Salah satu prosedur medis yang digunakan untuk mendeteksi penyakit sifilis adalah tes TPHA alias Treponema Pallidum Hemagglutination Assay.
Metode ini dilakukan untuk mengukur kadar antibodi di dalam serum maupun plasma darah pasien yang diduga terjangkit sifilis. Sifilis merupakan penyakit menular seksual (PMS) yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum (T. pallidum).
Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), penyakit ini menimbulkan sejumlah gejala, seperti luka di area kelamin maupun mulut, ruam di sekujur tubuh, demam, hingga sakit tenggorokan.
Pemeriksaan TPHA dilakukan guna mendeteksi infeksi bakteri penyebab syphilis tersebut. Pemeriksaan TPHA juga bertujuan mengetahui kemungkinan tubuh menghasilkan antibodi penangkal bakteri T. pallidum yang disebut sebagai antibodi treponema alias reagin.
Sekilas Soal TPHA dan Pemeriksaan Penyakit Sifilis
Orang yang pernah terinfeksi bakteri Treponema pallidum akan memiliki reagin seumur hidupnya. Antibodi ini akan bertahan di dalam darah penyintas sifilis, kendati yang bersangkutan berhasil menjalani terapi pengobatan untuk mengatasi infeksi menular seksual tersebut.
Karena itu, penyintas syphilis yang melakukan tes TPHA akan memiliki hasil reaktif (positif) sifilis seumur hidup. Hasil ini juga berlaku pada jenis tes antibodi treponema (pemeriksaan untuk mengetahui adanya reagin) lainnya.
Artikel Lainnya: Terinfeksi Penyakit Menular Seksual dari Dudukan Kloset, Mungkinkah?
Selain TPHA, tes antibodi treponema yang dimaksud, meliputi:
- Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS)
- Treponema Pallidum Rapid (TP Rapid)
- pallidum Particle Agglutination Assay (TP-PA)
- Chemiluminescence immunoassay (CLIA)
Tes antibodi treponema secara spesifik mendeteksi keberadaan reagin pada penderita sifilis. Sehingga, jenis skrining ini jarang memberikan hasil positif palsu (positive false).
Tes antibodi treponema biasanya dilakukan untuk mengonfirmasi infeksi T. pallidum pada pasien yang memperoleh hasil positif usai menjalani tes antibodi nontreponema.
Sayangnya, skrining antibodi treponema seperti tes TPHA punya beberapa kelemahan. Pertama, tes ini tidak dapat membedakan infeksi T. pallidum aktif dan infeksi yang sudah diterapi secara adekuat (memenuhi syarat).
Selanjutnya, tes antibodi treponema juga tidak dapat mengetahui apakah reagin terbentuk karena kondisi medis lainnya.
Pasalnya, sistem kekebalan juga dapat memproduksi reagin akibat infeksi jenis virus Treponema lainnya, maupun dampak penyakit autoimun kronis (berlangsung lama).
Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan laboratorium sifilis tambahan yang disebut sebagai tes antibodi nontreponema. Skrining awal syphilis ini dilakukan sebelum dokter merekomendasikan tes antibodi treponema seperti TPHA.
Tes antibodi nontreponema dapat membedakan infeksi maupun reinfeksi T. pallidum yang aktif, serta mengetahui kemungkinan penyebab munculnya reagin akibat kondisi medis lainnya. Pemeriksaan ini juga dapat memantau keberhasilan terapi pengobatan syphilis.
Tes antibodi nontreponema meliputi:
- Rapid Plasma Reagin (RPR)
- Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)
Ketika seseorang memperoleh hasil positif pada pemeriksaan antibodi nontreponema, dokter akan merujuk pasien untuk menjalani tes antibodi treponema.
Hal ini karena skrining antibodi nontreponema berisiko mengeluarkan hasil positif palsu. Untuk itu, diperlukan pemeriksaan antibodi treponema seperti tes TPHA, guna mengonfirmasi secara lebih spesifik adanya infeksi T. pallidum penyebab sifilis.
Artikel Lainnya: Daftar Infeksi Menular Seksual yang Sangat Berbahaya
Bagaimana Prosedur TPHA Dilakukan?
Tes TPHA dapat dilakukan di rumah sakit maupun laboratorium kesehatan. Pemeriksaannya dilakukan oleh dokter ataupun tenaga medis profesional.
TPHA dilakukan seperti prosedur pengambilan sampel darah lainnya. Sehingga, pasien tidak perlu menjalani persiapan khusus sebelum pemeriksaaan berlangsung.
Sebelum darah pasien diambil, tenaga medis akan membersihkan area kulit yang akan dimasukkan jarum. Proses pembersihan ini dilakukan menggunakan alkohol.
Jarum tipis kemudian dimasukkan ke dalam pembuluh vena pasien, lalu sampel darahnya diambil. Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh vena karena dinding pembuluh ini lebih tipis dibandingkan pembuluh arteri.
Selain itu, posisi pembuluh vena juga lebih dekat dengan permukaan kulit, sehingga memudahkan proses pengambilan darah.
Sampel darah kemudian akan diperiksa di laboratorium. Hal ini dilakukan guna mengecek kadar antibodi di dalam serum maupun plasma pasien yang diduga terjangkit sifilis.
Umumnya, proses pengambilan darah hanya memakan waktu kurang dari lima menit. Selanjutnya, pasien tinggal menunggu hasil skrining TPHA.
Artikel Lainnya: Bahaya Infeksi Menular Seksual pada Ibu Hamil
Menguji Sampel Darah di Laboratorium
Di laboratorium, petugas mengekstraksi sampel darah menggunakan metode sonikasi. Prosedur ekstraksi ini memanfaatkan gelombang ultrasonik guna mempercepat reaksi antara sampel dengan pelarut.
Sampel darah pasien dan pelarut diekstraksi di dalam mikrotiter alias tabung reaksi kecil.
Pelarut yang digunakan berupa sel darah merah (eritrosit) yang diawetkan, larutan buffer, serta antigen.
Larutan buffer mengandung penyerap. Komponen ini berfungsi meminimalkan risiko antibodi heterofil yang saling bereaksi silang.
Pasalnya, darah pasien yang diduga terjangkit T. pallidum berpeluang mengandung antibodi treponema yang diproduksi tubuh untuk melawan penyakit nonsifilis.
Larutan buffer kemudian dapat menyerap dan memisahkan reagin alias antibodi penangkal bakteri T. pallidum penyebab sifilis.
Sementara itu, antigen merupakan zat yang mampu menyebabkan sistem imun menghasilkan antibodi spesifik. Antigen yang digunakan dalam TPHA yaitu bakteri T. pallidum dan Nichols strain.
Ketika sonikasi berlangsung, sampel darah pasien yang mengandung reagin akan bereaksi dengan pelarut. Jika antibodi treponema ini ada di dalam sampel darah pasien, reagin dan pelarut akan membentuk lapisan sel halus yang menggumpal.
Jika reagin tidak ditemukan di dalam sampel, maka pecahan sel-sel akan mengendap di permukaan dasar mikrotiter.
Artikel Lainnya: Hati-hati, Sifilis Bisa Menular ke Bayi Sejak di Kandungan!
Bagaimana Membaca Hasil Pemeriksaan TPHA?
Hasil tes TPHA terbagi dua, yaitu hasil reaktif (positif) dan nonreaktif (negatif). Hasil TPHA positif menandakan adanya infeksi bakteri T. pallidum di dalam tubuh. Bakteri penyebab syphilis ini bisa berstatus aktif maupun tidak.
Hasil positif dapat diketahui dari tingkat aglutinasi (penggumpalan) lapisan sel di mikrotiter. Semakin padat gumpalan, kian signifikan pula hasil positif TPHA seseorang.
Intensitas gumpalan ini diukur menggunakan skala yang berkisar antara - (negatif) hingga +4.
Hasil tes laboratorium TPHA positif meliputi:
- +4: Ini merupakan hasil positif TPHA tertinggi. Mengindikasikan adanya gumpalan sel seragam (akibat adanya reagin) yang mendominasi seluruh larutan di dalam mikrotiter.
- +3: Artinya sebagian besar larutan di dalam tabung reaksi ditutupi oleh gumpalan sel yang seragam.
- +2: Gumpalan sel di dalam larutan tidak terlalu padat. Hanya berbentuk gumpalan-gumpalan kecil.
- Kurang dari +2: Kepadatan gumpalan kian berkurang, namun tetap menandakan adanya reagin.
Apabil semua pecahan sel dari sampel darah dan pelarut mengendap di dasar mikrotiter, hal ini diinterpretasikan sebagai hasil TPHA negatif.
Pasien dengan hasil TPHA negatif maupun TPHA positif yang tinggi tidak perlu melakukan skrining sifilis lanjutan. Sementara, pasien hasil positif TPHA menengah, perlu melakukan tes antibodi treponema tambahan.
Pemeriksaan lebih lanjut bisa dilakukan menggunakan Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS). FTA-ABS test juga direkomendasikan untuk pasien yang memiliki hasil tes TPHA positif palsu.
Pasalnya, meski tes TPHA memiliki akurasi yang tinggi, pada beberapa kasus, skrining ini dapat menghasilkan positive false. Umumnya, hal ini terjadi pada pasien terduga syphilis yang juga mengidap penyakit mononukleosis dan kusta (lepra).
Artikel Lainnya: Tips Berhubungan Seks untuk Pasangan dengan Penyakit Menular Seksual
Risiko Pemeriksaan TPHA
TPHA merupakan prosedur medis yang tergolong aman dan minim risiko. Meski begitu, pemeriksaan darah untuk mendeteksi bakteri penyebab sifilis ini dapat menyebabkan efek samping ringan.
Efek samping yang dimaksud berupa nyeri dan memar di area kulit bekas jarum dimasukkan. Namun tidak perlu khawatir, kondisi ini dapat hilang dengan sendirinya.
Kapan Pemeriksaan TPHA Perlu Dilakukan?
Pemeriksaan TPHA perlu dilakukan, utamanya jika seseorang menunjukkan gejala sifilis maupun memiliki sejumlah faktor yang meningkatkan risiko terjangkit penyakit menular seksual tersebut.
Berdasarkan CDC, sifilis menimbulkan gejala berupa:
- Luka dan kutil di area kelamin maupun mulut.
- Ruam di sekujur tubuh.
- Demam.
- Nyeri otot.
- Sakit tenggorokan.
- Rambut rontok.
Deretan gejala ini umumnya muncul dalam kurun 10-90 hari pascainfeksi pertama T. pallidum. Beberapa pekan setelah terinfeksi, antibodi treponema alias reagin terbentuk.
Untuk itu, jika Anda mengalami gejala sifilis segeralah berkonsultasi kepada dokter. Agar dokter dapat merekomendasikan rangkaian pemeriksaan syphilis.
Terutama jika Anda memiliki salah satu kondisi berikut:
- Pria, berusia di bawah 29 tahun.
- Sering bergonta-ganti pasangan seksual.
- Berhubungan seks tanpa menggunakan kondom.
- Melakukan aktivitas seksual yang tidak aman dan berisiko, seperti oral seks maupun rimming (menjilat dubur).
- Melakukan hubungan homoseksual.
- Memiliki pasangan yang terdiagnosis sifilis.
- Mengidap infeksi menular seksual lainnya, seperti HIV.
- Sedang hamil.
- Punya riwayat dipenjara.
- Berdomisili di kawasan dengan tingkat penularan sifilis yang tinggi.
- Aktif di lingkungan pekerja seks komersial.
- Berkulit hitam ataupun berlatar belakang Afrika-Amerika.
Ingin tanya lebih lanjut seputar prosedur medis lainnya? konsultasikan kepada dokter via Live Chat.
(OVI/JKT)
Referensi:
Microbe Online. Diakses 2022. TPHA: Principle, Procedure, Results, Interpretations.
Portea. Diakses 2022. Tpha Test.
CDC. Diakses 2022. Syphilis – CDC Fact Sheet (Detailed)
Testing. Diakses 2022. Syphilis Tests.