Gangguan pendengaran saat ini masih terabaikan, padahal sebenarnya dapat dicegah.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 50 persen gangguan pendengaran yang dapat dicegah ialah gangguan pendengaran karena infeksi, kebisingan, pemakaian obat ototoksik, dan akibat pernikahan antarkeluarga.
Demikian antara lain terungkap dalam pidato pengukuhan Jenny Endang Bashiruddin sebagai guru besar dalam ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher (THT-KL) Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Sabtu (9/1). Pada hari yang sama ditetapkan pula Herkutanto sebagai guru besar.
Tetap dalam ilmu kedokteran forensik dan medikolegal FKUI. Herkutanto membawakan pidato berjudul Penyelesaian Masalah Medikolegal dengan Penerapan Model Forcier-Lacerte pada Kasus Forensik Hukum Kesehatan dan Asuransi.
Dalam pidatonya bertajuk Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan, dan Harapan dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030, Endang menyatakan, berdasar survei Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk empat negara dengan prevalensi ketulian cukup tinggi, yakni 4,6 persen.
Negara lainnya ialah Myanmar, India, dan Sri Lanka. Prevalensi ketulian yang cukup tinggi dapat menimbulkan masalah sosial. Diperkirakan 36 juta orang menderita gangguan pendengaran dan 800.000 orang menderita ketulian di Indonesia.
Otitis media supuratif kronik (OMSK), yaitu infeksi telinga tengah (yang) menahun, merupakan penyakit paling sering menyebabkan tuli permanen. Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum 3 persen. Ini termasuk tinggi menurut WHO karena ada di kisaran 2-4 persen.
Infeksi telinga tengah ditandai dengan pecahnya gendang pendengaran dan keluarnya cairan berulang berupa nanah dan lendir. Jika tidak ada pengobatan, dapat menimbulkan komplikasi.
Infeksi telinga tengah menahun itu merupakan lanjutan dari otitis media akut yang sering terjadi bayi dan anak. Menurut penelitian, 83 persen anak berusia kurang dari satu tahun pernah mengalami infeksi telinga tengah akut paling sedikit tiga kali.
Ketulian dapat dicegah
Jenny mengatakan, angka kejadian infeksi telinga tengah menahun tinggi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan telinga sehingga ketika terjadi infeksi tidak segera ke dokter. Akibatnya, penyakit bertambah berat sehingga membutuhkan operasi.
Penyembuhan total infeksi telinga tengah ialah dengan mengatasi reaksi peradangan dan menutup lubang gendang telinga. Untuk penyembuhan total biasanya butuh pembedahan.
Di Indonesia sudah dapat dilakukan seluruh jenis bedah rekonstruksi pendengaran, tetapi jumlah spesialis masih sedikit. Sampai pertengahan 2007, ada sekitar 777 spesialis THT-KL. Dari jumlah itu hanya sekitar 68 spesialis melakukan bedah telinga secara rutin dan sekitar 20 yang sudah mahir rekonstruksi pendengaran. ”Masih begitu banyak tantangan dan kendala untuk mengatasi masalah gangguan pendengaran,” ujarnya.
Dengan keterbatasan itu, usaha yang harus lebih giat dilakuan ialah meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan dan meningkatkan kemampuan dokter umum sebagai lini terdepan.