu, akhir Januari lalu, adalah malam pertama Arya dirawat di ruangan isolasi pasien COVID-19 sebuah rumah sakit di Bilangan Jakarta Selatan. Ia langsung mendapat perawatan begitu hasil tes Polymerase Chain Reaction-nya (PCR) menunjukkan hasil positif COVID-19 pada siang harinya.
Bagi Arya, penantian malam itu menunggu bantuan terasa lama. Perawat tak kunjung datang. Sementara pintu ruangan rawat terkunci dari luar--sesuai prosedur ruang isolasi pasien COVID di rumah sakit pada umumnya.
"Kita coba melambaikan tangan ke arah CCTV berharap ada petugas jaga yang lihat," Arya menuturkan ketegangan saat itu.
Dua orang perawat perempuan baru datang beberapa menit kemudian. Mereka meminta Arya dan rekan sekamarnya membantu mengangkat pasien yang terjatuh ke tempat tidur.
"Saya sempat pegang kakinya. Masih hangat," kenang Arya.
Begitu sang pasien sudah dibaringkan, seorang perawat meminta Arya dan rekan sekamarnya kembali tidur. Salah satu dari mereka, kata dia, menutup tirai biliknya.
Tapi Arya tidak bisa tidur. Sayup-sayup terdengar suara dua perawat itu menangani pasien yang kepayahan tadi.
Arya terus membayangkan apa yang sedang terjadi di depan kasurnya. Lepas tengah malam, kedua perawat keluar dari ruangan.
Artikel lainnya: Daftar Obat yang Digunakan dalam Perawatan Pasien Corona
Tak lama kemudian, Arya yang belum bisa memejamkan mata beranjak ke kamar kecil. Toilet kebetulan terletak persis di sebelah kasur pria yang terjatuh tadi.
Sebelum masuk ke kamar kecil, dia melirik lewat celah kecil di antara tirai ke arah pasien pria itu. Deg. Jantung Arya berdegup.
Ia terkesiap menyaksikan tubuh yang ditutupi selimut dari kepala hingga kaki. Kaki Arya mendadak lemas setelah sadar pasien tadi sudah mengembuskan napas terakhir.
"Gua enggak jadi ke kamar mandi. Habis itu enggak bisa tidur sampai pagi," tuturnya.
Pikirannya tak karuan. Arya memilih berusaha merebahkan tubuhnya di kasurnya. Beberapa jam kemudian, dia mendengar beberapa orang masuk ke kamar.
Dari celah tirai tampak petugas mengafani jenazah yang baru meninggal itu. Mereka langsung membawanya keluar.
Sementara satu petugas lagi membersihkan barang-barang pasien. Ia menumpuknya di pojok ruangan yang bersebelahan dengan toilet.
Artikel Lainnya: Akibat Pasien Virus Corona Tidak Jujur, Tenaga Medis Ikut Terinfeksi!
"Gimana enggak kepikiran. Sampai besoknya itu barang-barang masih ada di sana," ujar Arya.
Arya tidak menyangka perburukan pasien COVID-19 bisa secepat itu. Sore harinya, pria yang baru saja meninggal masih bisa bercengkrama dengan rekan sekamarnya.
Dia juga masih bisa berjalan-jalan di lorong kamar. "Usianya paling 40-an. Masih muda, Enggak nyangka banget," Arya menceritakan keterkejutannya.
Dia juga tambah panik, membayangkan kalau-kalau mengalami kondisi serupa. Terlebih, sejak masuk ke rumah sakit, dia merasakan sesak napas.
"Ini penyakit bener-bener enggak kenal umur, jangan disepelekan," ia berpesan.
Belum 24 jam berada di rumah sakit, Arya sudah menyaksikan dua kematian pasien COVID-19. Kejadian pertama terjadi pada sore hari, saat dia masih diobservasi di instalasi gawat darurat--sebelum dipindahkan ke bangsal perawatan.
Seorang pasien berkode merah--kode bagi pasien yang mengalami gejala berat--mendadak mengeluhkan sesak. Dia meronta-ronta sebelum ditenangkan empat orang perawat.
Kondisinya yang memburuk membuat tenaga kesehatan memindahkan pasien tadi ke bilik khusus di sebuah sudut yang masih berada di ruangan IGD.
Artikel lainnya: Gejala Pasien Virus Corona, dari Ringan hingga Kritis!
Pasien tadi tidak terselamatkan. Lima belas menit kemudian, sejumlah petugas mendorong tempat tidur dengan tubuhnya tertutup kain di sekujur tubuh.
“Shock therapy-lah. Gua langsung salting (salah tingkah). Goncang juga. Apalagi selama di IGD browsing baca berita soal COVID,” kata Arya.
Bayangan suasana rumah sakit yang tenang juga buyar. Di IGD, Arya justru merasa suasana mencekam.
Bunyi alat penunjang kehidupan bersahutan. Suara pasien dengan kode merah yang kesulitan bernapas membuat suasana kian menakutkan.
“Ada yang napasnya berat sampai kita bisa denger,” ujarnya.
Pemandangan tiga pasien yang menggunakan alat bantu bernapas di antara dua puluhan pasien COVID di IGD menambah muram suasana.
Situasinya, menurut Arya, berbeda 180 derajat dengan suasana Rumah Sakit Darurat COVID di Wisma Atlet, Jakarta Utara, yang biasa dilihatnya di televisi.
Arya juga punya pengalaman menegangkan lain selama sembilan hari menjalani perawatan di rumah sakit. Lain waktu, juga terjadi di tengah malam, kamar perawatan Arya mendadak heboh ketika seorang pasien kesulitan bernapas.
Usianya sudah 60-an tahun. Pasien itu mendadak berteriak, "Tolong-tolong, enggak bisa napas ini." Kejadian itu lagi-lagi membuat Arya dan teman sekamarnya panik.
Beruntung petugas kesehatan segera menanganinya. Nyawa pria itu tertolong. Bagi Arya, pengalaman menyaksikan orang yang berusaha bertahan dari serangan COVID tidak akan bisa dilupakan. Ia jadi sadar batas tipis antara hidup dan mati.
"Pulang dari sana sempet jadi alim," kata Arya sambil berkelakar.
(JKT/ARM)