HIV/AIDS merupakan penyakit mematikan yang hingga kini belum bisa disembuhkan. Penyebab AIDS adalah human immunodeficiency virus itu menyerang sel kekebalan tubuh manusia. Akibatnya, sistem imunitas penderita pun memburuk. Ketika sistem imunitas tubuh buruk, risiko untuk terkena komplikasi penyakit akan sangat sulit dihindari.
HIV/AIDS, pengobatan dan komplikasi
Menurut dr. Alberta Jesslyn Gunardi, BMedSc Hons, pengobatan AIDS yang dilakukan sekarang hanya untuk memperlambat perjalanan penyakit, mengendalikan gejala, dan meminimalkan risiko komplikasinya.
Penyembuhan secara total bagi penderitanya sehingga dapat kembali hidup normal, hingga saat ini belum dapat dilakukan. Pengobatan yang saat ini dijalankan ialah antiretroviral (ARV) yang dapat diperoleh secara gratis di pusat-pusat penanggulangan HIV.
Dijelaskan oleh dr. Fiona Amelia, MPH bahwa obat-obatan ARV harus diminum seumur hidup untuk menekan keparahan komplikasi penyakit. Beberapa komplikasi penyakit yang kerap menyerang penderita HIV/AIDS, antara lain tuberkulosis, MAC, CMV, pneumonia, kanker, infeksi oportunistik, dan demensia.
Nah, berangkat dari keparahan penyakit HIV/AIDS tersebut, mungkin Anda jadi bertanya-tanya, mengapa hingga kini belum ada vaksin untuk mencegah HIV AIDS? Padahal, vaksinasi merupakan salah satu upaya paling efektif untuk mencegah penyakit berbahaya.
Artikel Lainnya: Mendeteksi Infeksi Virus HIV dari Rongga Mulut
Hambatan dalam mengembangkan vaksin HIV/AIDS
Dilansir dari Very Well Health, selama ini para ahli bukannya sama sekali tidak mencoba mengembangkan vaksin HIV. Akan tetapi, memang belum ada hasil pengembangan vaksin yang cukup sukses.
Infeksi dan komplikasi dari virus HIV ini memang cukup sulit dibuat penangkalnya. Bila ada kemajuan, biasanya diiringi pula oleh beberapa kemunduran efektivitas vaksin. Karena itu, hingga kini belum ada vaksinasi yang dianggap layak untuk mencegah penyebaran virus HIV.
Meski begitu, beberapa tahun belakangan ini terdapat beberapa kemajuan yang diprediksi bisa digunakan dalam 15 tahun mendatang. Sayangnya, masih belum diketahui apakah vaksin tersebut aman, terjangkau harganya, dan dapat didistribusikan ke seluruh dunia.
Sementara itu, upaya mengembangkan vaksin HIV terhambat oleh keragaman genetik virus itu sendiri. Siklus replikasi HIV tidak hanya berlangsung cepat, tetapi juga rentan bermutasi menjadi jenis baru ketika ditularkan ke orang lain.
Artikel Lainnya: Ini Ciri-ciri Lidah pada Penderita HIV/AIDS
Alhasil, vaksin yang dikembangkan hanya sanggup melindungi strain virus tertentu, sementara jenis virus HIV lain justru berkembang menjadi jenis baru. Hambatan selanjutnya adalah memerangi virus HIV menuntut respons yang sangat kuat dari sistem kekebalan.
Secara tradisional, sel darah putih khusus yang disebut sel T CD4 memulai respons dengan memberi sinyal sel pembunuh ke lokasi infeksi. Ironisnya, ini adalah sel-sel yang menjadi target infeksi HIV sehingga populasi sel T CD4 akan habis akibat mendapat dua dampak.
Dampak pertama, sel mengirim sinyal infeksi. Dampak kedua, sel dirusak oleh virus HIV. Kalau sudah begitu, kondisi sistem sel kekebalan tubuh manusia akan berubah menjadi immune exhaustion (kelelahan kekebalan). Perlu diketahui juga bahwa virus HIV “pintar bersembunyi” dari pertahanan kekebalan tubuh sehingga bisa beredar bebas di dalam aliran darah.
Di sisi lain, ada ilmuwan yang mengembangkan antibodi bNAb yang disebut-sebut berhasil membatasi kemampuan virus dalam menginfeksi hingga 95 persen. Namun sayang, sampai saat ini, para ilmuwan belum yakin. Ilmuwan juga belum mengidentifikasi apakah dengan memanfaatkan antibodi bisa membantu mencegah penyebaran virus HIV. Ditakutkan, bNAb itu justru menyerang sel-sel tubuh sendiri.
Tidak mudah memang mengembangkan vaksin HIV/AIDS yang sempurna dan ideal. Oleh karena itu, cara yang paling efektif adalah melakukan tindakan pencegahan.
Cara yang bisa ditempuh adalah, tidak melakukan aktivitas seksual yang berisiko, tidak bergonta-ganti pasangan seksual, dan lakukan skrining HIV atau penyakit menular seksual lainnya sedini mungkin. Hindari pula menggunakan jarum suntik atau alat-alat tak higienis lain yang dimasukkan ke dalam tubuh agar tak ada kontak darah yang memicu penularan.
[HNS/ RVS]