Alergi terjadi akibat reaksi terkait sistem kekebalan tubuh. Saat seseorang mengalami penuaan, sistem kekebalan pun tak lagi prima. Pertanyaannya, apakah hal ini membuat lansia menjadi lebih rentan alergi?
Untuk diketahui, meningkatnya status sosial dan ekonomi membuat angka harapan hidup semakin tinggi. Pada tahun 2050, diperkirakan 80 juta orang dewasa akan berusia 65 tahun ke atas dan 20 juta sisanya akan berusia 85 tahun ke atas. Karena itu, wajar bila jumlah penyakit yang berhubungan dengan usia tua, termasuk alergi, semakin banyak ditemukan.
Alergi
Kondisi alergi didasari oleh respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap suatu pemicu atau alergen. Biasanya, kondisi ini muncul pertama kali di usia anak-anak atau dewasa muda. Seiring bertambahnya usia, alergi bisa menghilang dengan sendirinya atau menetap.
Akibat penuaan dan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh, sebagian dari mereka yang punya alergi di masa kecil, tidak lagi mengalaminya saat lansia. Kendati demikian, sebagian lansia masih bisa mengalami kelanjutan alergi di masa kecil. Bahkan, ada pula yang baru pertama kali mengalami alergi saat usianya sudah tua.
Penyebab alergi pada lansia
Adanya penurunan fungsi pada sistem kekebalan tubuh atau disebut immunosenescence menyebabkan respons sel-sel terhadap suatu alergen berubah. Akibatnya, bisa terjadi suatu reaksi alergi baru pada lansia, khususnya terhadap alergen dari makanan.
Perubahan respons ini juga membuat gejala alergi kerap ringan dan tidak khas, bahkan menyerupai kondisi medis lain. Gejala alergi yang kerap tersamarkan ini dapat membuat lansia terlambat untuk mencari pengobatan.
Penyebab lain, adanya malnutrisi vitamin dan mineral pada lansia, terutama vitamin D3, seng, dan zat besi. Kekurangan kadar ketiganya di dalam darah membuat kerja sistem kekebalan tubuh kurang efektif dan efisien, sehingga lebih mudah terjadi alergi. Pada kasus ini, pemberian suplemen dapat memperbaiki kondisi alergi yang dialami.
Selain dari makanan, lansia juga lebih rentan mengalami reaksi alergi obat. Salah satunya, akibat harus mengonsumsi berbagai macam obat (polifarmasi) untuk mengatasi kondisi medis seperti hipertensi, penyakit jantung atau diabetes.
Tak berhenti di situ, alergi juga bisa muncul akibat interaksi obat, dimana terjadi kesalahan dalam mengombinasikan obat yang diminum pada satu waktu tertentu. Karenanya, sebelum menambahkan obat atau suplemen baru, sebaiknya Anda berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter.
Gejala alergi tak selalu jelas
Seperti dikatakan sebelumnya, gejala alergi pada lansia tidak melulu spesifik. Keluhan bisa muncul di kulit, hidung, mata, bibir serta mulut, telinga, saluran cerna, saluran napas, atau bahkan melibatkan jantung dan pembuluh darah.
Saat memeriksakan diri, dokter mungkin akan mencatat keluhan yang dilaporkan pasien sebagai masalah-masalah yang berhubungan dengan obat-obatan, kekurangan tidur, gangguan saluran cerna, infeksi, penyakit autoimun, atau akibat penuaan itu sendiri. Akibatnya, kondisi alergi terlambat dikenali dan diobati.
Jika itu terjadi, reaksi alergi pada lansia yang tidak terdiagnosis dapat menimbulkan kelemahan tubuh (malaise), gangguan penyerapan makanan (malabsorpsi), dan peradangan. Hal ini membuat lansia semakin rentan terhadap berbagai penyakit. Oleh sebab itu, para dokter dituntut untuk jeli dalam mengenali gejala-gejala alergi pada lansia agar tak terlambat melakukan tindakan penanganan.
Penuaan memang tak terhindarkan, tetapi bisa diperlambat dengan tetap aktif bergerak, berpikir positif dan menerapkan gaya hidup sehat. Jika curiga mengalami gejala-gejala yang merujuk pada alergi, jangan ragu untuk segera berobat ke dokter. Semakin dini dideteksi dan diobati, komplikasi atau perburukan kondisi semakin bisa dihindari.
[NB/ RVS]