Penyakit difteri sempat meresahkan seluruh masyarakat Indonesia sekitar 1 tahun yang lalu. Secara mendadak, penyakit yang bisa menyerang segala usia ini mewabah dan menyebabkan jumlah kematian yang tidak sedikit.
Keresahan pun timbul di tengah masyarakat. Karena penyakit yang seharusnya telah menghilang dari negara ini tanpa diduga ternyata muncul lagi.
Untuk mencegah hal yang sama terulang kembali, ada baiknya masyarakat Indonesia memperdalam pengetahuannya terkait penyakit difteri. Berikut adalah fakta-fakta tentang penyakit difteri yang perlu Anda ketahui.
-
Disebabkan oleh infeksi bakteri berbahaya
Difteri merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Bakteri yang sangat menular ini menyerang membran mukosa dari hidung dan tenggorokan. Gejala yang umum muncul pada penderita difteri adalah sebagai berikut:
- Nyeri menelan
- Suara serak
- Demam dan menggigil
- Bengkak pada kelenjar getah bening leher
- Tubuh lemah, tidak nafsu makan
- Sesak napas
- Muncul lapisan tebal berwarna abu-abu yang menutupi dinding belakang tenggorokan
Lapisan tebal yang menutupi dinding tenggorokan adalah gejala difteri yang paling khas sekaligus paling ditakuti. Sebab, lapisan ini dapat menutup saluran pernapasan, menyebabkan penderita tidak dapat bernapas.
Untuk menangani difteri, memang telah tersedia obat-obatan yang mampu melawan kuman. Sayangnya, kebanyakan kasus difteri terlambat diketahui dan sudah memasuki tahap lanjut.
Pada tahap ini, racun dari bakteri dapat menyebabkan kerusakan jantung, ginjal, dan sistem saraf. Maka, sekalipun bisa ditangani, difteri tetap terbilang mematikan. Menurut berbagai sumber, sekitar 3 persen penderita difteri akan meninggal akibat penyakit tersebut.
Selanjutnya
-
Pernah mewabah di Indonesia
Difteri pernah muncul secara masif pada akhir 2017. Pada saat itu, Kementerian Kesehatan sudah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) difteri di Indonesia. Hal ini disebabkan penyakit ini telah menyerang banyak penduduk di berbagai provinsi dalam waktu singkat.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan munculnya kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia.
Sementara pada kurun waktu Oktober hingga November 2017, ada 11 Provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, antara lain di Sumatra Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Namun sebenarnya, difteri sama sekali bukanlah penyakit baru bagi negara Indonesia. Sejak tahun 1990, kasus difteri di Indonesia sempat dinyatakan hampir tidak ada, karena pemberian imunisasi difteri yang semakin gencar digalakkan pemerintah.
Namun, pada tahun 2009 difteri mulai muncul kembali. Pada tahun 2015, juga diketahui terjadi KLB difteri dengan jumlah penderita yang tidak sedikit.
-
Bisa dicegah dengan vaksin
Seharusnya masyarakat Indonesia bisa terbebas dari penyakit berat ini, karena telah tersedia vaksin difteri yang terbukti memberikan kekebalan atas penyakit difteri, dengan efek samping yang cenderung minimal.
Selain itu, banyak negara maju yang sudah mendapatkan manfaat dari cakupan imunisasi yang luas. Tak heran, saat ini difteri tergolong sebagai penyakit yang sangat langka di Amerika Serikat akibat pemberian vaksinasi terhadap hampir seluruh warganya.
Program imunisasi difteri di Indonesia pun sudah berlangsung cukup lama. Untuk mendapatkan kekebalan difteri, akan diberikan vaksinasi yang bergabung bersama vaksin untuk penyakit tetanus dan pertusis. Nama dari vaksin tersebut adalah DTP (Difteri, Tetanus, dan Pertusis). Vaksin ini diberikan pada anak usia 2, 3, dan 4 bulan.
Kemudian, berkat kemajuan teknologi, vaksin DTP juga bisa diberikan bersamaan dengan vaksin lain, yaitu hepatitis B dan HiB dalam 1 suntikan. Sehingga, dapat menghindari anak disuntik berkali-kali.
Imunisasi lanjutannya (booster) diberikan pada saat berusia 18 bulan dan ketika anak berusia 5 tahun. Booster juga sebaiknya diberikan ketika anak berusia 10 tahun dan 18 tahun, namun jenis vaksin yang diberikan adalah Td (hanya berisi tetanus dan difteri).
Booster tetap diperlukan karena kekebalan bisa berkurang seiring jalannya waktu, sehingga harus diperbaharui dengan imunisasi lanjutan.
-
Akan terus muncul ketika masih ada orang yang anti terhadap vaksin
Faktanya, tidak seluruh masyarakat Indonesia memberikan vaksin difteri kepada buah hatinya. Alasan yang melatarbelakangi hal ini pun beraneka ragam, salah satunya adalah pelabelan sepihak dan tanpa pengetahuan medis, bahwa vaksinasi tidak aman diberikan pada anak. Kelompok ini umum disebut sebagai kelompok anti vaksin.
Padahal, vaksin yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah terbukti aman, efek sampingnya minimal, dan benar-benar bermanfaat memberikan kekebalan atas penyakit.
Ketika ada anak yang tertular difteri akibat orang tuanya sengaja tidak memberikan vaksinasi, yang ditakutkan adalah penularannya. Sebab, penularan bisa saja terjadi pada anak yang berusia lebih muda, meski sudah rutin diberikan vaksinasi oleh orangtuanya, namun masih belum lengkap karena batasan usia.
Bisa dikatakan, kelompok anti vaksin bertanggungjawab atas penyakit yang diderita oleh orang yang tidak bersalah.
Selama masih ada anak yang tidak mendapatkan imunisasi, atau imunisasinya tidak lengkap, tentunya anak masih dapat tertular penyakit difteri. Dengan begitu, penyakit difteri pun masih akan selalu ada di Indonesia.
Demikianlah fakta-fakta penting seputar difteri yang penting untuk Anda ketahui. Karena vaksin difteri juga amat penting bagi tumbuh kembang anak, berikanlah vaksin difteri pada anak, sebagai wujud cinta Anda untuk selalu melindunginya.
[NP/ RVS]