Dalam proses pengadilan atau persidangan, keputusan yang diambil oleh seorang hakim atau jaksa tidak selalu hanya didasarkan pada bukti yang ada atau interpretasi harfiah dari hukum.
Terkadang, preferensi pribadi, latar belakang ideologis, serta wawasan individu dapat mempengaruhi hasil suatu perkara.
Fenomena ini dikenal sebagai Attitudinal Model, yang mengindikasikan bahwa keputusan hakim atau jaksa mungkin dipengaruhi oleh nilai atau sikap pribadi mereka terhadap isu-isu tertentu.
Attitudinal Model ini terlihat jelas dalam sistem peradilan Amerika Serikat, di mana hakim Mahkamah Agung yang memiliki pandangan politik konservatif cenderung memilih keputusan yang selaras dengan nilai-nilai konservatif, sedangkan hakim dengan pandangan liberal lebih mungkin mendukung keputusan yang konsisten dengan pandangan liberalnya.
Situasi ini menyoroti bahwa, meskipun hukum seharusnya diterapkan secara objektif, faktor-faktor personal sering kali memainkan peran dalam pengambilan keputusan.
Namun, Attitudinal Model tidak terbatas pada sistem hukum. Fenomena ini mencerminkan cara manusia mengambil keputusan dalam keseharian, di mana preferensi dan keyakinan pribadi turut membentuk perspektif dan tindakan mereka.
Dalam artikel ini, Psikolog Iswan Saputro akan mengupas lebih lanjut tentang Attitudinal Model, penerapannya dalam persidangan, relevansinya dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana model ini berbeda dari subjektivitas berpikir yang umumnya dipahami.
Artikel lainnya: Cara Melatih Otak Agar Mampu Berpikir Kreatif
Apa Itu Attitudinal Model?
Attitudinal Model adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana preferensi pribadi dan sikap seorang hakim atau pengambil keputusan dapat mempengaruhi putusan yang mereka ambil.
Dalam ranah hukum, model ini berasumsi bahwa keputusan hakim tidak selalu murni didasarkan pada aturan hukum yang berlaku, melainkan juga dipengaruhi oleh aspek-aspek lain seperti ideologi politik, pengalaman hidup, dan nilai-nilai moral yang dianut.
Awal mula teori ini dapat dilacak dari penelitian mengenai perilaku hakim di Mahkamah Agung Amerika Serikat, di mana hasil studi menunjukkan bahwa preferensi politik sering kali berperan sebagai indikator kuat dalam memprediksi bagaimana seorang hakim akan memutuskan suatu kasus.
Contohnya, seorang hakim yang ditunjuk oleh presiden berlatar belakang konservatif cenderung mendukung keputusan yang bersifat konservatif dalam isu-isu sensitif seperti aborsi, hak kepemilikan senjata, atau kebebasan beragama.
Sebaliknya, hakim yang diangkat oleh presiden dengan pandangan liberal biasanya lebih condong mendukung isu-isu terkait hak individu, kesetaraan, dan kebebasan sosial.
Model ini juga berasumsi bahwa hakim memiliki hak penuh dalam membuat keputusan, yang memungkinkan mereka menafsirkan hukum dengan fleksibilitas sesuai sudut pandang pribadi.
Dengan kata lain, Attitudinal Model menggambarkan hukum sebagai sesuatu yang bisa disesuaikan dan diinterpretasikan dari perspektif individu yang menafsirkannya.
Apakah Attitudinal Model Terjadi dalam Keseharian Manusia?
Attitudinal Model tidak hanya berlaku dalam dunia hukum, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu memiliki sikap, nilai, dan preferensi yang membentuk cara mereka mengambil keputusan, baik dalam situasi kecil maupun besar.
Misalnya, saat memilih pekerjaan, seseorang mungkin mempertimbangkan nilai-nilai pribadi mereka, seperti pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi atau komitmen terhadap tanggung jawab sosial.
Pada kehidupan sehari-hari, keputusan kita sering kali dipengaruhi oleh pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman pribadi, serupa dengan bagaimana hakim memanfaatkan preferensi pribadi saat membuat keputusan hukum.
Ketika seseorang memilih untuk mendukung atau menolak sebuah kebijakan, keputusan tersebut biasanya lebih didasari pada sikap pribadi terhadap isu yang dihadapi, bukan sekadar pada fakta-fakta objektif.
Model ini juga tampak dalam interaksi sosial. Dalam menghadapi konflik atau perselisihan, seseorang kerap kali melibatkan nilai-nilai pribadi dalam pendekatan mereka untuk menyelesaikan masalah.
Mereka mungkin lebih berpihak pada satu pihak karena kedekatan emosional atau kesamaan nilai, bukan hanya berdasarkan fakta.
Dalam konteks ini, Attitudinal Model menunjukkan bahwa keputusan yang kita buat kerap kali melewati lensa preferensi pribadi, bukan sekadar fakta yang ada.
Bedanya Attitudinal Model dengan Berpikir Subjektif
Meskipun Attitudinal Model tampak mirip dengan pola pikir subjektif, ada perbedaan mendasar antara keduanya.
Berpikir subjektif mengacu pada pandangan yang sepenuhnya didasarkan pada perasaan, opini pribadi, dan persepsi internal, tanpa memperhatikan objektivitas atau aturan formal.
Sebaliknya, Attitudinal Model tetap beroperasi dalam kerangka aturan formal, namun mengakui bahwa sikap pribadi bisa mempengaruhi interpretasi aturan-aturan tersebut. Beberapa perbedaan utama antara keduanya meliputi:
1. Objektivitas dalam aturan formal
Pada Attitudinal Model, meskipun preferensi pribadi mempengaruhi keputusan, hakim masih merujuk pada hukum, aturan, dan konteks dalam menafsirkan hukum sesuai dengan keyakinan pribadi.
Sedangkan dalam berpikir subjektif, keputusan biasanya sepenuhnya dipengaruhi oleh persepsi pribadi tanpa mempertimbangkan faktor eksternal atau aturan.
2. Tingkat rasionalisasi
Dalam Attitudinal Model, keputusan tetap didasarkan pada rasionalisasi dan preferensi pribadi dijadikan lensa untuk menafsirkan fakta dan hukum.
Sementara dalam berpikir subjektif, keputusan lebih cenderung dipengaruhi oleh emosi atau persepsi yang kurang rasional dan mungkin tidak selalu berlandaskan pada fakta atau aturan.
3. Lingkup penerapan
Attitudinal Model umumnya diterapkan dalam konteks formal, seperti persidangan atau pengambilan keputusan di lingkungan kerja, di mana masih ada aturan yang perlu diikuti.
Sebaliknya, berpikir subjektif lebih sering muncul dalam kehidupan pribadi, di mana keputusan tidak terikat oleh aturan ketat.
4. Kesadaran dalam pengambilan keputusan
Attitudinal Model melibatkan kesadaran diri individu menyadari bahwa preferensi dan sikap mereka mempengaruhi keputusan. Dalam berpikir subjektif, seseorang mungkin tidak sadar bahwa emosi atau perasaan pribadi sedang mempengaruhi pilihan mereka.
Artikel lainnya: Mengenal Mindfulness, Konsep Berpikir Buat Mental Kamu Lebih Sehat
Attitudinal Model menunjukkan bahwa sikap pribadi dapat mempengaruhi keputusan, baik dalam konteks hukum maupun kehidupan sehari-hari.
Dalam persidangan, model ini mengungkap bahwa hakim tidak selalu sepenuhnya netral, melainkan terpengaruh oleh nilai dan pengalaman pribadi.
Model ini berbeda dari pola pikir subjektif, karena tetap memperhitungkan aturan dan nilai dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan subjektivitas lebih didasari perasaan dan opini pribadi tanpa aturan formal.
Memahami perbedaan ini membantu kita mengambil keputusan yang lebih bijak, mengombinasikan preferensi pribadi dengan pertimbangan objektif dan rasional.
Download aplikasi KlikDokter untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan kapan saja. Jelajahi artikel kesehatan lainnya, seperti tips menjaga kesehatan mental, perawatan kulit, dan banyak lagi! Jangan lupa untuk selalu #JagaSehatmu ya.
- Segal, J. A., & Spaeth, H. J. (2002). The Supreme Court and the Attitudinal Model Revisited. Cambridge University Press.
- Baum, L. (2006). Judges and Their Audiences: A Perspective on Judicial Behavior. Princeton University Press.
- Gibson, J. L. (1983). From Simplicity to Complexity: The Development of Theory in the Study of Judicial Behavior. Political Behavior, 5(1), 7-30.
- Knight, J., & Epstein, L. (1996). On the Struggle for Judicial Supremacy. Law & Society Review, 30(1), 87-120.
- Kritzer, H. M. (2007). Toward a Strategic Revolution in Judicial Politics: A Look Back, A Look Ahead. Political Research Quarterly, 60(2), 1-14.