KlikDokter.com - Dalam hal jumlah penderita, kanker serviks menempati urutan kedua terbanyak setelah kanker payudara di Indonesia. Pencegahan kanker serviks telah banyak dibahas yaitu dengan melakukan edukasi, vaksinasi, dan deteksi dini secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Deteksi dini dilakukan dengan cara skrining teratur yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin. Hal ini dapat dimengerti karena kanker serviks umumnya baru dikenali pada stadium akhir akibat minimnya tanda dan gejala di awal penyakit sehingga perlu dilakukan skrining teratur. Padahal apabila kanker serviks dikenali pada tahap pra-kanker maka dapat dilakukan tindakan yang mencegah timbulnya kanker.
Bicara mengenai skrining kanker serviks, secara umum pemeriksaan dikelompokkan menjadi 2 jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan sitologi dan HPV. Di negara kita dikenal juga tes diluar 2 kelompok itu yaitu tes IVA (inspeksi visual dengan asam asetat) yang dapat membantu mengenali kelainan dengan pemeriksaan yang sangat sederhana. Tapi dalam pembahasan ini kita akan fokus ke tes sitologi dan tes HPV.
Tes sitologi bertujuan untuk mengenali perubahan sel serviks menjadi abnormal baik pada tahap pra kanker, atau pun kanker. Pada pemeriksaan ini spesimen usapan lendir serviks (cervical swab) akan dipindahkan ke kaca benda (object glass) dan diberi pewarnaan Papanicoulou (oleh karena itu dikenal dengan tes Pap smear) dan dinilai menggunakan mikroskop yang dilakukan oleh dokter ahli patologi anatomi.
Tes sitologi ada 2 macam yaitu:
- Pap smear konvensional dan,
- Pap smear berbasis cairan (LBC = liquid-based cytology).
Perbedaannya terletak pada cara memindahkan spesimen ke kaca benda dimana pada pap smear konvensional langsung dioleskan, sedangkan pada pap smear berbasis cairan spesimen ditampung di dalam botol berisi cairan, lalu ada proses menggunakan mesin untuk memindahkan spesimen ke kaca benda.
Tes HPV bertujuan untuk mendeteksi adanya infeksi virus penyebab kanker serviks yang dikenal dengan nama HPV (Human Papilloma Virus). Infeksi HPV dengan subtipe risiko tinggi, jika menetap dapat menyebabkan sel berubah menjadi pra-kanker dan kemudian menjadi kanker jika tidak ditangani.
Sejak tahun 2011 panduan skrining kanker serviks di Amerika Serikat sudah menganjurkan skrining kanker serviks secara co-testing yaitu tes HPV bersamaan dengan tes sitologi/pap smear untuk wanita berusia 30 tahun ke atas. Hal ini didasarkan atas ulasan beberapa studi, di antaranya 4 studi besar acak berkontrol (RCT = randomized control trial) yaitu Swedescreen (Swedia), POBASCAM (Belanda), ARTISTIC (Inggris), dan NTCC (Italia).
Dimana dari keempat studi tersebut menunjukkan bahwa co-testing HPV dan pap smear memberikan perlindungan 60 - 70% lebih besar terhadap kanker serviks daripada hanya pap smear saja. Bahkan panduan skrining kanker serviks di Amerika ini merupakan joint recommendation (rekomendasi besama) dari berbagai organisasi di antaranya American Cancer Society, American Society for Colposcopy and Clinical Pathology, American Society for Clinical Pathology, dan US Preventive Services Task Force.
Minat terhadap HPV memuncak saat studi ATHENA yang dimuat di jurnal Gynecologic Oncology yang melibatkan 42.209 wanita berusia 25 tahun ke atas menunjukkan bahwa tes HPV secara tersendiri menunjukkan sensitivitas yang lebih baik daripada sitologi/pap smear saja.
Hal ini pula yang membuat di tahun 2014 FDA menyetujui pemeriksaan HPV dengan menggunakan alat bernama COBAS 4800 sebagai skrining kanker serviks primer secara tersendiri bahkan tidak perlu disertai dengan tes sitologi/pap smear.
Namun di tahun 2015 studi yang laporannya dimuat dalam jurnal Cancer Cythopathology menunjukkan hal yang berbeda. Studi yang mengevaluasi 256.648 orang wanita usia 30 - 65 tahun yang melakukan skrining dan biopsi, dimana skrining dilakukan dalam waktu 1 tahun sebelum biopsi, memperlihatkan bahwa pemeriksaan terbaik adalah dengan co-testing dimana sensitivitasnya mencapai 98.8% dibandingkan dengan hanya HPV saja 94% atau sitologi saja 91,3%. Dari 526 pasien kanker serviks yang dibuktikan dengan biopsi, ternyata 18,6% pasien menunjukkan hasil HPV negatif, 12,2% menunjukkan hasil pap smear negatif, sedangkan yang co-testing HPV-sitologi negatif hanya 5,5%.
Jadi, ‘berdua’ (co-testing HPV-pap smear; skrinning & biopsi) lebih baik daripada ‘sendiri’.