Vaksinasi menjadi salah satu tantangan terberat bagi Indonesia untuk mengatasi pandemi COVID-19. Klikdokter berbincang dengan Prof Sri Rezeki Hadinegoro, Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), seputar hal ini.
ITAGI merupakan badan independen yang terdiri dari para pakar terkait imunisasi. Anggotanya berasal dari berbagai latar belakang, dokter spesialis--biasanya spesialis anak dan penyakit dalam, ahli mikrobiologi, hingga virolog.
ITAGI mulai terlibat dalam merancang peta jalan vaksinasi COVID-19 sejak pertengahan tahun lalu.
Prof Sri Rezeki mengutarakan kendala-kendala Indonesia merampungkan proyek besar tersebut. Berikut wawancaranya:
Bagaimana keterlibatan ITAGI terkait vaksinasi COVID?
ITAGI sudah terlibat dari pertengahan tahun lalu. Kita turut aktif dalam menyusun roadmap, peta jalan, untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19.
Termasuk tahapan vaksinasi seperti apa, termasuk sasaran dan juga melakukan kajian terhadap jenis-jenis vaksin COVID-19 yang ada di dunia ini, terutama yang sudah melakukan uji klinis fase 3.
Kemudian juga melakukan sosialisasi, bekerja sama dengan kementerian-kementerian lain, Kominfo, dengan Menteri BUMN, Menteri Ekonomi dan Keuangan.
Kita juga memberikan saran di sana dan sebagai pakar dalam satgas percepatan vaksinasi COVID-19, juga mengkaji vaksin-vaksin baru yang ada di BPOM, itu antara lain pekerjaan kita selama pandemi ini.
Artikel Lainnya: Alasan Usia Produktif Jadi Prioritas Vaksin COVID-19 di Indonesia
Apa saja yang menjadi saran ITAGI kepada pemerintah?
Kita memang sering berdiskusi, kalau awal-awal sekali itu kita juga mempelajari. Begini, di atas ITAGI ada yang namanya SAGE (Strategic Advisory Group of Experts on Immunization).
SAGE itu adalah satu group expert di Jenewa, Swis, yang memberikan saran kepada WHO (World Health Organization).
Dia diwakili oleh beberapa negara secara bergantian, kemudian kalau turun ke region, WHO itu punya 6 region, kalau enggak salah. Kita ini termasuk South East Asian Region, nanti di sana juga ada TAG Technical Advisory Group.
Kemudian, turun lagi ke negara namanya NITAG National immunization technical advisory group, di Indonesia namanya Indonesian Technical Advisory Group (ITAGI).
Jadi, itu adalah turunan-turunan bagaimana suatu badan dunia mengatur imunisasi secara global. Jadi kita meneruskan apa yang direkomendasikan.
Waktu pandemi ini, tentu ITAGI juga mengacu apa yang dikatakan oleh WHO. WHO mengatakan, "Oh ini ada pandemi namanya COVID-19." Nah kita pelajari apa itu.
Kemudian, kita memberikan saran kepada pemerintah, seperti: "Oh ini kayaknya untuk meredakan pandemi bukan hanya harus patuhi protokol kesehatan tapi harus ada tambahan, karena jumlahnya tidak berkurang. Maka mungkin vaksinasi bisa membantu di dalam meredakan pandemi ini."
Artikel Lainnya: Ini Rencana Vaksinasi Virus Corona di Indonesia
Artinya sampai ke penentuan skala prioritas dan tahapan vaksinasi...
Kita memberikan saran kelompok prioritas yang akan divaksinasi itu siapa. Tentu kita mempelajari dari WHO dan juga dari SAGE tadi itu.
Kemudian, juga memberikan tahapan-tahapannya bagaimana. Kemudian kita juga memberikan kajian tiap vaksin.
Vaksin-vaksin yang masuk di Indonesia itu platform-nya seperti apa, berbeda-beda seperti sekarang.
Misalnya, Sinovac adalah inactivated vaksin, mungkin nanti ada yang kita sebut viral vektor seperti Astrazeneca, ada mRNA seperti Pfizer dan Moderna dan sebagainya, itu kita kaji.
Kemudian kita kasih masukan ke Kemenkes ‘ini lho vaksinnya seperti ini, platform-nya ini, isinya ini’, kalau sudah ada uji klinisnya kita sampaikan fase 1, fase 2, syukur-syukur sudah fase 3, kemudian penyimpanannya, penyuntikannya bagaimana itu semua kita rinci, kita berikan kepada Kemenkes sebagai bahan untuk membuat rekomendasi.
Artikel Lainnya: Medfact: Vaksin Sinovac Mengandung Chip Pemantau, Ini Faktanya
Apa saja tantangan vaksinasi COVID yang dipetakan ITAGI di Indonesia?
Tantangan sebetulnya kita bisa bagi tiga. Pertama adalah pengadaan vaksin, ini satu tantangan besar memang.
Sampai sekarang, kita sudah dapat 1,2 juta vaksin kemudian menyusul 1,8 juta sehingga kita sudah punya 3 juta di tangan.
Yang sudah siap dipakai untuk nakes dari Sinovac, dan ini sudah tinggal nyuntik istilahnya. Kita punya juga bulk (bahan mentah).
Bulk yang dibuat oleh Biofarma, dan bulan depan 15 juta selesai. Memang targetnya sekitar 122 juta dalam waktu satu tahun, sehingga kalau dijumlah kita punya persediaan 125 juta, itu untuk pengadaan yang sudah di depan mata, sudah dipegang tangan kita.
Sedangkan vaksin-vaksin lain belum ada yang masuk, baru ada rencana Pfizer, Astrazeneca, tetapi kenyataannya kita belum punya, jadi ini juga jadi suatu tantangan.
Pengadaan tidak boleh terlambat supaya cepat herd immunity tercapai pada waktu yang seperti kita rencanakan.
Artikel Lainnya: Alasan Lansia Tidak Jadi Prioritas Utama Vaksin COVID-19
Bagaimana dengan distribusinya?
Ini juga menjadi masalah karena kita tahu Indonesia itu begitu besar, begitu luas, begitu tersebar hingga ke pelosok-pelosok.
Sebenarnya Kementerian Kesehatan sudah biasa membagikan vaksin. Ini karena setiap tahun kita menyuntik bayi dan anak-anak. Sekitar 5 juta untuk bayi baru lahir disebarkan ke seluruh Indonesia.
Cuma sekarang ini jumlahnya besar, selain itu kita juga masih punya vaksin-vaksin rutin. Nah cold chain-nya ini, rantai dinginnya ini, kita harus berhati-hati, cukup atau enggak.
Yang ketiga apa kendalanya?
Terakhir adalah pelaksanaan vaksinasi itu sendiri, tentu pelaksanaan ini juga tidak mudah.
Biasanya menyuntik bayi sama anak-anak sekarang nyuntik orang dewasa yang mungkin bisa komplain, bisa mengeluh, bisa menawar.
Kalau bayi enggak digendong sama ibunya langsung kasih suntik, sudah pulang selesai, kalau ini enggak.
Banyak sekali masalah yang kita pelajari dalam satu bulan. Ternyata orang dewasa lebih complicated daripada anak-anak, belum lagi ada komorbid. Jadi pelaksanaannya ini yang nomor satu, yang kita harus kuat adalah pendataan.
Artikel Lainnya: Efek Samping Penggunaan Vaksin Virus Corona, Ini Penjelasan CDC
Bagaimana dengan jumlah vaksinator?
Jumlah vaksinator selama ini kelihatannya cukup mampu, ya. Para dokter, baik yang ada di puskesmas, di rumah sakit.
Bisa juga bukan dokter, oleh perawat, bidan, yang mempunyai kapasitas untuk menyuntik saya kira bisa dilibatkan, jadi kelihatannya SDM masih mencukupi.
Kemudian persiapan karena kita masih ada COVID. Kita mesti hati-hati, protokol kesehatan harus dikerjakan dengan baik, jangan sampai di tempat vaksinasi malah menjadi klaster COVID.
Kalau kejadian pascaimunisasi bagaimana?
Jadi pemantauan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi) ini juga kita harus berhati-hati, karena yang disuntik orang sehat. Orang sehat kalau disuntik vaksin harusnya tambah sehat, jangan jadi sakit begitu.
Oleh sebab itu, kita tetap perlu berhati-hati dan menyiapkan cara untuk mengatasi bila ada kejadian-kejadian yang tak diinginkan pascaimunisasi.
Namun, saya yakin kita mempunyai Komite Nasional KIPI dan juga Komda (komite daerah) di semua provinsi dan dibantu nakes.
Mereka juga punya focal point di dinas kesehatan dan mereka sangat aktif saya kira mereka akan membantu di dalam pemantauan KIPI ini.
Bagaimana kesiapan infrastruktur rantai dingin (cold chain)?
Iya, Indonesia sebetulnya siap dengan cold chain 2-8 derajat, hanya kapasitasnya mungkin kurang besar.
Kalau yang provinsi-provinsi besar saya yakin insya Allah semuanya sudah siap, karena mereka lebih mudah pengadaannya.
Kalau kita mempunyai vaksin lain yang di luar 2-8 derajat ini, bisa jadi masalah. Ada wacana akan mendatangkan vaksin RNA yaitu Pfizer dan Moderna.
Itu cold chain khusus, kalau Pfizer minus 70 derajat celcius, kalau Moderna minus 20. Tidak bisa memakai cold chain yang kita punya.
Jadi, ini masih dipikirkan apakah vaksin-vaksin ini hanya diberikan di kota besar supaya pengadaannya lebih mudah. Ini yang masih menjadi kajian dari pemerintah.
Artikel Lainnya: Mengenal GAVI-COVAX dan Harapan Vaksin Corona bagi Lansia
Berapa banyak dosis vaksin yang dibutuhkan Indonesia agar tercipta herd immunity?
Jadi sebetulnya herd immunity itu ada rumus-rumusnya, dasarnya adalah reproduction number, atau RO. RO itu adalah satu orang yang kena COVID akan menularkan kepada beberapa orang.
Setiap infeksi itu berbeda, untuk COVID satu orang bisa menularkan 2-5 orang, nanti mereka akan menularkan ke 2-5 orang lagi, jadi terus berderet ukur seperti itu.
Jadi 2-5 kita ambil pertengahannya, misalnya 3, kita bisa hitung, bahwa herd immunity threshold, ambang paling rendah, adalah 1 dikurangi 1 per RO, jadi 1 dikurangi 1/3 berarti 2/3 kali populasi kita.
Populasi kita katakanlah sekarang 270 juta, jadi 2/3 dikali 270 juta itu dapatnya sekitar 188 juta. Jadi yang menjadi sasaran vaksin itu 188 juta orang.
Namun, tidak bisa semua kita imunisasi, ada ibu hamil, juga kemudian yang penyintas COVID kita juga enggak imunisasi dulu, kemudian dengan komorbid yang belum terkontrol.
Nah dengan pengurangan-pengurangan itu menjadi 181 juta, itulah herd immunity kita. Jadi 70 persen dari 270 juta itu tadi, dapatnya segitu.
Dua kali suntik, berarti dikali 2. Kemudian ditambah lagi, karenakan kalau kita ambil vaksin misalnya ada yang hilang, satu vial untuk sepuluh orang, kadang-kadang tidak bisa dipakai 10.
Kadang-kadang cuma bisa dipakai 8 karena pada saat ambil vaksin itu ada yang terbuang sedikit, sehingga harus ditambah 15 persen, begitulah hitungannya.
Jadi jumlah vaksin yang dibutuhkan sekitar 400 (juta), itu cara menghitung bagaimana pengadaan vaksin supaya herd immunity tercapai dalam waktu singkat.
Artikel Lainnya: Ini 10 Jenis Vaksin yang Dibutuhkan untuk Orang Dewasa
Seberapa besar pengaruh kelompok antivaksin dalam program vaksinasi COVID?
Antivaksin itu bukan hanya di Indonesia, di seluruh dunia itu ada. Kita pernah mengadakan survei besar yang diadakan oleh UNICEF, Kemenkes, WHO dan bersama ITAGI bulan September tahun lalu, respondernya 115 ribu lewat online.
Mereka menjawab juga melalui WA (WhatsApp). Jadi itu yang mau menerima (vaksin) sekitar 64,8%, kemudian yang ragu-ragu sekitar 27,6% dan yang menolak 7,6%.
Kelompok yang menerima vaksin harus kita maintenance, kita edukasi. Jadi mereka betul-betul mantap dan dapat memberikan informasi kepada yang lain.
Nah yang ragu-ragu ini yang harus kita garap sebetulnya, kita berikan penjelasan yang sebenarnya, lalu ditanyakan apa sih yang menjadi masalah sebetulnya.
Apa alasan keraguan mereka berdasarkan survei itu?
Jadi mereka mengatakan masalahnya ada tiga: satu adalah keamanan vaksin, kedua efektivitasnya, ketiga kehalalan vaksin.
Kalau kita lihat selama tiga bulan ini dari September sampai Januari sudah keluar EUA atau Emergency Use Authorization dari BPOM berdasarkan uji klinik fase 3 baik dari Indonesia, dari Turki maupun dari Brazil, sehingga kita mempunya data valid yang bisa kita percaya.
Kemudian bersamaan itu kalau tidak salah 11 Januari 2021 MUI Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan vaksin COVID Sinovac halal dan suci.
Memang betul MUI ini hadir sendiri ke Beijing melihat pabriknya, melihat bahan-bahan yang dipakai apa.
Dengan adanya dua hal tadi, EUA dan fatwa MUI, saya kira mungkin yang ragu-ragu ini kita harapkan berubah menjadi menerima, karena memang alasannya karena itu.
Artikel Lainnya: Alasan Vaksin Virus Corona Belum Bisa Diberikan Kepada Anak
Yang menolak vaksin bagaimana?
Kalau yang menolak ya sudah biarin saja. Kita tidak berharap apa-apa.
Tapi ada satu pesan untuk yang menolak, bahwa yang menolak ini harus berterima kasih kepada yang mau disuntik, karena dia tidak mau disuntik, dia juga tidak sakit. Kenapa? Karena di sekitarnya sudah imun.
Bagaimana ITAGI melihat dampak pandemi terhadap vaksinasi rutin reguler yang terhambat?
Ini masalah serius sebetulnya. Kita sudah sampaikan pertengahan tahun lalu. Anak-anak yang biasanya rutin mendapat imunisasi kemudian sekarang terlambat karena ibunya takut datang, takut ketularan. Mungkin juga posyandu tutup karena mereka tidak berani.
Nah ini bahayanya akan terjadi wabah KLB polio, KLB difteri, KLB tetanus dan sebagainya. Ini yang kita tidak mau.
Kemudian juga kita kalau seperti ini apakah puskesmas atau posyandu sanggup enggak sih mengadakan imunisasi rutin di dalam situasi seperti ini.
Kita adakan survey, 14 ribu puskesmas dan yang menjawab sekitar 10 ribu. Puskesmas sebenarnya masih bersedia di atas 70% buka dan mereka bersedia memberikan layanan imunisasi di saat COVID, asal diberi juklak yang betul.
Tapi posyandu kebanyakan tidak bersedia karena harus digelar di rumah, kemudian berkerumun, mereka takut sekali kalau nanti menjadi cluster penyebaran COVID.
Pemerintah membuat juknis bagaimana supaya bisa berlangsung tetapi aman begitu. Harus mendaftar dulu, jangan dicampur dengan orang sakit, mungkin pintunya beda atau mungkin membuat tenda atau ruang khusus untuk imunisasi.
Malah ada juga yang kayak drive thru, jadi anaknya ada di dalam mobil perawatnya datang yang menyuntik.
Sekarang jalan walaupun belum sempurna. Belum 100% mungkin sekitar 70%.
Artikel Lainnya: Vaksin Palsu Tak Hanya Ada di Indonesia
Berapa lama perkiraan imunitas tubuh bisa bertahan setelah vaksinasi?
Kita sendiri masih belum tahu, kita masih menunggu penelitian-penelitian mungkin tahun 2021.
Kita akan dapat data-data baik dalam negeri maupun dari luar negeri sehingga kita tahu, berapa lama kita bertahan.
Kemudian yang kedua, pandemi ini belum ada yang tahu ramalannya. Itu tidak kemudian berhenti sama sekali. Jadi mungkin kita perlu waktu, waktunya nggak tahu 5 tahun, 10 tahun. Kita nggak tahu.
Jadi nanti kalau pandemi ini selesai, kelihatannya kita akan hidup bersama dengan COVID, seperti kita hidup bersama dengan influenza.
Vaksin influenza ada terus dan kita memberikan imunisasi setiap tahun supaya tidak kena influenza berat.
Ini kelihatannya juga seperti itu, karena ini virus punya sifat yang sangat menular kemudian bermutasi cepat.
Makanya kita sekarang membuat vaksin merah putih, supaya nanti ke depan kita tidak usah impor, itu adalah idenya dari Kemenristek.
Artikel Lainnya: Tipe COVID-19 di Indonesia Berbeda, Vaksin Bakal Siap Awal Tahun Depan
Bagaimana pandangan Ibu terkait wacana vaksinasi mandiri?
Dulu ada wacana imunisasi pemerintah dan mandiri, yang pertama kali protes itu ITAGI. Jadi ITAGI mempelajari apa yang dikatakan oleh WHO di dalam global concern, kita juga lihat undang-undang kesehatan di Indonesia, kemudian peraturan Presiden mengenai pandemi ini.
Semua menjadi dasar bahwa vaksinasi massal harus diberikan yang namanya public goods, ditanggung oleh pemerintah.
Jadi harusnya semua gratis, ini obligatory public health function namanya. Waktu itu kita memberikan suatu rekomendasi seperti itu.
Apakah vaksinasi mandiri justru akan merusak strategi penanganan pandemi?
Nah sekarang ada wacana lain lagi nih, bagaimana kalau swasta ini mau berperan serta.
Sebetulnya swasta bisa saja berperan serta, tapi tujuannya adalah membantu mempercepat tercapainya herd immunity.
Karena kita ini berpacu dengan waktu, kalau bisa dalam satu tahun ini herd immunity tercapai.
Misalnya, pemerintah mempunyai kapasitas yang terbatas, juga jumlah vaksinnya juga pas-pasan begitu, nah swasta akan membantu silakan.
Namun, harus dalam bentuk kemitraan yang diatur oleh Kementerian Kesehatan. Jadi pengadaan vaksin oleh pemerintah tetapi kemudian swasta menanggung biaya kegiatan, penyuntikan, pengadaan, dokter, fasilitas-fasilitas tempat dan sebagainya.
Mau tahu lebih lanjut seputar COVID-19 dan vaksinasi? Gunakan fitur LiveChat untuk konsultasi langsung dengan dokter di Klikdokter.
[JKT/ARM]