Manusia diciptakan untuk berpasangan, antara pria dan wanita. Ini erat kaitannya dengan sistem reproduksi untuk berkembang biak. Namun sejak tahun 1500an, dunia mengenal hubungan sesama jenis atau sering disebut sebagai homoseksual. Seiring perkembangan zaman, hadirlah istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).
Homoseksual atau Gay bukanlah penyakit yang harus disembuhkan. Namun, bagi sebagian orang, orientasi seksual ini dianggap tabu, khususnya di beberapa negara termasuk Indonesia. Akibatnya, tak sedikit yang menganggap hal ini sebagai ‘penyakit’ yang harus disembuhkan.
Label tabu dan sikap antipati yang ditunjukkan sebagian orang pada kaum LGBT membuat beberapa orang enggan mencari pertolongan atas apa yang mereka rasakan. Hal ini juga yang akhirnya memicu para aktivis kelompok ini bergerak memperjuangkan hak asasi mereka. Hasilnya, beberapa negara telah melegalkan pernikahan sesama jenis.
Seiring dengan perkembangan hak asasi kelompok tersebut, kategori gangguan kejiwaan pada kelompok LGBT juga berubah pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi II menjadi gangguan orientasi seksual dan berubah nama menjadi ego-dystonic homosexuality pada DSM III.
Pada edisi terbaru menjadi gender dysphoria pada DSM 5. Diagnosis ini lebih mengarah pada gangguan yang terkait dengan perbedaan jenis kelamin sebagai masalah individu daripada masalah sosial.
Artikel Lainnya: Cinta Sesama Jenis, Benarkah Bisa Menular?
Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, Bisa Diobati?
Bisakah gangguan orientasi seksual ini disembuhkan? Kurang lebih sekitar 50 tahun lalu, terdapat laporan bahwa gay dapat disembuhkan.
Seorang profesor dan psikiater (dokter ahli kejiwaan) dari Universitas Pennsylvania melakukan psikoterapi selama 4–8 tahun pada kaum gay. Hasilnya, pasien mulai meninggalkan kelakuan dan pakaian yang feminin. Mereka juga mulai berkencan dengan wanita dan menikah.
Sebuah buku Homosexuality in Persprective juga menyatakan dapat menyembuhkan gangguan orientasi seksual ini. Studi selama 14 tahun terhadap 67 orang homoseksual, baik pria maupun wanita, yang merasa tidak nyaman akan kelainan ini menunjukkan keberhasilan sebanyak 70%.
Sementara itu, terapi lainnya yaitu terapi konversi atau yang lebih dikenal reparatif, dianggap membahayakan penderita. Terapi tersebut dapat berujung pada depresi, kecemasan, penggunaan obat-obatan bahkan bunuh diri.
Namun ada juga pendapat yang berbeda. Pendapat ini menyatakan bahwa orientasi seksual yang menyimpang tidak dapat diubah. Satu-satunya yang dapat diperbaiki adalah rasa ketidaknyamanan penderita mengenai kelainan seksual tersebut sehingga mereka dapat menerima dirinya sendiri.
Hingga saat ini terapi gangguan orientasi seksual menyimpang, khususnya pada kaum homoseksual atau LGBT, masih membuahkan hasil yang berbeda-beda. Sebaiknya, berkonsultasilah pada dokter kejiwaan.
(DA/ RH)