Usus merupakan salah satu organ sistem pencernaan yang memiliki berbagai fungsi. Salah satunya adalah untuk menyimpan kotoran sebelum keluar dari anus. Frekuensi buang air besar (BAB) bisa saja berhubungan dengan berbagai penyakit, seperti kanker usus. Bahkan jarang BAB disebut sebagai salah satu pemicu kanker usus. Benarkah klaim tersebut?
Usus dibagi menjadi dua, yaitu usus halus dan usus besar. Usus halus berfungsi menyerap nutrisi dari proses pencernaan. Usus halus sendiri terdiri dari tiga bagian, yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus bagian tengah (jejunum), dan usus bagian akhir (ileum).
Usus besar fungsinya adalah membuang kandungan elektrolit di dalam tubuh yang tidak tercerna dan membentuk akhir pembuangan agar mudah dikeluarkan dari tubuh. Bagian dari usus besar, yaitu sekum dan rektum, berguna sebagai tempat menyimpan kotoron sebelum keluar melalui anus saat proses BAB.
Selama kotoran berada di usus besar, kandungan cairan pada kotoran tersebut dibuang. Semakin lama kotoran berada di usus besar, maka semakin keras kotoran tersebut dan semakin sulit untuk dibuang melalui proses BAB. Proses BAB yang normal adalah feses yang tidak terlalu keras dan lembek, dan tidak memerlukan bantuan mengejan untuk mengeluarkannya.
Frekuensi BAB seseorang bisa berbeda-beda
Frekuensi BAB setiap individu berbeda-beda. Misalnya ada yang tiga kali sehari, ada pula yang tiga kali seminggu. Keduanya ini termasuk normal.
Kebanyakan orang akan BAB satu kali sehari. Yang jadi masalah adalah, jika frekuensi BAB kurang dari tiga kali per minggu, berarti Anda mengalami konstipasi atau sembelit.
Ada berbagai faktor yang memengaruhi frekuensi BAB. Mulai dari makanan yang dikonsumsi, asupan cairan, usia, aktivitas sehari-hari, serta kebiasaan. Konstipasi sekarang ini seringnya terjadi akibat kehidupan modern yang sibuk seperti:
- Kurang mengonsumsi serat
- Kurang asupan cairan
- Tidak berolahraga
- Tidak segera ke toilet ketika muncul keinginan untuk BAB
Konstipasi kronis tingkatkan risiko kanker usus
Menurut studi dari American College of Gastroenterology, penderita konstipasi kronis akan meningkatkan risiko mengalami kanker usus. Selain itu, mereka juga berisiko mengalami tumor jinak. Risiko penderita konstipasi kronis memiliki kanker usus yaitu 1,78 kali dan 2,7 kali untuk tumor jinak, dibandingkan orang yang memiliki frekuensi BAB normal.
Jadi, jarang BAB akibat konstipasi memang dapat merupakan gejala kanker usus, yang mana hubungan antara keduanya ini bukan sebab akibat. Risiko kanker usus yang meningkat mungkin disebabkan karena paparan terhadap zat karsinogen pada kotoran terhadap lapisan usus besar, yang menjadi lebih lama akibat konstipasi.
Konstipasi yang kronis dan persisten harus diwaspadai, karena bisa jadi gejala dari beberapa penyakit serius seperti:
- Penyakit radang usus (inflammatory bowel disease atau IBD)
- Kanker kolorektal (usus)
- Diabetes
- Penyakit Parkinson
- Multiple sklerosis
- Depresi
- Kelenjar tiroid yang kurang aktif
Gejala kanker usus lainnya
Gejala dari kanker usus juga bisa berubah, yaitu konstipasi dan diare secara bergantian. Selain itu, gejala kanker usus lainnya juga bisa berupa:
- BAB berdarah
- Rasa BAB yang tidak tuntas
- Perubahan konsistensi feses
- Perut kembung
- Terdapat benjolan pada perut
- Nyeri pada perut bagian tengah
- Kram pada perut
- Turun berat badan tanpa sebab
Anda juga perlu mencermati tanda-tanda feses yang tidak normal, antara lain berbentuk cair (mencret), tekstur terlalu keras, mengejan dengan susah payah, berbentuk seperti kotoran kambing, berwarna hitam, atau berdarah. Itu semua sebetulnya merupakan alarm yang diberikan tubuh, sehingga baiknya segera memeriksakan diri ke dokter.
Kesimpulannya, jarang BAB karena konstipasi kronis bukannya memicu kanker usus, tetapi lebih meningkatkan risikonya. Karenanya, cegah konstipasi dengan memperbanyak konsumsi serat dan air putih, hindari terlalu banyak konsumsi susu dan kafein, rutin berolahraga, jangan mengabaikan keinginan untuk BAB, serta atur kebiasaan BAB agar bisa dilakukan dengan leluasa dan nyaman. Itu semua penting untuk menekan munculnya risiko kanker usus.
(RN/ RVS)