Kesehatan Mental

Benarkah Prostitusi Merupakan Salah Satu Gejala Gangguan Mental?

Krisna Octavianus Dwiputra, 10 Jan 2019

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Prostitusi memang menjadi isu sosial yang tak ada habisnya. Terkait hal ini, apakah prostitusi merupakan salah satu gejala gangguan mental?

Benarkah Prostitusi Merupakan Salah Satu Gejala Gangguan Mental?

Prostitusi kembali menjadi perbincangan hangat setelah beberapa selebritas tertangkap karena kasus prostitusi online akhir pekan lalu. Prostitusi memang menjadi isu sosial yang tak ada habisnya. Terkait hal ini, apakah prostitusi merupakan salah satu gejala gangguan mental?

Apa itu prostitusi?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan atau bisa disebut dengan pelacuran.

Dalam prostitusi, setidaknya ada dua pihak yang terlibat, yaitu pekerja seks dan pengguna jasa. Biasanya, dalam lingkaran prostitusi, pemakai akan memesan melalui muncikari yang bertindak sebagai perantara. Barulah muncikari akan mengirim pekerja seks kepada pengguna jasa tersebut. Lalu, apakah pekerja yang terlibat dalam prostitusi dapat digolongkan mengalami gangguan mental?

World Health Organization (WHO) sudah memasukkan kecanduan seksual sebagai salah satu gangguan mental sejak pertengahan tahun lalu. Namun, menurut dr. Atika dari KlikDokter, prostitusi tidak selalu menandakan bahwa seseorang mengalami gangguan mental.

Menurut dr. Atika, seorang pekerja seks bisa saja memiliki kondisi mental yang sehat. Namun karena desakan ekonomi atau keselamatan terancam, dia menjadi pekerja seks. Dalam hal ini, kata dr. Atika, pekerja seks tersebut menjadi korban human trafficking.

"Prostitusi ini cakupannya luas. Beberapa hal bisa mendasari alasan orang mau melakukannya. Jadi, tidak serta merta prostitusi dianggap sebagai gangguan mental," ujar dr. Atika.

Menurutnya, prostitusi bisa dianggap sebagai gangguan mental jika orang tersebut—baik pengguna jasa maupun pekerja seks—sudah mengalami kondisi hiperseks. Gangguan semacam ini sangat dipengaruhi oleh kondisi psikis seseorang.

Pekerja seks rentan terkena masalah mental

Asumsi yang sering muncul adalah bahwa pekerja seks lebih rentan terkena masalah kesehatan mental. Beberapa orang percaya bahwa gangguan mental pada pekerja seks sudah terjadi sejak awal mereka melakoni pekerjaan itu

Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa gangguan mental terjadi akibat pekerjaan itu sendiri, antara lain disebabkan oleh stigma sosial, risiko hukum dan kesehatan. Selain itu juga adanya paparan kekerasan dan pelecehan yang membuat mereka menderita secara mental.

Memang selama ini tidak ada penelitian yang mengaitkan pekerja seks dengan kondisi gangguan mental. Namun, dinukil dari Psychology Today, penelitian yang dilakukan di Swiss pada tahun 2010 ini menawarkan pandangan yang langka. Tidak seperti kebanyakan negara, di Swiss pekerja seks adalah legal. Pada 2005 di Zurich, ada sekitar 4.000 pekerja seks perempuan yang terdaftar secara resmi.

Untuk studi ini, para peneliti merekrut 193 dari 4.000 pekerja seks tersebut. Mereka dihubungi dan diwawancarai tentang kesehatan mental dan pengalaman mereka dengan pekerjaan seks.

Ada banyak informasi menarik yang terkuak melalui penelitian ini. Misalnya, pendapatan rata-rata pekerja seks ternyata melebihi pendapatan rata-rata warga Swiss. Di sisi lain, ada temuan bahwa 45 persen pekerja seks yang dihubungi tidak ada keinginan untuk berhenti, dan menyukai pekerjaan tersebut.

Namun, adanya masalah mental menjadi hasil penelitian yang cukup penting. Sebanyak 50 persen pekerja seks melaporkan setidaknya mengalami satu kali gangguan kejiwaan selama 12 bulan terakhir.

Yang paling umum terjadi adalah gangguan mood atau suasana hati (30 persen), kecemasan (34 persen), sindrom stres pasca-trauma (13 persen). Akan tetapi, tidak ada yang didiagnosis menderita skizofrenia atau ketergantungan alkohol.

Namun, apakah pekerja seks berisiko lebih tinggi terhadap kesehatan mental daripada yang lain? Para peneliti menduga ini mungkin terkait dengan negara asal pekerja seks, tempat mereka bekerja (apakah di jalan, mobil, hotel, atau lokalisasi), berapa banyak dukungan sosial yang mereka dapatkan, dan seberapa banyak kekerasan di dalam dan di luar konteks pekerjaan seks yang mereka alami.

Oleh karena itu, pekerja seks yang berada dalam lingkaran prostitusi belum dapat disebut memiliki gangguan mental. Selain dilihat dari sisi pekerja seks dan pengguna layanan seks, perlu dipertimbangkan pula faktor-faktor eksternal di setiap negara yang bisa jadi berbeda. Misalnya, tekanan sosial budaya dan agama, serta situasi ekonominya. Itulah sebabnya, diperlukan penelitian dan kajian ilmiah mendalam untuk memastikan hal tersebut.

[HNS/ RVS]

Gangguan Mental
Kecanduan seks
Prostitusi
Seks
Pekerja Seks
Hiperseks