Kesehatan Mental

Mengenal Istilah Doom Spending di Kalangan Gen Z dan Milenial

Gen Z dan Milenial Bahagia atau Bangkrut? Pelajari mengapa generasi muda sering terjebak dalam siklus belanja impulsif dan bagaimana "doom spending" mengancam stabilitas keuangan mereka.

Mengenal Istilah Doom Spending di Kalangan Gen Z dan Milenial

Generasi Z dan Milenial sering kali dicap sebagai generasi yang penuh semangat dan inovatif, tetapi juga memiliki kecenderungan untuk berperilaku impulsif, terutama dalam hal keuangan.

Di era digital, dengan segala kemudahan teknologi, kedua generasi ini cenderung mengedepankan kenyamanan dan kebebasan dalam pengambilan keputusan.

Salah satu manifestasi dari gaya hidup modern ini adalah fenomena konsumsi yang tidak terkendali, sering kali berdalih “menyayangi diri sendiri” atau self-care.

Self-care atau self-reward, dalam beberapa konteks, merupakan bentuk positif dari mencintai diri sendiri mendukung kesehatan mental dan fisik melalui relaksasi, liburan, atau pembelian barang yang diinginkan.

Artikel lainnya: Hai Gen Z, Punya Asuransi Kesehatan Penting Untuk Masa Depan Yang Lebih Aman

Namun, dalam praktiknya, banyak dari pembelian ini didasarkan pada dorongan emosional yang tidak dipertimbangkan dengan baik, yang mengakibatkan pengeluaran berlebihan.

Akibatnya, keuangan seringkali menjadi tidak stabil, bahkan bagi mereka yang tampak hidup dengan gaya yang mewah di media sosial. Kecenderungan ini sangat relevan di kalangan Gen Z dan Milenial, di mana perilaku belanja impulsif dan konsumsi berlebihan sering dipromosikan dalam budaya pop.

Salah satu istilah yang kini populer untuk menggambarkan kebiasaan belanja tanpa perhitungan adalah “doom spending”. Istilah ini mengacu pada perilaku konsumsi yang tidak terkendali di tengah ketidakpastian atau kecemasan finansial.

Artikel lainnya: Cara Mencapai Kesehatan Fisik dan Mental dengan Gaya Hidup Frugal Living

Apa yang Dimaksud dengan Doom Spending?

Doom spending adalah istilah yang semakin sering digunakan untuk menggambarkan fenomena di mana seseorang melakukan pembelian atau konsumsi sesuatu secara berlebihan di tengah ketidakpastian ekonomi atau krisis pribadi.

Istilah ini mengacu pada perilaku belanja yang tidak rasional, kurangnya kontrol diri, dan sering kali didorong oleh emosi negatif, seperti kecemasan, stres, atau ketakutan akan masa depan.

Dalam konteks ini, belanja yang impulsif menjadi cara untuk menenangkan perasaan tersebut, meskipun dapat memperburuk masalah keuangan yang sudah ada.

Fenomena doom spending sangat berkaitan dengan sikap defensif terhadap ketidakpastian, terutama di era pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi yang mengikutinya.

Doom spending dinilai sebagai cara seseorang mengatasi rasa pesimisme yang menyelimuti pandangan mereka terhadap kondisi ekonomi dan masa depan yang suram.

Dalam kondisi seperti ini, banyak orang, terutama dari generasi yang lebih muda, merespons ketakutan dan stres dengan berbelanja, meskipun kondisi keuangan mereka sebenarnya tidak mendukung.

Hal ini menciptakan ilusi sementara bahwa konsumsi dapat mengatasi kecemasan dan stres, padahal justru memperparah situasi finansial dalam jangka panjang.

Artikel lainnya: Fenomena Kaluna, Sandwich Generation, dan Anak Bukan Investasi Masa Depan Keluarga

Ciri-Ciri Doom Spending

Untuk memahami apakah seseorang terlibat dalam perilaku doom spending, ada beberapa ciri-ciri yang dapat diidentifikasi:

1. Belanja impulsif tanpa pertimbangan

Salah satu ciri paling umum dari doom spending adalah keputusan untuk membeli barang secara impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensi, anggaran atau kebutuhan. Pembelian ini biasanya tidak direncanakan dan terjadi secara mendadak, sering kali disebabkan oleh dorongan emosional.

2. Menggunakan kredit atau utang untuk belanja

Orang yang terjebak dalam doom spending sering kali menggunakan kartu kredit atau pinjaman untuk mendanai gaya hidup atau ekspektasi mereka.

Ini menciptakan lingkaran utang yang semakin sulit untuk keluar, terutama ketika pengeluaran terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan.

3. Berbelanja sebagai respons terhadap stres atau kecemasan

Banyak individu yang terlibat dalam doom spending menggunakan belanja sebagai pelarian dari masalah emosional mereka. Belanja memberikan kepuasan dan pengalihan sementara, tetapi dalam jangka panjang, tidak menyelesaikan akar masalah yang mendasari stres atau kecemasan tersebut.

4. Mengabaikan kondisi keuangan

Individu yang terjebak dalam doom spending sering kali mengabaikan (denial) dengan situasi keuangan mereka sendiri. Meskipun mengetahui bahwa mereka memiliki keterbatasan anggaran, mereka tetap melakukan pembelian yang tidak perlu atau bahkan melebihi kemampuan finansial.

5. Rasa bersalah setelah berbelanja

Setelah melakukan pembelian impulsif, banyak orang mengalami rasa bersalah atau menyesal. Ini adalah tanda bahwa pembelian tersebut tidak didasarkan pada kebutuhan, melainkan hanya untuk memuaskan dorongan sementara.

6. Keinginan untuk berbelanja lebih

Kurangnya kontrol diri dan manajemen stres yang buruk dapat meningkatkan risiko semakin besarnya frekuensi belanja impulsif. Disisi lain, dorongan emosional yang tidak diatasi juga memperbesar motivasi untuk doom spending.

Artikel lainnya: Generasi Z Rentan Terserang Gangguan Mental

Mengapa Doom Spending Kerap Terjadi?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan doom spending kerap terjadi, terutama di kalangan Gen Z dan Milenial. Beberapa faktor tersebut antara lain:

1. Tekanan sosial dan media sosial

Media sosial sering kali menjadi penyebab utama dari doom spending. Generasi muda sering kali membandingkan diri mereka dengan orang lain yang terlihat sukses dan bahagia di media sosial.

Gaya hidup mewah dan barang-barang mahal yang ditampilkan di platform seperti Instagram atau TikTok menciptakan dorongan untuk mengikuti tren tersebut, meskipun kondisi keuangan pribadi tidak mendukung.

2. Kemudahan akses terhadap belanja online

Era digital telah mempermudah segala hal, termasuk belanja. Dengan hanya beberapa klik, seseorang dapat membeli apa saja dari berbagai platform e-commerce.

Kecepatan dan kemudahan akses ini memperburuk kecenderungan doom spending, karena tidak ada jeda waktu untuk mempertimbangkan dengan bijak apakah suatu pembelian benar-benar diperlukan.

3. Kecemasan tentang masa depan

Ketidakpastian tentang masa depan, terutama dalam konteks ekonomi, membuat banyak orang merasa cemas.

Alih-alih menabung atau mempersiapkan diri, beberapa orang merespon kecemasan ini dengan berbelanja sebagai bentuk pelarian dari kenyataan yang tidak nyaman atau belum sesuai harapan.

4. Kebudayaan konsumerisme yang mengakar

Gaya hidup konsumtif telah menjadi bagian dari budaya modern, terutama di kalangan anak muda. Keinginan untuk memiliki barang-barang terkini atau mengikuti tren fesyen dan teknologi menciptakan tekanan tambahan untuk terus berbelanja.

5. Kurangnya pendidikan finansial

Banyak Gen Z dan Milenial yang tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang keuangan pribadi. Kurangnya pendidikan finansial membuat mereka cenderung membuat keputusan keuangan yang tidak bijaksana, termasuk perilaku doom spending.

Artikel lainnya: Belanja Impulsif, Bagaimana Cara Mengontrolnya?

Cara Mengatasi Doom Spending

Cara Mengatasi Doom Spending

Meskipun doom spending bisa menjadi masalah yang serius, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kebiasaan ini:

1. Membangun kesadaran finansial

Langkah pertama untuk mengatasi doom spending adalah membangun kesadaran tentang kondisi keuangan pribadi. Menyusun anggaran, melacak pengeluaran, dan memahami berapa banyak yang dapat dibelanjakan adalah langkah awal untuk mengendalikan perilaku belanja impulsif.

2. Mengurangi penggunaan kartu kredit atau pinjaman

Salah satu cara untuk mengendalikan doom spending adalah dengan mengurangi penggunaan kartu kredit atau pinjaman. Membatasi diri untuk hanya menggunakan uang tunai atau debit akan membantu mencegah pengeluaran berlebihan.

3. Membuat daftar belanja

Sebelum berbelanja, buatlah daftar barang yang benar-benar dibutuhkan. Hal ini akan membantu menghindari pembelian impulsif dan menjaga fokus pada kebutuhan daripada keinginan.

4. Menetapkan batasan dan tujuan keuangan

Menetapkan tujuan keuangan jangka panjang, seperti menabung untuk masa depan atau melunasi hutang, dapat membantu mengendalikan dorongan untuk berbelanja.

Dengan adanya tujuan yang jelas, seseorang akan lebih termotivasi untuk menyimpan uang daripada membelanjakannya secara impulsif.

5. Melatih mindfulness dalam keseharian

Melatih mindfulness dapat membantu meningkatkan kesadaran dan tidak terikat dengan kondisi emosi negatif secara berlebihan. Fokus pada sesuatu yang bisa dikendalikan dan sesuai dengan kapasitas diri dapat menurunkan risiko doom spending

6. Mencari bantuan profesional

Jika doom spending sudah menjadi masalah yang serius dan sulit dikendalikan, mencari bantuan dari profesional keuangan atau konselor mungkin menjadi solusi terbaik. Mereka dapat memberikan panduan dan strategi untuk mengelola keuangan dengan lebih baik.

Doom spending adalah fenomena yang semakin umum di kalangan Gen Z dan Milenial, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dan tekanan sosial dari media.

Meskipun perilaku ini dapat memberikan kepuasan sementara, dampaknya terhadap kondisi keuangan jangka panjang bisa sangat merugikan.

Untuk mengatasi doom spending, dibutuhkan kesadaran finansial yang lebih baik, perencanaan yang matang, dan pengendalian diri dalam melakukan pembelian.

Atasi stres dan kecemasan dengan lebih sehat! Downloadaplikasi KlikDokter sekarang untuk mendapatkan tips kesehatan mental yang tepat. Temukan juga artikel menarik lainnya hanya di KlikDokter!

  • Ahmed, S., & Ul Haq, S. (2020). "Impulse Buying Behavior in Digital Age: An Empirical Study." Journal of Consumer Behavior.
  • Lovric, M., & Cetin, A. (2021). "Psychological Factors Influencing Impulse Buying Among Millennials." International Journal of Market Research.
  • Lee, K., & Lee, J. (2022). "The Impact of Social Media Influencers on Consumer Purchase Intentions: The Case of Instagram." Journal of Marketing Studies.