Aku agak lega usai mendengar diagnosis awal dokter pada suatu hari di pengujung 2021. Dia bilang benjolan di payudaraku kemungkinan besar bukan kanker.
Dia adalah dokter kedua yang aku datangi. Niatku memeriksakan diri padanya sebenarnya untuk mendapat second opinion.
Beberapa waktu sebelumnya, seorang dokter onkologi mendiagnosis kanker tumbuh di payudaraku. Itu sebabnya, aku datang ke dokter lain untuk meminta pendapat. Namun, kelegaanku tak berumur panjang.
Meski diduga bukan kanker, dokter memintaku menjalani mamografi, prosedur pemindaian payudara menggunakan sinar X untuk tahu gambaran jaringan di dalamnya.
Spontan aku menolak. Pikirku saat itu, buat apa, toh dokter sudah bilang benjolan itu bukan kanker. Apalagi biaya mamografi Rp 1,25 juta.
Waktu itu aku lagi pelit-pelitnya ngeluarin uang. Namun, kalimat dokter selanjutnya bikin aku gentar juga.
"70 persen ini bukan kanker, 30 persen bisa mengarah ke kanker," kata dokter. Dia tidak bisa memberikan jaminan benjolan itu bukan kanker. Hanya mamografi yang bisa memberikan kepastian.
Akhirnya aku menurut. Keesokan harinya aku langsung menjalani tes mamografi.
Saat itu payudara kiriku juga sedang sakit-sakitnya. Keluhan itu sudah kurasakan sejak beberapa waktu.
Rasa sakit itu datang dan pergi, dibilang sering tidak, tapi dibilang enggak juga sering. Awalnya hanya gatal di puting. Kemudian muncul benjolan tersembunyi di dalam daging payudara.
Lama-kelamaan benjolan itu terasa berdenyut. Sakit sekali. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Kian hari denyutnya makin sering. Pernah suatu malam aku tidak bisa tidur karenanya.
Artikel lainnya: Ciri-ciri Kanker Payudara Sesuai Stadium
Proses mamografi ternyata cuma sebentar. Tes dilakukan pagi hari, sorenya hasil sudah keluar.
Sebelum tes, aku sudah setuju untuk menjalani operasi, tapi hanya untuk pengangkatan benjolan. Karena aku masih yakin itu bukan kanker payudara.
Mendadak dunia runtuh. Dokter bilang, hasil mamografi tidak bagus. Aku harus segera dioperasi. Benjolan itu ternyata ganas dan sudah merembet ke tempat lain.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku hubungi kakak untuk menceritakan hasil mamografi. Di ujung telepon sana, dia berusaha menguatkanku.
"Sabar aja, semua akan baik-baik saja," katanya.
Payudaraku Harus Diangkat
Beberapa hari kemudian aku ke rumah sakit lagi. Dan aku terus-menerus dibuat syok.
"Kalau ini tumor jinak, saya cuma angkat benjolan saja. Tapi kalau ini ganas, saya langsung buang payudara kamu," kata dokter.
Suamiku juga tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Kondisi payudaraku sudah buruk. Ki67-nya sudah 95 persen.
Ki67 adalah protein yang bisa ditemukan pada permukaan sel. Melalui Ki67, dokter bisa mengukur seberapa cepat tingkat penyebaran sel kanker di payudaraku.
Seumpama nasi bungkus, 95 persennya ternyata sudah basi dan hanya 5 persen yang bisa dimakan. Jadi, setelah hasil patologi keluar, aku langsung jalani operasi pengangkatan payudara.
Aku dipaksa berdamai dengan kenyataan. Ada kanker di payudaraku yang akan jadi beban bila tidak diangkat. Aku relakan payudaraku diangkat untuk kebaikan.
Keputusan itu tepat. Ternyata di payudaraku tidak hanya ada satu benjolan kanker, tapi totalnya ada tiga.
Orang bilang, wanita yang menjalani mastektomi akan cacat seumur hidup. Sering kali penyintas kanker payudara jadi minder.
Aku tepis anggapan semacam itu. Aku ingin hidup seperti biasa saja. Jangan sampai pengangkatan payudara menjatuhkan hidupku, tekad itu terus aku jaga.
Akhirnya, mastektomi aku jalani hanya tiga pekan setelah divonis kanker. Pascaoperasi aku dirawat 11 hari di rumah sakit karena proses pembuangan darah yang agak lama kering.
Artikel lainnya: Tips Pulihkan Kepercayaan Diri Setelah Pengangkatan Payudara
Selanjutnya, aku masih harus menjalani pengobatan. Salah satu yang paling berat adalah kemoterapi.
Dokter mengharuskan aku kemoterapi 8 kali yang masing-masing dilakukan setiap 21 hari. Sebelumnya aku sudah mencari informasi mengenai efek kemoterapi.
Jadi aku sudah siap dengan kemungkinan terburuknya. Aku sampai memangkas habis rambut sehari sebelum kemoterapi, ketimbang nanti frustasi melihat rambut rontok berserakan.
Menolak Kalah dari Kemoterapi
Aku benar-benar mengalami semua yang dikeluhkan orang saat menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi ke-5, aku sempat drop.
Nafsu makan jelas turun drastis, tetapi aku enggak mau kalah. Aku paksakan makan sebanyak-banyaknya. Tubuhku butuh nutrisi untuk sembuh.
Aku paksakan untuk beraktivitas seperti biasa. Kalau sedang merasa lemas, ya aku tiduran. Kalau sudah enakan, aku kembali beraktivitas.
Memang, efek kemoterapi membuatku tidak selincah dan seaktif dulu. Namun, sedapat mungkin penyakit ini jangan sampai merusak rutinitasku.
Artikel lainnya: Berapa Lama Kemoterapi Harus Dilakukan untuk Perawatan Penderita Kanker?
Saat kemoterapi ke-6, aku baru tahu tubuhku ternyata alergi obat. Akibatnya, obat kemoterapi tidak bisa terserap. Dokter pun mengganti metode infus dengan oral.
Efek terapi oral tidak seperti kemoterapi infus. Badanku enggak drop, hanya saja kulit jadi kusam, kering, bahkan semua kuku tangan-kaki lepas.
Total tujuh bulan proses kemoterapi aku jalani. Setelah satu bulan kemoterapi, aku juga harus menjalani 25 kali prosedur radiasi. Radiasi berlangsung sekitar 15 menit setiap hari Senin sampai Jumat.
Prosesnya panjang untuk sembuh. Setelah menjadi penyintas, aku ingin berbagi semangat hidup kepada orang sekitar. Itu sebabnya aku aktif di media sosial.
Aku ingin mendukung teman-teman seperjuangan untuk tetap semangat. Kanker bukan akhir segalanya. Kalau kita sayang keluarga, kita harus terus berjuang buat mereka.
Ai Yen Fong (43 tahun) membagikan kisahnya untuk kamu pembaca KlikDokter.
#JagaSehatmu agar terhindar dari kanker. Bila kamu atau orang sekitarmu merasakan gejala yang menjurus pada kanker, segera konsultasikan kepada dokter.
Penanganan dini bisa memperbesar kemungkinan untuk sembuh. Konsultasi seputar kanker bersama dokter spesialis onkologi juga bisa lewat fitur Tanya Dokter di aplikasi KlikDokter.
(JKT/NM/ADT)