Media sosial dan perilaku bunuh diri bisa dibilang merupakan fenomena baru. Beberapa tahun belakangan marak ditemukan kasus bunuh diri yang dipicu oleh media sosial di banyak negara.
Kasus pertama yang menjadi sorotan dunia adalah kasus Phoebe Prince, seorang gadis yang kala itu masih berusia 15 tahun, gantung diri akibat cyberbullying pada tahun 2010. Pada tahun 2017, kasus serupa terjadi di Paris, ketika seorang gadis bernama Océane Ebem (18) melakukan aksi bunuh diri dengan merekam dirinya secara langsung lewat media Periscope.
Komentar orang-orang yang menonton live ini dianggap sebagai pemicu Oceane bunuh diri, di luar dari tekanan psikologis yang tengah dialaminya. Kasus ini menuai perhatian luas dan seakan membuka mata jutaan manusia tentang pengaruh media sosial terhadap perilaku bunuh diri, khususnya pada remaja.
Selain dari dua kasus yang disebutkan di atas, sebetulnya masih banyak kasus bunuh diri yang diduga kuat diakibatkan oleh media sosial. Pada banyak kasus bunuh diri, khususnya pada remaja, banyak ditemukan bukti-bukti bahwa penggunaan internet dan media sosial memengaruhi perilaku bunuh diri ini.
Angka bunuh diri meningkat
Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dalam rentang tahun 2010 hingga 2015, angka kasus bunuh diri cenderung meningkat bersamaan dengan jumlah penggunaan media sosial di kalangan remaja di Amerika Serikat. Padahal, dua dekade sebelumnya (saat media sosial belum ada), angka bunuh diri pada remaja AS cenderung menurun.
Para peneliti di Inggris juga menemukan penemuan serupa, yaitu terjadi peningkatan signifikan perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm) pada gadis remaja. Terjadi peningkatan perilaku self-harm sebanyak 68 persen pada gadis remaja berusia 13-16 tahun dari tahun 2011-2014. Selain itu, remaja perempuan lebih banyak melaporkan perilaku self-harm yang dilakukannya, dibanding remaja laki-laki, yaitu 37,4 per 10.000 pada remaja perempuan dan 12,3 per 10.000 pada remaja laki-laki.
Sebetulnya masih belum jelas seberapa besar peran media sosial terhadap aksi bunuh diri, ada penelitian yang menemukan fakta bahwa penggunaan media sosial dapat memengaruhi tingkat ansietas pada mereka yang berusia 18-35 tahun (young adult).
Menurut para peneliti studi tersebut, jumlah keseluruhan remaja yang bunuh diri masih cukup rendah. Meski begitu, ditemukan hasil bahwa jumlah remaja perempuan yang bunuh diri mengalami peningkatan dalam beberapa tahun belakangan, sedangkan tingkat bunuh diri pada remaja pria masih lebih tinggi.
Menurut Dr. Thomas Simon, pakar pencegahan bunuh diri dari CDC, yang dikutip di laman NBCnews, peningkatan angka bunuh diri tidak terjadi karena faktor tunggal. Ada beberapa faktor lain yang juga turut berpengaruh seperti ketergantungan pada zat adiktif, terjerat hukum, atau 'tertular' perilaku bunuh diri dari orang lain bisa meningkatkan risiko bunuh diri. Jadi, penggunaan ponsel pintar bukanlah faktor utama penyebab seseorang bunuh diri. Meski demikian, tetap saja banyak orang yang curiga terhadap dampak penggunaan ponsel pintar pada remaja.
Perlukah waspada pada smartphone?
Seperti dikutip di laman Time, profesor psikologi di Universitas San Diego, AS, Jean Twenge, mengatakan bahwa banyak orang tua yang menganggap enteng permasalahan remaja dan media sosial. Memantau penggunaan smartphone sebagai media aktivitas media sosial sangat penting untuk dilakukan orang tua.
Royal Society for Public Health menganjurkan untuk tidak berlama-lama 'bergaul' di media sosial. Batas waktu yang aman untuk menggunakan media sosial dalam sehari adalah dua jam. Penggunaan lebih dari itu dapat meningkatkan tekanan psikologis. Tekanan psikologis ini pun akan semakin buruk jika terpapar atau menjadi korban cyberbullying.
Penelitian yang dilakukan oleh Sameer Hinduja dan Justin W. Patchin dari Florida Atlantic University dan University of Wisconsin menemukan bahwa dibandingkan dengan korban bullying tradisional, korban cyberbullying memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk melakukan tindakan bunuh diri. Untuk pelaku cyberbullying, angka kemungkinan untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah satu setengah kali lebih besar dibandingkan dengan pelaku bullying tradisional.
Mencegah naiknya angka bunuh diri akibat penggunaan media sosial
Media sosial memang tidak selalu buruk, tapi tak jarang juga muncul banyak kasus terkait kesehatan mental akibat penggunaannya secara masif, yaitu gangguan depresi.
Beberapa studi telah dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda depresi melalui media sosial. Peneliti dari Universitas Harvard dan Universitas Vermont, Amerika Serikat, mencari tahu melalui foto-foto di Instagram. Hasilnya, dari 166 partisipan, sebanyak 71 di antaranya diketahui memiliki depresi.
Lalu, apa yang bisa Anda lakukan? Mengingat gangguan depresi pada pengguna media sosial nyata adanya, Anda dapat ikut “berpatroli”, misalnya di Instagram, jika menemukan teman atau kerabat Anda mengunggah konten-konten sebagai berikut:
- Berapa jumlah orang dalam suatu foto. Depresi berhubungan dengan isolasi sosial.
- Terangnya pencahayaan suatu foto atau warna yang digunakan sebagai filter. Depresi dikaitkan dengan warna yang gelap serta tidak menunjukkan banyak warna pada suatu foto. Hal ini mengindikasikan mood yang negatif.
- Unggahan atau post per hari. Untuk melihat aktivitas pengguna.
- Jumlah komentar dan ‘like’ setiap postingan. Untuk melihat interaksinya dengan lingkungan atau komunitas.
Foto-foto yang diunggah oleh penderita depresi cenderung lebih gelap, keabuan, atau kebiruan dibandingkan dengan orang yang tidak depresi. Selain itu, unggahan pada penderita depresi menerima lebih banyak komentar tetapi lebih sedikit “like”. Penderita depresi juga didapatkan cenderung melakukan posting gambar wajah, tetapi hanya ada sedikit orang di dalamnya.
Jika Anda menemukan ada teman atau kerabat Anda yang mengunggah jenis konten yang disebutkan di atas, atau menemukan konten yang terasa depresif dan berbeda dengan sosok yang Anda kenal sebelumnya, ada beberapa hal sederhana yang bisa Anda lakukan.
Hal pertama yang bisa Anda lakukan adalah menjangkau mereka, dalam arti menanyakan kabar atau mengajak mereka bertemu sekadar ngopi sambil berbincang santai. Dengarkan setiap cerita yang mereka ceritakan, khususnya jika menyakut permasalahan yang tengah mereka hadapi. Tanggapi curahan emosi mereka dengan serius, bukan menyepelekannya.
Mencari tahu informasi mengenai kontribusi media sosial terhadap depresi, juga akan membantu Anda meyakinkan mereka bahwa pada beberapa kasus, depresi membutuhkan penanganan oleh para profesional. Jika dibiarkan secara terus-menerus, depresi akan memburuk dan yang paling ditakutkan adalah, penderita akan menganggap bunuh diri sebagai suatu jalan keluar yang terbaik.
[RVS]