Antibiotik sering dianggap sebagai “dewa” penyembuh berbagai penyakit. Saat sakit flu, minum antibiotik. Saat tidak enak badan, minum antibiotik. Pokoknya, apa pun penyakitnya, tak sedikit orang yang memercayakannya pada antibiotik.
Padahal, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik untuk menanganinya. Tapi apa daya, sebagian orang sudah telanjur menganggap antibiotik sebagai obat dari segala obat. Mitos seperti inilah yang harus segera diluruskan sebelum resistansi antibiotik terjadi pada banyak orang.
Ada beberapa faktor yang membuat banyak orang biasa mengonsumsi antibiotik. Pertama, kurangnya informasi mengenai dampak mengonsumsi antibiotik secara sembarangan. Kedua, kurang disiplinnya pihak apotek dalam memberikan obat kepada pembeli. Di negara lain, pemberian obat antibiotik kepada konsumen sangatlah ketat, misalnya harus menggunakan resep dokter.
Berikut ini beberapa mitos seputar antibiotik yang tidak perlu Anda percaya lagi:
1. Mitos: Antibiotik, obat dari segala macam penyakit.
Fakta: Antibiotik dianggap obat yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Apa pun jenis penyakitnya, orang tak akan berpikir dua kali untuk menggunakan antibiotik. Padahal, pandangan ini sangat keliru.
Antibiotik adalah obat antibakteri yang hanya digunakan untuk membunuh bakteri. Jika penyebabnya bukan karena bakteri, maka tidak perlu menggunakan antibiotik untuk terapinya.
Misalnya Anda mengalami flu karena alergi, terapi yang tepat bukanlah antibiotik melainkan antihistamin serta menjauhi alergennya. Saat Anda flu karena alergi dan diobati dengan antibiotik, maka keluhan pun akan terus ada.
2. Mitos: Antibiotik dikonsumsi seperti obat lainnya.
Fakta: Antibiotik memiliki aturan minum tersendiri. Berbeda dengan obat lain yang boleh dihentikan saat keluhan mereda, antibiotik hanya boleh dihentikan saat obat yang diberikan oleh dokter habis—walaupun keluhan sudah mereda. Ini penting agar semua bakteri “jahat” mati dan tidak tersisa.
Sayangnya, karena kurangnya informasi, banyak sekali pengguna yang menyalahi aturan ini. Mereka akan menghentikan penggunaan segera setelah keluhan mereda, meskipun obat belum habis.
Perlu diketahui bahwa penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan aturannya, akan meningkatkan resiko resistansi terhadap antibiotik. Artinya, tubuh menjadi kebal terhadap antibiotik, sehingga jika ada bakteri yang hinggap dalam tubuh pada kemudian hari, bakteri tersebut tidak akan mati dengan pemberian antibiotik yang sama.
Jadi, jika Anda mendapatkan terapi antibiotik dari dokter, konsumsilah obat tersebut sesuai dengan anjuran dan habiskan. Dengan demikian, bakteri yang ada di dalam tubuh benar-benar mati dan menurunkan risiko resistansi antibiotik.
3. Mitos: Antibiotik sisa boleh dikonsumsi saat sakit pada kemudian hari.
Fakta: Antibiotik yang diberikan untuk satu penyakit akan berbeda dengan penyakit yang lain. Contohnya, antibiotik yang diberikan untuk penyakit infeksi saluran kemih akan berbeda dengan antibiotik untuk penyakit infeksi saluran pernapasan. Karena itu, sisa dari antibiotik penyakit sebelumnya tidak seharusnya diberikan saat Anda mengalami penyakit infeksi yang lain.
Jika Anda mendengar bahwa penyakit teman atau tetangga Anda sembuh karena antibiotik A, bukan berarti antibiotik A bisa Anda gunakan untuk mengobati penyakit yang Anda alami.
Patuhilah anjuran dokter Anda dalam menggunakan obat antibiotik. Jika dokter meminta Anda untuk menghabiskannya, ikuti saran tersebut dengan baik. Ingat, pemakaian antibiotik yang tidak bijak malah dapat merugikan kesehatan Anda pada kemudian hari.
[RS/ RVS]