Cerita Sehat

Pengalamanku Mengejar Pertumbuhan Anak yang Stunting

Aditya Prasanda, 24 Jan 2023

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Anak bungsuku didiagnosis stunting di usia 11 bulan. Selama tujuh bulan, aku berjuang agar si kecil punya berat badan normal.

 Pengalamanku Mengejar Pertumbuhan Anak yang Stunting

Aku masih ingat betul detik-detik yang mengejutkan itu. Suatu hari, dalam sebuah kesempatan kontrol putri bungsuku, dokter anak memberikan kabar yang bikin aku dan suami syok. Kata-katanya tidak bisa dilupakan sampai sekarang. 

"Ini anaknya stunting, Bu. Karena berat dan tinggi badannya jauh banget dari anak-anak normal," ucap dokter waktu itu. 

Rasanya seperti disambar geledek. Aku sama sekali tidak menyangka. Stunting adalah kondisi gangguan pertumbuhan anak. 

Perkembangan anakku tampak baik-baik saja. Di usia 11 bulan, ketika didiagnosis stunting, ia sudah bisa berjalan selangkah, dua langkah. 

Apalagi perkembangan kemampuannya juga seperti anak-anak sehat kebanyakan. Hanya saja, pertambahan berat badannya memang "irit". 

Ketika memasuki usia 8-11 bulan, bobot anakku cuma bertambah 100-220 gram. Pernah tidak naik sama sekali. Di usia 11 bulan, berat badannya hanya 6,5 kg dengan tinggi 65 cm. 

Aku heran kenapa si bungsu bisa stunting. Padahal, dua kakaknya tumbuh dengan berat normal. 

Artikel lainnya: Tanda Anak Stunting yang Perlu Kamu Perhatikan

Dokter lalu menelusuri pangkal penyebabnya. "Ibu dulu anemia enggak pas hamil?" tanya dokter. 

Aku jawab, "Iya, Dok, saya anemia."

Dokter bilang ibu hamil yang mengalami anemia di trimester ketiga, cenderung melahirkan anak yang juga menderita anemia. 

Perkiraan dokter itu ternyata terbukti. Hasil cek laboratorium menunjukkan putriku mengalami anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi adalah kondisi ketika tubuh kekurangan zat besi. Akibatnya, produksi hemoglobin yang bertugas membawa oksigen dalam darah terhambat. Kondisi ini membuat berat badan si bungsu sulit naik dan nafsu makannya pun berkurang.

Setelah diagnosis stunting, anakku harus mengejar ketertinggalan berat badannya. Dokter meminta kami memberinya susu formula tinggi kalori 500 ml per hari. 

Sementara untuk mengatasi anemia, ia perlu asupan suplemen Iron (III)-Hydroxide Polymaltose Complex.

Beratnya Membiasakan Anak dengan Susu Formula 

Tantangan terbesar yang aku rasakan justru ketika memberi susu tinggi kalori. Si bungsu terbiasa mengonsumsi ASI. 

Benar-benar sulit membiasakannya mengonsumsi susu formula. Dia mengamuk tiap kali diberi susu tinggi kalori. Beragam cara sudah dicoba, mulai dari menggunakan dot, hingga disuapi menggunakan sendok.  

Hasilnya nihil. Jangankan susu 500 ml per hari, waktu itu untuk 100 ml sekali minum saja enggak bisa. Perjuangannya berat sekali.

Artikel lainnya: Nutrisi untuk Anak Stunting yang Wajib Dipenuhi

Proses menyuapkan susu bisa makan waktu sampai satu jam. Anakku juga harus diajak bermain supaya fokus dia teralihkan dari susu. 

Waktu awal-awal, susunya malah ditepis sampai tumpah. Dia benar-benar menolak karena hanya ingin minum ASI.

Padahal, susu formula tinggi kalori itu mahal harganya. Kondisi keuangan keluarga waktu itu sampai habis-habisan juga. 

Tak Tega Anak Pakai Nasogastric Tube

Saking sulitnya minum susu tinggi kalori, berat anakku tak juga naik. Dokter bahkan merekomendasikan penggunaan nasogastric tube (NGT) untuk minum susu. NGT adalah prosedur memasukkan selang melalui hidung sampai ke lambung.   

Aku menolak. Tidak tega rasanya anak sekecil itu harus dipasang selang di hidungnya. Membayangkannya saja aku tidak sanggup. 

Aku cuma bisa kembali meneguhkan tekad untuk memberi putriku susu tinggi kalori. Setiap hari aku berjuang menyuapkan susu dengan sendok pelan-pelan. Anakku butuh waktu satu jam untuk minum 30 ml susu. 

Sedikit demi sedikit takarannya bertambah, naik jadi 50 ml, kemudian ke 75 ml, terus ke 90 ml. Akhirnya setelah 1,5 bulan, aku bisa menyuapi susu 150 ml per sekali minum. 

Anakku minum susu tinggi kalori tiga kali sehari. Jadi, sehari dia minum 450 ml. Masih belum mencapai target 500 ml per hari, tapi aku benar-benar mensyukuri capaian itu. Minimal sudah mendekati, pikirku. 

Meski asupan susu tinggi kalori perlahan meningkat, ada saja tantangan lainnya. Selama proses menambah berat badan, anakku sempat dua kali sakit. 

Sudah lelah menaikkan berat badan, tapi karena sakit berat badannya turun lagi. Sakit yang pertama beratnya turun 500 gram, yang kedua 400 gram. Padahal, biaya yang keluar untuk naikin berat badannya tidak murah. 

Mau tidak mau, berjuang lagi mengejar berat badan ideal. Perjuangannya sungguh luar biasa. Namun, aku beruntung. Putriku sepertinya juga merasakan perjuanganku. 

Aku merasa dia ikut berjuang untuk minum susu tinggi kalori. Lama-kelamaan dia mau minum susu itu. 

Artikel lainnya: Dampak Stunting pada Masa Depan Anak

Anakku memang pintar. Sekarang, di umur 18 bulan, ia bisa minum susu tinggi kalori 170 ml dalam 15 menit. Empat kali sehari. Perkembangannya pesat, berawal dari 30 ml satu jam. 

Dari hari ke hari perjuangan itu aku lalui. Pada usia anakku yang ke-18 bulan, dokter menyampaikan bahwa berat badannya sudah normal. Hanya tinggi badannya yang masih kurang. 

Anak stunting memang cenderung lebih pendek. Namun, dokter meyakinkan tinggi badannya nanti akan bertambah seiring pertambahan berat badan. Jadi, mengejar berat badan memang menjadi fokus utama. 

Pengalamanku memberi pelajaran penting. Ibu yang akan dan sedang hamil perlu memperhatikan asupan gizi. Para ibu bisa mencegah stunting pada anak sejak dini. Sebab penanganan setelah terjadi akan lebih berat.  

Adeliana (33 tahun) membagikan kisahnya untuk kamu pembaca KlikDokter. 

Yuk, #JagaSehatmu dan buah hati dengan asupan gizi seimbang dan pola hidup sehat. Informasi seputar kesehatan ibu dan anak bisa kamu dapatkan di KlikDokter. 

Gunakan fitur Tanya Dokter untuk konsultasi bersama dokter anak secara lebih mudah.

(JKT/NM)

anak stunting
Kesehatan Bayi
Anemia Defisiensi Besi