Apakah Kemoterapi Dapat Menyebabkan Anosmia?
Dokter Devia Irine Putri mengatakan, pasien kanker yang menjalani kemoterapi lebih sering mengalami gangguan indra penciuman selain anosmia.
“Bukan anosmia, lebih banyak kemoterapi menyebabkan hiposmia atau parosmia. Ini dikarenakan efek samping dari kemoterapi itu sendiri,” kata dr. Devia.
Anosmia, hiposmia, dan parosmia merupakan gangguan indra penciuman dengan kondisi berbeda.
Anosmia menyebabkan Anda tidak mampu mencium aroma sama sekali. Sedangkan, hiposmia hanya membuat kemampuan indra penciuman menurun.
Artikel Lainnya: Benarkah Anosmia Jadi Tanda Terlindungi dari COVID-19?
Sebuah penelitian yang dirilis National Institute of Health, AS, pernah mengkaji munculnya hiposmia pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi.
Penelitian tersebut menemukan, obat mukotoksik dan neurotoksik kemoterapi menyebabkan gangguan signifikan pada fungsi penciuman pasien kanker berupa hiposmia.
Selain hiposmia, kemoterapi dan radioterapi juga disebut-sebut dapat menyebabkan pasien kanker mengalami parosmia.
Kondisi ini terjadi akibat neuron sensorik penciuman tidak dapat mendeteksi dan menerjemahkan aroma tertentu sebagaimana mestinya. Akibatnya, Anda bisa merasa tidak nyaman menghirup aroma wewangian atau aroma tersebut terasa tidak sedap.
Sebuah penelitian lain mengungkapkan, parosmia pada pasien kanker dapat terjadi sebagai dampak komplikasi kemoterapi berat yang berpotensi mengancam jiwa. Namun, penyebabnya belum dapat dijelaskan.
Penelitian ini juga tidak menampik bahwa kemoterapi lebih banyak menyebabkan pasien kanker mengalami anosmia dan hiposmia.
Mengapa Pasien Kanker Mengalami Masalah Penciuman?
Dokter Devia mengatakan, gangguan indra penciuman pada pasien kanker dapat terjadi akibat penggunaan obat selama kemoterapi.
Menurutnya, obat-obat yang digunakan pada kemoterapi mengubah reseptor sel yang ada di hidung. Tepatnya, pada lobus olfaktorius yang berfungsi untuk penciuman.
Artikel Lainnya: Cara Kembalikan Penciuman Pasca Terinfeksi COVID-19
Senada, dr. Dyah Novita Anggraeni menambahkan, “Zat kimia yang ada dalam kemoterapi nggak bisa milih antara sel yang normal dan sel kanker.” Hal ini menyebabkan efek samping berupa gangguan indra penciuman.
Meski begitu, Haythem Ali, MD, seorang ahli onkologi medis di Henry Ford Cancer Institute, mengungkapkan efek samping kemoterapi berupa gangguan indra penciuman tidak dialami semua pasien kemoterapi.
“Gangguan indra penciuman lebih berpeluang terjadi pada pasien kanker dengan perawatan khusus dan menjalani terapi pengobatan yang dapat memengaruhi sistem saraf. Terutama pada pasien kanker di bagian leher dan kepala,” jelas Ali.
Selain indra penciuman, Ali mengatakan efek samping kemoterapi juga mengganggu sistem saraf perasa.
Ketika reseptor rasa berubah sebagai dampak kemoterapi maupun radiasi, kemampuan untuk merasakan rasa tertentu (asam, asin, manis, gurih, dan pahit) menjadi hilang.
“Akibatnya, rasa lain menjadi semakin kuat. Biasanya, reseptor rasa pahit lebih kuat hadapi kemoterapi ketimbang reseptor rasa lain. Jadi, banyak pasien kemoterapi merasa makanan mereka jadi pahit,” jelasnya.
Jika ingin tanya lebih lanjut seputar gangguan penciuman atau terapi kanker, konsultasi ke dokter via LiveChat.
(FR/AYU)