Sunat atau khitan adalah tindakan medis yang dilakukan dengan mengangkat kulit kulup yang menutupi ujung penis.
Ada beberapa manfaat sunat, di antaranya menurunkan risiko infeksi saluran kemih. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, sunat juga dilakukan sebagai ritual keagamaan dan budaya.
Salah satu daerah di Indonesia yang menerapkan sunat sebagai ritual budaya adalah Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di NTT melakukan sunat sifon atau sunat pakai bambu.
Mari ketahui tanggapan medis mengenai sunat sifon yang menggunakan peralatan bambu.
Mengenal Tradisi Sunat Sifon
Sunat sifon merupakan tradisi suku Atoni Meto di Nusa Tenggara Timur. Ritual ini dilakukan pria usia 18 tahun dan dilaksanakan selama musim panen.
Sebelum sunat, pria akan mengumpulkan dan menghitung batu yang jumlahnya sama banyak dengan jumlah wanita yang pernah mereka ajak berhubungan intim.
Setelah itu, tukang khitan atau sunat yang disebut ahelet, meminta pria berendam di air sungai yang mengalir.
Sungai dipilih sebagai tempat ritual dengan tujuan mencegah kehilangan banyak darah ketika proses sunat dilakukan. Ahelet kemudian menyunat penis menggunakan bambu yang telah diruncingkan.
Pada prosesnya, kulup penis pria akan dijepit dengan bambu. Setelah itu, penis dibalut dengan daun kom. Daun kom biasa digunakan masyarakat NTT untuk mengawetkan mayat. Penggunaan daun kom bertujuan mengurangi perdarahan penis.
Guna mengganti darah yang hilang akibat proses sunat, ahelet meminta para pria untuk minum darah ayam yang dicampur air kelapa.
Berhubungan intim dengan wanita menjadi penutup dari ritual ini. Dalam tradisi tersebut, berhubungan intim bertujuan luka sunat dapat segera sembuh dan sebagai ritual membuang sial.
Artikel Lainnya: Panduan Memilih Metode Sunat yang Paling Aman
Risiko Kesehatan Sunat Sifon Pakai Bambu
Menanggapi ini, dr. Arina Heidyana mengatakan proses dan ritual sunat sifon cukup berisiko bagi kesehatan.
“Bahayanya bila alat yang digunakan untuk sunat tidak steril. Hal ini bisa menyebabkan infeksi atau bahkan sepsis,” jelasnya. Bambu runcing yang digunakan untuk sunat juga berisiko tinggi terpapar bakteri dan kuman.
Selain itu, kemungkinan bambu yang digunakan terpapar pestisida atau bahan kimia lain yang berbahaya bagi organ intim pria.
Tidak dimungkiri peralatan yang digunakan saat proses sunat sifon juga berisiko menyebabkan infeksi bakteri, risiko iritasi pada penis, dan infeksi jamur di penis.
Selain dari segi kebersihan, bahaya lain yang mungkin dapat terjadi adalah cedera kulit penis akibat serpihan bambu yang digunakan untuk sunat. Pecahan tajam dari bambu runcing ini juga bisa merobek dan mencederai organ intim pria.
Di samping itu, luka bekas khitan yang dibiarkan terbuka tanpa dijahit serta ditutup dengan daun kom berisiko menyebabkan pria kehilangan banyak darah. Perdarahan hebat dapat menyebabkan kematian jika tidak segera ditangani.
Luka sunat yang tidak ditangani dan dibersihkan dengan benar dapat menyebabkan infeksi yang merusak jaringan penis.
Dalam tradisi tersebut, pria yang telah disunat harus langsung berhubungan seksual dengan wanita. Berhubungan seksual saat penis masih terluka dapat menyebabkan organ intim terasa nyeri dan meningkatkan risiko terkena penyakit menular seksual.
“Berhubungan intim pascasunat dapat menyebabkan nyeri apabila luka di penis belum kering,” ujar dr. Arina.
Meskipun mengalami pertentangan dari kacamata medis, namun sunat sifon tetapi menjadi kepercayaan bagi suku Atoni Meto di Nusa Tenggara Timur.
Konsultasi langsung dengan dokter seputar masalah tentang khitan lainnya hanya dengan aplikasi KlikDokter.
(OVI/NM)
Sumber:
- Wawancara dr. Arina Heidyana
- Cleveland Clinic. Diakses Maret 2022. Circumcision.
- Medium.com. Diakses Maret 2022. Sifon: Mengungkap Phallusentris dalam Tradisi Suku Atoni Meto.