Kasus klaster keluarga COVID-19 di Indonesia bukan hal baru. Namun, peningkatannya belakangan ini kian mengkhawatirkan. Bermula di Bogor, kini Bekasi, Yogyakarta, Semarang, dan Malang memiliki klaster serupa.
Bahkan, kasus Bekasi jauh lebih tinggi daripada Bogor. Rumah seakan-akan sudah bukan tempat yang aman lagi untuk menjauhkan diri dari virus corona.
Satu Orang Pergi, Serumah Terinfeksi!
Penularan virus corona di dalam keluarga tentu tak cuma terjadi di Indonesia. Bahkan, dilansir Pandemic Talks, 66 persen dari total kasus COVID-19 di New York berasal dari klaster keluarga!
Pada dasarnya, kasus klaster keluarga COVID-19 tidak akan muncul apabila tidak ada anggota keluarga yang bepergian atau beraktivitas di luar rumah dan kembali ke rumah tanpa benar-benar membersihkan diri terlebih dulu.
Tujuan untuk keluar rumah di masa pandemi seperti ini memang bukan untuk sekadar main atau jalan-jalan. Kini tak sedikit tempat kerja yang mengharuskan pegawainya untuk masuk, tidak bisa lagi work from home, dan mereka harus pakai kendaraan umum.
Apabila anggota keluarga terpapar di luar rumah dan pulang, orang rumahnya juga berisiko tinggi terkena.
Ironisnya, orang yang menularkan ke keluarga biasanya adalah orang tanpa gejala atau OTG. Mereka yang punya daya tahan tubuh lebih rendah, seperti bayi atau orang tua atau kakek-nenek, akhirnya tertular dari si orang yang merasa sehat tersebut.
Yang lebih miris, anggota keluarga yang tertular ini justru memiliki gejala atau komplikasi yang lebih parah karena termasuk golongan berisiko tinggi.
Hal itu terbukti dari sebuah studi kasus di Bogor, Jawa Barat. Dari 189 anggota keluarga yang tertular virus corona, sebagian besar merupakan lansia dan anak-anak.
Lingkungan tempat tinggal yang padat dan eksposur yang lama dengan anggota keluarga lintas generasi, jadi meningkatkan risiko penularan virus corona di lingkup kecil.
Artikel Lainnya: Mungkinkah Ada Orang yang Kebal Virus Corona? Ini Faktanya!
Apakah Klaster Keluarga Lebih Bahaya dari Klaster Lain?
Menanggapi kasus penularan virus corona yang semakin masif di dalam lingkup keluarga, begini penjelasan dr. Sepriani Timurtini Limbong.
“Sangat disayangkan sebenarnya. Ketika klaster keluarga COVID-19 meningkat, itu berarti, usaha mitigasi selama ini belum berhasil, sampai-sampai unit terkecil (keluarga) saja bisa jadi satu klaster sendiri,” tuturnya.
Lantas, apakah klaster keluarga ini jauh lebih berbahaya dibandingkan klaster-klaster lainnya?
Dokter Sepriani mengatakan, “Dibilang lebih berbahaya dari klaster-klaster lainnya sebenarnya tidak juga. Ini sama saja bahayanya dengan klaster lain, misalnya klaster perkantoran dan lain sebagainya.”
Diakui agak cukup sulit untuk menekan risiko kasus penularan virus corona di dalam keluarga karena kultur sosial orang Indonesia sangat mengutamakan silaturahmi.
Padahal, penularan satu keluarga ke keluarga lainnya bisa mempercepat dan memperbesar klaster COVID-19 di Indonesia.
Sebagai contoh, yang tadinya hanya keluarga A yang terinfeksi, lalu mereka bersilaturahmi dengan keluarga B, dan begitu seterusnya, hingga satu RT positif terinfeksi virus corona.
Lalu, banyak juga warga yang membiarkan anak-anak (biasanya anak SD/SMP) mereka bermain di luar rumah tanpa protokol kesehatan.
Padahal, mereka juga bisa menjadi carrier (pembawa virus) dan menularkannya kepada orang yang lebih tua di dalam rumah mereka.
Artikel Lainnya: Hati-hati, Virus Corona Juga Bisa Menular dari Aktivitas Seksual
Apa yang Bisa Dijadikan Pelajaran dari Naiknya Kasus Klaster Keluarga?
Masih dikutip dari Pandemic Talks, meski 85 persen warga Bogor, kota yang pertama kali punya klaster keluarga di Indonesia, masih ragu dengan adanya virus corona, kita harus sadar dan paham bahwa COVID-19 ini nyata.
Anda tidak boleh menutup mata pada apa yang sudah menimpa orang lain.
Dokter Sepriani mengungkapkan, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari meningkatkan kasus klaster keluarga COVID-19, antara lain:
- Kita seharusnya bisa menjalankan protokol kesehatan sejak menginjakkan kaki keluar rumah.
“Misalnya ketemu tetangga, ketemu tukang sayur, tukang roti, dan lain-lain. Semuanya harus sesuai protokol, jaga jarak, masker, cuci tangan. Kita kan tidak tahu status orang itu seperti apa, apakah dia patuh juga sama protokol? Atau jangan-jangan dia OTG,” jelasnya.
- Dokter Sepriani juga menyarankan, bagi yang masih sering keluar karena tuntutan pekerjaan, Anda wajib langsung bebersih begitu tiba di rumah. Mulai dari cuci tangan, ganti baju, serta mandi dan keramas.
“Jika Anda tak yakin dengan kondisi Anda sendiri, apalagi di tempat kerja berkontak dengan orang banyak, di rumah bisa tetap pakai masker, tidur di kamar sendiri dan jaga jarak dengan anggota serumah yang berisiko, seperti balita dan lansia.”
- Seperti yang sempat disinggung di atas, sejauh ini, orang yang diyakini menjadi spreader atau penular adalah anak-anak dan orang muda.
“Jadi buat yang suka bawa anak-anak ke lapangan kompleks, mohon pakai masker. Kalau tidak yakin anaknya bisa pakai masker, mending tidak usah bawa keluar. Dikhawatirkan, pas dia ke rumah, ketemu oma opa, malah jadi menularkan,” sarannya.
- Usahakan rumah memiliki ventilasi yang baik. Selain tetap jaga jarak dan kurangi durasi kontak/interaksi, ventilasi kini menjadi kuncian untuk menurunkan risiko penularan virus corona di dalam ruangan.
Selalu buka jendela dan pintu agar ada pertukaran udara yang baik.
Penularan virus corona tidak main-main dan bukan isapan jempol. Hal itu terbukti dari kasus klaster keluarga COVID-19 di Indonesia yang terus meningkat.
Untuk mendapatkan informasi seputar virus corona dan masalah kesehatan lainnya, unduh aplikasi Klikdokter.
(HNS/AYU)