Setiap tahunnya, tuberkulosis atau TBC menyebabkan sekitar 1,4 juta kematian di seluruh dunia.
Pada tahun 2020, infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini menduduki peringkat kedua dalam daftar penyakit paling mematikan di dunia.
Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention, TBC hanya kalah bahaya dari COVID-19 sebagai penyakit menular paling mematikan dalam dua tahun terakhir.
Belum lama ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan kasus kematian akibat TBC di era pandemi ternyata mengalami peningkatan. Lonjakan ini terjadi untuk pertama kalinya setelah lebih dari satu dekade.
Penyebab Meningkatnya Kematian Penderita TBC di Era Pandemi
WHO menyebutkan angka kematian penderita TBC pada tahun 2020 mengalami peningkatan menjadi sekitar 1,5 juta orang. Sekitar 214.000 pasien di antaranya merupakan pengidap HIV (human immunodeficiency virus).
Peningkatan kasus kematian akibat tuberkulosis terutama terjadi di 30 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia, termasuk Indonesia.
Artikel Lainnya: Alasan Pengidap TBC Lebih Rentan Terkena Virus
Mengutip laman resmi Kemenkes RI, terdapat sekitar 845.000 orang Indonesia yang terinfeksi TBC. Angka kematian akibat TBC berkisar 98.000 atau setara 11 kematian per jam.
WHO menduga lonjakan kematian akibat tuberkulosis di negara dengan beban TB tertinggi di dunia bisa jauh lebih besar pada tahun 2021 dan 2022.
Pasalnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan kasus kematian akibat TBC selama pandemi virus corona. Berikut di antaranya.
1. Program Kesehatan untuk TBC Teralihkan
Ketika pandemi coronavirus merebak pada 2020, fokus program kesehatan untuk TBC di banyak negara dialihkan untuk menanggulangi COVID-19.
Hal ini termasuk layanan kesehatan, tenaga kesehatan, maupun keuangan negara yang mayoritas diperuntukkan untuk mengatasi pandemi virus corona. Akibatnya kasus kematian pengidap tuberkulosis mengalami peningkatan.
Lalu, lebih sedikitnya jumlah orang yang berhasil didiagnosis, diobati, maupun diberikan pengobatan untuk mencegah TBC juga ikut memengaruhi jumlah kematian yang tinggi. Hal itu berlaku jika dibandingkan dengan penanganan tuberkulosis pada tahun 2019.
Bahkan, WHO menduga terbengkalainya layanan kesehatan untuk pengidap TBC bisa menyebabkan penambahan 6,3 juta kasus dan 1,4 juta kematian akibat tuberkulosis pada rentang tahun 2020-2025.
2. Lockdown Memperburuk Keadaan
Lockdown maupun kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berdampak buruk bagi pengidap TBC.
Kebijakan ini membuat akses pengobatan maupun diagnosis penyakit TBC semakin terbatas. Dampaknya, risiko penularan TBC dari anggota keluarga maupun ke orang terdekat makin tinggi.
Di Indonesia misalnya, hanya 67 persen dari 845.000 kasus TBC yang berhasil didiagnosis dan diobati. Selain itu, terdapat sekitar 283.000 pasien tuberkulosis yang belum diobati dan berisiko menularkan orang di sekitarnya.
Pasalnya, seperti COVID-19, infeksi TBC ditularkan melalui droplet orang yang terinfeksi. Penularan terjadi ketika penderita TBC berbicara, batuk, maupun bersin. Penularan tuberkulosis sangat mudah dan cepat.
Artikel Lainnya: Kenali Gejala Awal Tuberkulosis (TBC)
3. COVID-19 Menjadi Momok
Infeksi TBC tidak hanya menyerang paru-paru. Penyakit ini juga dapat menyerang kelenjar, usus, hingga tulang.
Pengidapnya akan mengalami sejumlah gejala seperti batuk berdahak maupun berdarah yang berlangsung lama. Umumnya batuk TBC bisa berlangsung lebih dari 3 pekan.
Kerentanan ini membuat pengidap TBC merasa was-was terinfeksi virus corona. Pasalnya, infeksi coronavirus disebut-sebut lebih mematikan bagi orang dengan penyakit bawaan seperti tuberkulosis.
Akibatnya, pengidap TBC enggan memeriksakan kondisinya selama pandemi. Meski begitu, dr. Devia Irine Putri menganjurkan pengidap TBC agar tetap melaporkan kondisi kesehatannya pada fasilitas kesehatan (faskes) terkait.
“Tujuannya untuk memantau pengobatan jika pasien kesulitan datang berkunjung,” jelasnya.
“Selain itu, anggota keluarga pasien yang butuh informasi kelanjutan pengobatan obat tuberkulosis bisa menghubungi hotline pelayanan TBC di daerah masing-masing. Hal ini sesuai surat edaran Kemenkes,” dr. Devia menambahkan.
4. Faktor Risiko Lain
Menukil laporan WHO, sebanyak 56 persen pengidap TBC pada tahun 2020 merupakan pria usia dewasa. Sementara 33 persen lainnya perempuan usia dewasa dan disusul anak-anak sebanyak 11 persen.
Dari persentase tersebut, hasil studi WHO menemukan kebanyakan kasus TBC di era pandemi disebabkan lima faktor risiko, seperti kekurangan gizi, infeksi HIV, penggunaan alkohol, merokok, dan penyakit diabetes.
Artikel Lainnya: Ini yang Harus Anda Lakukan Saat Kena TBC
Penderita TBC di era pandemi COVID-19 sangat rentan dan berisiko tinggi mengalami kematian.
Oleh karena itu, dr. Devia menyarankan pengidap agar tuberkulosis tetap disiplin mengonsumsi obat-obatan TBC secara teratur, mengenakan masker, menjaga jarak, dan hindari bepergian jika memang tidak perlukan.
“Selain itu, tetap jaga kesehatan dengan mengonsumsi makanan yang bergizi serta rutin menjaga kebersihan tangan,” katanya.
Tidak lupa, pengidap TBC juga harus melaporkan kondisinya pada faskes terkait dan disiplin menjalani pengobatan.
Pasalnya, 85 persen pengidap TBC yang melakukan pengobatan rutin selama 6 bulan, berhasil menyembuhkan penyakitnya. Cara ini juga dapat memutus mata rantai penularan tuberkulosis.
Jika ingin tanya lebih lanjut seputar TBC dan COVID-19, konsultasi ke dokter via LiveChat.
(OVI/AYU)