Efek buruk dari berita hoaks dalam memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia memang sudah banyak dirasakan dan menimbulkan keresahan. Meski demikian, tak banyak tahu bahwa hoaks dapat memengaruhi kesehatan otak pada setiap orang yang gemar membaca hoaks.
Pengaruh membaca hoaks terhadap otak
Sebuah gambar magnetic resonance imaging (MRI) dalam Laporan Ilmiah Alam oleh Kaplan dan rekan dari Universitas Southern California, Amerika Serikat (AS), menunjukkan bahwa pernyataan yang provokatif dan sensasional secara politik dapat mengaktifkan bagian-bagian pada otak Anda yang terkait dengan identitas diri dan emosi, seperti amigdala. Amigdala adalah bagian otak yang berperan dalam melakukan pengolahan dan ingatan terhadap reaksi emosi.
Percobaan dilakukan di klinik Amen di New York, AS, bersama dr. Amen dan tim yang melakukan Quantitative Electroencephalograms (QEEGs). Alat ini bekerja dengan memasang 19 elektroda di kulit kepala, yang bertujuan untuk merekam aktivitas listrik dari otak dengan menggunakan pena yang menulis di atas gulungan kertas.
Tes ini adalah pemeriksaan penunjang yang berbentuk rekaman gelombang elektrik sel saraf yang berada di otak, yang bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan fisiologi fungsi otak. Hingga kini, sudah ada ribuan penelitian yang menggunakan QEEGs untuk berbagai indikasi klinis, termasuk masalah memori, kecemasan, depresi, cedera otak traumatis, dan ADHD.
Klinik Amen mendatangkan dua penulis hoaks yang biasa menulis hoaks di sebuah media. Selain kedua orang penulis ini, ada juga tiga orang relawan wanita yang didatangkan untuk diperiksa perubahan fisiologi pada otaknya saat membaca berita hoaks tersebut.
Ada tiga tahapan yang dilakukan saat pemeriksaan tersebut berlangsung. Yang pertama adalah kondisi saat pertama kali mata tertutup sebelum membaca berita hoaks, yang kedua adalah saat mereka membaca berita hoaks pertama, dan yang ketiga adalah saat membaca berita hoaks kedua.
Hasilnya berbeda dari setiap sukarelawan tersebut. Hal ini memang dipengaruhi oleh ketertarikan seseorang terhadap suatu berita dan suatu keadaan tertentu, serta keyakinan mereka masing-masing terhadap suatu pandangan tertentu.
Ada dua berita yang dibuat saat untuk kepentingan percobaan tersebut, dan ketiga sukarelawan ini memiliki hasil yang berbeda.
Saat terjadi kekesalan saat membaca artikelnya, QEEGs akan menunjukkan peningkatan aktivasi bagian depan kanan otaknya, yang cenderung dikaitkan dengan peningkatan aktivitas amigdala (ketakutan), korteks insular (kecemasan dan jijik) dan korteks prefrontal (kecemasan dan stres); dan penurunan aktivitas frontal kiri yang sering dikaitkan dengan perasaan sedih.
Tanda berwarna merah sama dengan peningkatan aktivasi, sementara tanda berwarna biru berarti deaktivasi. Ada warna merah di bagian belakang otak yang menandakan dia sedang memikirkan artikel itu, tetapi tanpa respons emosional yang signifikan. Ini terjadi saat tidak adanya emosi di dalam otak.
Hal yang tak terduga seperti perasaan emosi, kesedihan, dan perasaan lainnya akan terus ada di pikiran walaupun dia sudah tidak lagi membaca tulisan tersebut. Tulisan tersebut seperti terus melekat pada otak sehingga akan mengganggu aktivitasnya.
Anda mungkin tidak menyadari betapa otak dapat terpengaruh dari informasi yang di dapat atau dibaca. Dalam sebuah penelitian, para peneliti melihat bagaimana informasi yang salah tersebar di Facebook.
Mereka menemukan bahwa teori konspirasi dan berita ilmiah palsu dapat menyebar, karena orang cenderung memilih dan berbagi cerita berdasarkan pola informasi yang terbentuk sebelumnya, sehingga membuatnya mengabaikan berita lainnya. Orang-orang juga cenderung bergaul dengan orang-orang yang berpikiran sama. Komunitas-komunitas ini dibangun didasari rasa takut karena otak sulit dikendalikan untuk hal-hal yang sifatnya negatif.
Untuk menghindari hal ini, ada beberapa langkah sederhana yang dapat Anda lakukan untuk mencegah diri Anda membaca hoaks: tidak terpancing membaca berita dengan judul sensasional dan provokatif, cek alamat situs web apakah berita berasal dari situs media yang sudah terverfikasi Dewan Pers atau bukan, cek fakta berita, termasuk keaslian konten. Demi kesehatan otak, mari mulai menjadi pembaca yang (lebih) pintar!
(RN/RH)