Pernahkah Anda mendengar guyonan seperti ini: “Gula, gula apa yang bukan gula? Gula aren’t” atau “Barusan saya ke apotek beli obat tidur. Pas pulang, saya bawanya pelan-pelan takut obatnya bangun”.
Anda tertawa? Mungkin belum tentu. Tapi bagaimana dengan perasaan kesal? Sangat mungkin terjadi!
Dalam istilah zaman now guyon receh semacam itu disebut dad jokes alias jokes bapak-bapak.
Apa yang dimaksud dengan dad jokes? Apa pula fakta psikologis soal fenomena dad jokes ini?
Dad Jokes dari Kacamata Psikolog
Istilah dad jokes sebenarnya sudah lama dikenal. Menurut urbandictionary, dad jokes adalah lelucon receh, murahan, ataupun yang dibuat sang ayah kepada anaknya.
Lelucon semacam ini punya “kekuatan” membuat seseorang tertawa dan gemas di saat bersamaan.
Menariknya, jokes bapak-bapak ini dengan cepat meluas dan dikenal berkat bantuan internet dan media sosial.
Makanya tidak heran semakin banyak dad jokes muncul dan populer. Lantas, bagaimana tanggapan psikolog terkait hal ini?
Menurut psikolog Ikhsan Bella Persada, M.Psi., tidak ada arti atau pandangan tersendiri dari kacamata psikolog mengenai lelucon ala bapak-bapak ini.
Hanya saja, secara umum dad jokes ini bisa diartikan sebagai suatu humor yang simple dan minim risiko. Orang lain yang mendengarnya pun merasa humor ini kurang memberikan arti lucu.
Artikel Lainnya: Kelelahan dengan Peran sebagai Orang Tua? Lakukan Ini!
“Sense of humor setiap orang kan berbeda-beda. Hal yang memengaruhi humor yang dilontarkan juga macam-macam, termasuk lingkungan sehari-harinya,” ujar Ikhsan.
“Makanya, ada beberapa orang saat mendengar jokes dari bapak-bapak akan merasa sangat lucu, tapi ada juga merasa lelucon itu garing, tidak jelas, dan tidak menarik,” dia menambahkan.
Meski begitu, pihak yang memberikan guyonan, termasuk dad jokes, memiliki tujuan untuk menghibur tanpa maksud untuk menyinggung.
Kecuali, humor yang dilontarkan memang bermaksud untuk sarkasme atau menyindir pihak tertentu.
“Jadi sebenarnya, semakin bertambah tua, seseorang akan berusaha untuk membuat jokes yang makin make sense. Berbeda dengan yang lebih muda yang biasanya lebih absurd, ” jelas Ikhsan.
Artikel Lainnya: 6 Manfaat Sehat Tertawa yang Perlu Anda Tahu
Hubungan Selera Humor dengan Kepribadian Seseorang
Semakin receh guyonan yang Anda berikan, semakin malas juga terkadang orang asing untuk mendengarnya.
Misalnya saja film Joker, saat sang pemeran utama berusaha berguyon tapi justru dikecam pendengarnya.
Alasannya, menurut masyarakat pendengarnya, guyonan yang dilontarkan sangat tidak pantas, dan cukup sadis.
Lalu, adakah hubungannya antara selera humor dengan kepribadian seseorang? Menanggapi hal ini, Ikhsan pun setuju bahwa selera humor bisa dikaitkan dengan kepribadian seseorang, baik bagi yang pelontar jokes maupun pendengarnya.
“Setiap orang punya kepribadian yang berbeda-beda. Ada yang tipenya mudah terbuka dengan orang dan bergaul dengan orang lain,” ujar psikolog tersebut.
Biasanya, dia menambahkan, orang yang terbuka cenderung sering membuat humor dan tidak masalah jika humor itu juga ditujukan padanya. Namun, di lain sisi, ada juga individu yang merasa jika humor itu tidak pantas.
Artikel Lainnya: Bagaimana Orang Tua Sebaiknya Memberi Kebebasan pada Anak?
“Jadi, maksudnya di sini, setiap orang punya kepribadian berbeda dan punya humor yang berbeda pula. Baik dalam hal menerima humor ataupun melontarkan humor,” dia menambahkan.
Ikhsan menjelaskan, orang yang mudah merasa cemas juga cenderung memilih humor yang sehat dan “aman” tanpa menyerang pihak tertentu.
Ini artinya, mereka tidak suka mendengar dark jokes atau guyonan yang bersifat menyindir dan sarkas.
Sementara itu, orang yang punya sifat tegas dan berani cenderung senang mendengar maupun melontarkan guyonan bersifat agresif.
“Jadi pada intinya, kepribadian itu bisa memengaruhi bagaimana seseorang bisa menerima dan melontarkan humor, termasuk dalam hal jokes bapak-bapak,” Ikhsan menegaskan.
Anda ingin berkonsultasi soal kesehatan mental dan efeknya? Manfaatkan layanan LiveChat 24 Jam untuk berkonsultasi langsung dengan psikolog.
(HNS/AYU)