HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan di Indonesia karena jumlah kasusnya terus meningkat setiap tahunnya. Ada beberapa perilaku dan kondisi yang membuat seseorang rentan terkena HIV. Berdasarkan hal tersebut, siapa yang harus tes HIV?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) memperkirakan terdapat lebih dari 600.000 orang yang terinfeksi HIV atau AIDS. Namun, sekitar 300.000 di antaranya tak tahu bahwa dirinya memiliki HIV atau AIDS.
Hal tersebut tentu sangat disayangkan. Pasalnya, jika HIV terdeteksi dan diobati sejak dini, pengidap HIV dapat menjalani hidup layaknya orang sehat. Bahkan, jumlah virus HIV di dalam tubuhnya bisa ditekan hingga tak terdeteksi melalui pemeriksaan darah.
Tes HIV penting agar bisa dilakukan penanganan sejak dini. Alasannya, HIV di tahap awal tidak menunjukkan gejala apa pun. Satu-satunya jalan untuk mendeteksi HIV sejak dini adalah dengan melakukan pemeriksaan darah. Meski demikian, tak semua orang wajib menjalani tes HIV. Lalu, siapa yang harus tes HIV?
Siapa Saja yang Dianjurkan untuk Melakukan Tes HIV?
Siapa yang harus tes HIV? Apakah semua orang perlu melakukannya? Berikut daftar orang yang lebih berisiko terkena infeksi HIV:
1. Memiliki Pasangan Seksual yang Positif HIV
Salah satu cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual. Oleh karena itu, jika pasangan seksual Anda diketahui positif HIV, maka sebaiknya segera periksakan diri.
Artikel Lainnya: Pasangan Terkena HIV Bagaimana Caranya agar Tak Ikut Tertular?
2. Pria yang Berhubungan Intim dengan Pria Lain
Pria homoseksual atau biseksual dapat menjadi penyebab AIDS, karena umumnya mereka melakukan hubungan intim melalui anus. Seks anal diketahui lebih berisiko dalam penularan HIV.
3. Memiliki Infeksi Menular Seksual (IMS)
IMS dapat menyebar melalui hubungan intim, transfusi darah, dan berbagi jarum suntik dengan penderita. Beberapa contoh IMS adalah gonore, sifilis, dan herpes genital.
4. Orang yang Pernah Berhubungan Seksual
Faktanya, lebih dari 90 persen kasus HIV ditularkan melalui hubungan seksual atau penggunaan jarum suntik bekas penderita HIV. Oleh sebab itu, semua orang yang pernah melakukan hubungan seksual perlu melakukan tes HIV, termasuk jika hanya memiliki satu partner seksual seumur hidupnya.
5. Pengguna Jarum Suntik Bergantian
Sesuai dengan pernyataan sebelumnya, pengguna jarum suntik bergantian dapat memiliki risiko tertular HIV. Alasannya, HIV bisa menular melalui darah, dan penggunaan jarum suntik secara bergantian dapat memaparkan Anda dengan darah.
6. Terdiagnosis Tuberkulosis (TBC)
Jika baru-baru ini Anda terdiagnosis dengan tuberkulosis atau pernah menjalani pengobatan tuberkulosis, maka sebaiknya segera periksakan diri. Hal ini karena mereka yang positif HIV lebih rentan terkena TBC akibat daya tahan tubuh yang melemah.
Artikel Lainnya: Mengenal Obat Pencegahan HIV
7. Terdiagnosis Hepatitis
Penularan hepatitis, terutama hepatitis B dan C, serupa dengan penularan HIV, yaitu melalui darah dan cairan tubuh seperti air mani. Oleh karena itu, sebaiknya penderita hepatitis juga melakukan tes HIV.
8. Ibu Hamil
Kemenkes menganjurkan semua ibu hamil melakukan tes HIV. Hal tersebut bertujuan agar pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat dilakukan seoptimal mungkin.
9. Anak yang Lahir dari Ibu Positif HIV
Jika ibu hamil ditemukan positif terinfeksi HIV, maka anaknya pun sebaiknya diperiksa. Hal ini dikarenakan kemungkinan penularan dapat terjadi semasa dalam kandungan.
10. Masyarakat Umum
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), setiap orang berusia 13-64 tahun direkomendasikan untuk tes HIV paling tidak satu kali, sebagai bagian dari cek kesehatan rutin.
Jenis-Jenis Pemeriksaan HIV
Secara umum, terdapat dua jenis pemeriksaan HIV, yaitu:
1. VCT (Voluntary Counseling and Testing)
Pemeriksaan ini dilakukan atas inisiatif sendiri, bukan inisiatif tenaga kesehatan. VCT bertujuan untuk mendeteksi HIV sedini mungkin, mengingat gejala HIV tidak begitu jelas pada tahap awal.
Artikel Lainnya: Jenis-jenis Tes HIV yang Wajib Anda Tahu
Sebelum menjalani tes, ada tahap konseling yang perlu dilakukan untuk mengetahui apakah Anda berisiko terpapar virus HIV.
2. PITC (Provider-initiated Testing and Counseling)
Sesuai namanya, PITC diinisiasi oleh tenaga kesehatan. Umumnya, dokter menganjurkan PITC kepada orang-orang yang mengalami gejala HIV atau AIDS. Hal ini dilakukan untuk memastikan diagnosis.
Pemeriksaan, baik VCT maupun PITC, dapat dilakukan di semua rumah sakit tujuan AIDS dan klinik satelitnya di Indonesia. Selain itu, sebagian klinik, rumah sakit, dan laboratorium swasta juga menyediakan pemeriksaan tes HIV.
Hasil Tes HIV Negatif, Pasti Bebas HIV?
Tes HIV dapat melihat ada atau tidaknya antibodi HIV di dalam tubuh seseorang. Seseorang yang tertular HIV akan memiliki antibodi tersebut. Ini karena virus sudah masuk ke dalam tubuh dan tubuh berusaha membentuk pertahanan untuk melawan HIV. Pembentukan antibodi tersebut umumnya membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.
Jadi, jika seseorang melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV, antibodinya baru terdeteksi tiga bulan kemudian. Karenanya, pasca tiga bulan setelah perilaku berisiko dilakukan, orang tersebut sangat dianjurkan untuk melakukan tes HIV.
Skrining juga bisa dilakukan sesegera mungkin. Namun, bila hasilnya negatif, tes perlu diulang tiga bulan kemudian untuk memastikan.
Lebih lanjut, menurut pedoman HIV dari Kemenkes, hasil tes HIV yang negatif (non-reaktif) tiga bulan atau lebih setelah peristiwa berisiko HIV terjadi, berarti orang tersebut tidak terinfeksi HIV.
Meski demikian, jika aktif secara seksual (misalnya dalam ikatan pernikahan), skrining HIV sebaiknya dilakukan secara berkala. Hal ini karena status HIV bisa berubah sewaktu-waktu.
Jadi, itulah penjelasan tentang siapa yang harus tes HIV. Hal lainnya yang juga tak kalah penting adalah hindari perilaku berisiko HIV dan AIDS, serta konsumsi obat sesuai petunjuk dokter jika Anda terpapar virus HIV. Semoga bermanfaat!
[WA/ RS]