Stres dan depresi merupakan keadaan yang umum terjadi pada orang dengan aktivitas padat. Penelitian menyebut bahwa keadaan tersebut juga sangat mungkin terjadi pada orang dengan penyakit menahun, seperti HIV.
Beberapa penelitian menyebut, stres dan depresi berkontribusi pada penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga penyakit lebih mudah terjadi. Lantas, apabila penderita HIV mengalami stres dan depresi, apakah dirinya akan semakin “dimakan” oleh penyakit yang dialaminya?
Mengenal HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sebuah virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Seseorang yang terinfeksi virus ini akan mengalami penurunan sel T atau CD4 sehingga sangat rentan untuk terkena infeksi.
HIV memberikan gejala yang sangat samar. Seseorang yang terjangkit virus tersebut umumnya hanya mengalami keluhan layaknya penyakit infeksi pada umumnya, seperti demam, sakit kepala, nyeri tenggorokan, sakit kepala, serta nyeri otot dan sendi.
HIV berbeda dengan AIDS. Jadi, seseorang dengan HIV belum tentu akan mengalami AIDS. Namun, seseorang dengan AIDS sudah pasti terinfeksi HIV. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) itu sendiri merupakan kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh benar-benar sangat rendah.
Penderita HIV dikatakan sudah mengalami AIDS bila jumah CD4 per 1 cc darah kurang dari 200 sel. Kondisi ini menyebabkan seseorang dengan AIDS sangat mudah terkena infeksi, yang sering disebut infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, pneumonia, herpes, infeksi jamur candida, infeksi parasit, dan lainnya.
Stres, depresi, dan HIV
Tidak dimungkiri, fakta menunjukkan bahwa stres dan depresi merupakan komplikasi neuropsikiatrik atau gangguan saraf dan kejiwaan yang paling sering terjadi pada pasien HIV. Sebuah jurnal yang dipublikasikan di BMC menyebut, pada tahun 2030, HIV, AIDS, dan depresi diprediksi sebagai penyebab disabilitas paling banyak di dunia.
Dari 350 juta penderita HIV di seluruh dunia, angka depresi pada HIV dua kali lebih tinggi dibandingkan pada orang sehat. Hal tersebut berbanding lurus dengan penurunan kualitas hidup dan peningkatan angka bunuh diri pada pasien HIV.
Lantas, ketika seorang dengan HIV mengalami depresi, apakah gejala penyakit yang terjadi akan lebih parah? Jawabannya: tergantung.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang bisa benar-benar memastikan bahwa depresi dapat menyebabkan perburukan dan penurunan sistem kekebalan tubuh secara langsung. Kendati begitu, stres dan depresi tetap bisa berkontribusi pada perburukan kondisi HIV, khususnya bila pasien tak patuh untuk minum obat antiretroviral (ARV) yang diresepkan oleh dokter.
Perlu Anda tahu, obat ARV berfungsi untuk mencegah perburukan gejala HIV dengan menurunan viral load. Dengan kata lain, viral load atau virus load akan terus meningkat jika pasien HIV tidak mengonsumsi obat antiretroviral (ARV). Sehingga, kepatuhan mengonsumsi ARV sangatlah penting pada penderita HIV untuk mencegah perburukan gejala yang terjadi.
Kesimpulannya, stres dan depresi terbukti dapat menyebabkan perburukan gejala HIV. Hal itu terjadi khususnya jika pasien HIV tidak mengonsumsi obat ARV sesuai dengan anjuran yang diberikan oleh dokter. Atas dasar itu, jika Anda memiliki rekan atau kerabat yang terjangkit HIV, sebaiknya selalu berikan motivasi agar dirinya terus semangat menghadapi penyakit. Dengan demikian, pasien akan tetap memiliki keinginan untuk mengonsumsi obat sesuai dengan anjuran sehingga gejala penyakit dapat terus dikendalikan.
[NB/ RVS]