Mungkin tak banyak dari Anda yang pernah mendengar istilah hikikomori. Wajar saja, istilah ini lebih dikenal di Jepang.
Secara umum, istilah hikikomori digunakan masyarakat Jepang untuk menggambarkan seseorang yang mengisolasi diri di rumah.
Meskipun hikikomori bukan suatu penyakit atau diagnosis medis secara resmi, tak sedikit orang yang mengaitkannya dengan gangguan kesehatan mental.
Lalu, apabila orang tua mendapati anak mengurung diri di kamar terus-menerus, apakah itu termasuk tanda dari hikikomori? Mari simak penjelasan lengkapnya di sini.
Hikikomori Bisa Terjadi pada Anak?
Secara ringkas, hikikomori adalah seseorang yang sangat menghindari kontak sosial (misalnya melalui pendidikan, pekerjaan, atau persahabatan).
Mereka akan mengisolasi dan menarik diri dari lingkungan ke dalam tempat tinggalnya selama setidaknya enam bulan sebagai akibat dari beberapa faktor.
Banyak pelaku hikikomori memilih untuk mengurung diri dalam kamarnya, bahkan terkadang menolak berinteraksi dengan anggota keluarga yang tinggal serumah. Mereka menghabiskan waktu hanya dengan membaca, menonton, atau tidur.
Nah, hal yang perlu mendapat perhatian dari para orang tua adalah gejala hikikomori dapat mulai muncul di usia remaja.
Itu sebabnya, saat Anda mulai melihat gelagat anak sesuai dengan gejala di atas, jangan dibiarkan. Apalagi kondisi tersebut dapat terus berlangsung hingga usia paruh baya.
Artikel lainnya: Bukan Kesepian, Ini Manfaat yang Didapatkan dari Menyendiri
Pada tahun 2015, Jepang mengadakan survei. Hasilnya, diperkirakan pelaku hikikomori mencapai 541.000 orang pada rentang usia 15-39 tahun.
Survei kembali dilakukan pada akhir 2018 pada kelompok usia lebih tua (40-64 tahun). Hasilnya, ditemukan jumlah yang bahkan lebih banyak, yakni sekitar 613.000 orang.
Berdasarkan survei terkini, kebanyakan hikikomori malah ditemukan pada kelompok usia lebih lanjut. Kurang lebih 76,6% merupakan mereka yang berusia antara 40-64 tahun. Kondisi ini juga lebih umum ditemukan pada laki-laki.
Sayangnya, penyebab pasti munculnya fenomena hikikomori masih dipelajari dan dikaji lebih lanjut.
Salah satu jurnal penelitian menyebutkan bahwa penyebab anak mengurung diri dan melakukan hikikomori berkaitan dengan depresi, gangguan kecemasan, hingga masalah kepribadian.
Beberapa ahli menganggap hikikomori sebagai sindrom yang erat kaitannya dengan kultur. Hal ini disimpulkan mengingat kebanyakan kasus dilaporkan di negara Jepang.
Akan tetapi, ahli kejiwaan dari seluruh dunia melaporkan pernah mendapatkan kasus penarikan diri dari kehidupan sosial yang serupa. Walau demikian, kasus di masing-masing negara tersebut tampaknya tidak sebanyak kasus yang ditemukan di Jepang.
Ciri-Ciri Anak Hikikomori
Istilah ini sudah mulai populer sejak tahun 1990-an. Namun, pada tahun 2003, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang membuat kriteria berisi ciri-ciri hikikomori, yaitu:
- Seseorang dengan gaya hidup yang berpusat di rumahnya.
- Tidak memiliki ketertarikan ataupun kemauan untuk pergi ke sekolah atau bekerja, anak cenderung akan mengurung diri di kamar.
- Isolasi telah berlangsung setidaknya selama enam bulan berturut-turut.
- Tidak memiliki gangguan mental, seperti skizofrenia, retardasi mental, ataupun lainnya.
- Tidak memiliki relasi dengan orang lain, misalnya pertemanan.
Artikel lainnya: Jangan Judging, Lebih Suka Menyendiri Bukan Berarti Depresi
Sering kali, mereka mengubah jam tidur (tidur di siang hari dan bangun di malam hari) untuk menghindari interaksi dengan orang lain. Beberapa pelaku hikikomori menyatakan dapat tetap berinteraksi jika berhadapan dengan orang asing yang tidak mereka kenal.
Mereka umumnya mampu keluar rumah, misalnya untuk membeli barang keperluan hidup, walau biasanya dilakukan pada malam hari.
Kebanyakan dari mereka juga bergantung secara finansial pada orang tua untuk bertahan hidup.
Cara Mengatasi Anak Hikikomori
Saat mengetahui anak sering mengurung diri di kamar atau mengisolasi diri secara ekstrem, Anda tak boleh pasif saja. Pasalnya, pelaku hikikomori memerlukan bantuan khusus agar dapat kembali ke kehidupan sosial.
Anda dapat membawanya berkonsultasi dengan dokter atau psikolog untuk mendapatkan terapi.
Pada beberapa kasus yang lebih berat, dapat diperlukan terapi hingga bertahun-tahun sampai si anak dapat keluar dari “cangkangnya”.
Apabila Anda sedang mendampingi anak yang tengah menunjukkan kondisi hikikomori, tanamkan dengan jelas bahwa ini bukanlah kondisi mudah yang bisa berubah dalam sekejap mata.
Dukungan dari orang-orang terdekat sangat penting untuk melancarkan adaptasi hikikomori menuju kondisi yang lebih normal.
Jika Anda masih punya pertanyaan mengenai topik ini, jangan ragu konsultasi dengan dokter via Live Chat di aplikasi KlikDokter.
[RS]