Selfie (swafoto) sudah menjadi kebiasaan banyak orang, khususnya para pengguna media sosial. Ya, swafoto memang dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Tapi bila dilakukan secara berlebihan dan tak terkendali, kebiasaan swafoto bisa jadi merupakan gejala dari gangguan mental yang disebut selfitis.
Selfitis merupakan istilah baru untuk menggambarkan orang yang terobsesi untuk melakukan swafoto dan mengunggahnya di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Snapchat. Meski demikian, bukan berarti bahwa semua penggemar swafoto mengalami selfitis. Berikut ini beberapa tanda yang menunjukkan bahwa seseorang mengalami selfitis:
- Lebih dari 50% fotonya di media sosial merupakan hasil dari swafoto.
- Merasa sangat puas jika bisa melakukan swafoto dan mengunggahnya di media sosial.
- Sering terpikir untuk melakukan swafoto sehingga pekerjaan atau sekolahnya menjadi terganggu karena pikiran tersebut.
- Merasa cemas atau depresi jika tidak bisa melakukan swafoto.
- Rela melakukan segala sesuatu untuk bisa mendapatkan foto diri sendiri yang menarik.
- Hubungan dengan keluarga, sahabat, dan lingkungan terdekat terganggu akibat kebiasaan swafoto.
Semakin banyak gejala yang ditemui, semakin besar kemungkinannya seseorang mengalami selfitis.
Kenali Bahayanya Selfitis
Meski terkesan tak membahayakan diri sendiri dan orang lain, selfitis tak boleh dibiarkan. Dalam jangka panjang, selfitis bisa menyebabkan berbagai dampak kesehatan fisik dan mental.
Sebuah studi dilakukan di India sebagai salah satu negara dengan pengguna Facebook terbanyak di dunia. Studi tersebut menunjukkan bahwa remaja yang ”kecanduan” swafoto rentan mengalami gangguan kepribadian narsistik.
Gangguan kepribadian tersebut ditandai dengan keyakinan bahwa dirinya jauh lebih istimewa daripada orang lain, selalu butuh pujian dari orang lain, kurang empati dan tak peduli dengan perasaan orang lain, dan memiliki perilaku yang arogan. Lebih lanjut, orang dengan gangguan kepribadian narsistik biasanya kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan dan menemukan pasangan saat sudah menginjak usia dewasa.
Tak hanya itu, orang dengan selfitis juga lebih rentan mengalami depresi. Biasanya depresi dicetuskan oleh hal-hal yang terbilang sepele, misalnya komentar tidak menyenangkan di media sosial. Gangguan depresi tersebut bisa menyebabkan seseorang memiliki ide untuk bunuh diri.
Studi tersebut juga menemukan bahwa terhitung sejak tahun 2014, setidaknya terdapat 76 kematian di India akibat usaha untuk melakukan swafoto. Kematian tersebut terjadi karena kecelakaan saat seseorang hendak melakukan swafoto di lokasi yang berbahaya, seperti di dalam air, di ketinggian, saat berpose dengan senjata, dan saat di dalam kendaraan yang sedang bergerak.
Pengobatan Selfitis
Ya, selfitis perlu diobati. Pengobatan selfitis dilakukan oleh psikiater. Namun perlu diketahui bahwa pengobatan utama selfitis bukanlah dengan cara mengonsumsi obat tertentu, melainkan dengan melakukan psikoterapi.
Psikoterapi merupakan terapi yang bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku. Pengobatan ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Umumnya dibutuhkan waktu setidaknya 6 bulan. Selain itu, pengobatannya dilakukan dengan berbagai teknik, seperti konseling individual, konseling dalam grup, dan terapi dalam keluarga.
Obat-obatan tidak selalu diberikan untuk mengobati selfitis. Obat umumnya hanya diberikan bila terdapat komplikasi seperti depresi, cemas, atau muncul keinginan untuk bunuh diri akibat gangguan mental yang berat.
Di zaman media sosial seperti sekarang, selfie sudah menjadi gaya hidup banyak orang. Swafoto memang boleh saja dilakukan. Namun demikian, yang lebih penting adalah kendalikan diri agar tak jatuh dalam gangguan mental selfitis.
[RS/ RVS]