Di Jakarta, rasanya tidak sulit untuk menemukan bangunan kecil dengan ciri khas di jendelanya berhiaskan gambar gusi dan sederet gigi dengan plang bertuliskan “Tukang Gigi” atau “Ahli Gigi”. Kini, jumlahnya semakin banyak dan semakin merambah ke seluruh pelosok daerah di Indonesia.
Sebetulnya profesi ini sudah sejak lama ada di Indonesia, dan konon merupakan “warisan” dari zaman Belanda, di mana dokter gigi sangat jarang dan pelayanan gigi tidak diberikan bagi rakyat Indonesia sehingga orang pergi ke Tandmeester (ahli gigi). Keahlian ini juga dikuasai oleh orang Cina, dan kemudian disebarkan dan dipelajari secara turun temurun oleh orang Indonesia.
Apakah tukang gigi sama dengan dokter gigi? Jelas tidak. Tukang gigi tidak memiliki bekal ilmu kedokteran gigi yang sesuai dengan kaidah medis, mengingat keterampilan mereka didapat secara turun menurun. Tukang gigi juga tidak memiliki ijazah atau surat izin yang resmi dari departemen kesehatan. Namun mengapa hingga kini keberadaannya malah justru semakin marak dan pelayanannya pun semakin tidak terkendali?
Menurut hukum dasar ekonomi, ada permintaan ada barang. Artinya memang masih ada orang-orang yang mencari tukang gigi untuk perawatan giginya, umumnya orang-orang yang kurang pemahaman dan kesadaran akan kesehatan gigi, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah, dan orang-orang yang lebih memilih jalan pintas. Ketidaktahuan akan prosedur perawatan yang benar membuat orang-orang ini lebih memilih ke tukang gigi ketimbang dokter gigi, apalagi biayanya jauh lebih murah dan perawatannya cepat, hanya butuh sekali kunjungan, dengan hasil yang instan. Padahal efek jangka panjangnya dapat membuat pasien harus merogoh kocek dalam-dalam, untuk memperbaiki hasil kerja si tukang gigi yang asal-asalan. Tidak jarang dokter gigi menerima pasien yang datang dengan kondisi cukup mengenaskan setelah sebelumnya dirawat oleh tukang gigi.
Contoh paling umum dari “perawatan” tukang gigi yang membahayakan pasien adalah membuat gigi tiruan yang seharusnya lepasan menjadi cekat permanen ke sisa akar gigi asli atau gigi yang berada di sebelah gigi yang hilang. Tindakan ini dapat menyebabkan penumpukan plak sehingga iritasi pada jaringan lunak, bau mulut, hingga kematian gigi yang bersangkutan dan kerusakan tulang rahang. Tidak hanya itu, tukang gigi kini makin berani melakukan tindakan di luar kompetensi dan wewenangnya. Disinyalir makin banyak tukang gigi yang melakukan penambalan gigi, bahkan perawatan orthodonti (pemasangan kawat atau yang dikenal sebagai behel) dan pencabutan gigi.
Akar permasalahannya cukup pelik. Tidak mudah untuk menghapus keberadaan para tukang gigi karena mereka melakukannya untuk mencukupi nafkah keluarga. Selain itu tidak dipungkiri penempatan dokter gigi masih belum merata dan belum dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Masalah kurangnya edukasi pasien juga sangat penting, karena ketidaktahuan pasienlah yang membuat mereka merasa perawatan yang diberikan tukang gigi tidak berbeda dengan dokter gigi. Dan yang tidak kalah penting adalah lemahnya pengawasan dan penindakan dari pihak-pihak yang berwenang terhadap masalah ini. Bila tukang gigi melakukan prosedur tindakan diluar wewenang dan kapabilitasnya, dan kemudian merugikan “pasien”nya, tentu dapat dijerat hukum sesuai undang-undang yang berlaku. Dibutuhkan keseriusan dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini terutama untuk melindungi pasien dari praktek yang tidak bertanggung jawab. Dokter gigi pun dirasa perlu untuk lebih introspeksi diri, dan juga bertanggung jawab untuk memberi edukasi pasien agar tidak terjebak pada dilema perawatan yang murah namun tidak sesuai standar. Bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri perawatan gigi dicap sebagai perawatan yang mahal, dan bagi masyarakat berdaya beli rendah tentu lebih memilih cara lain yang lebih murah meskipun itu membahayakan diri sendiri.[](MM)