Menutup mata dari kasus intoleransi agama bukanlah tindakan tepat, karena angka kejadiannya masih cukup banyak. Tahun lalu, berita media massa menunjukkan lonjakan kasus intoleransi secara global. Awal tahun ini, peristiwa penyerangan terkait intoleransi agama pun kembali terjadi di Indonesia.
Menurut Tara de Thouars, BA, M.Psi., psikolog klinis di Rumah Sakit Jiwa Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan, intoleransi adalah ketika satu pihak cenderung membenci, tidak menyukai, dan melakukan tindakan tertentu untuk mewujudkan perasaan tersebut kepada pihak lain.
Orang yang bersikap intoleran tidak lagi memiliki perasaan empati, mengasihi, dan memikirkan kepentingan pihak lain. Bahkan, dalam intoleransi ada pemikiran mengutamakan dan melihat pihak sendiri lebih baik dan benar dari pihak lain.
Meski kebanyakan orang di seluruh dunia tidak percaya bahwa satu ras, agama, atau budaya lebih unggul (superior) daripada yang lain, Indonesia masih setuju akan hal itu. Demikianlah fakta menurut survei oleh Gallup International (2017).
Artikel Lainnya : Jangan Salah, Ini Perbedaan Self Care dan Selfishness!
Tinjauan terhadap 66 negara ini menemukan kelompok mayoritas di suatu negara yang menyetujui atau sangat menyetujui superioritas dan cenderung menyebarkan hal itu di kelompok ras, agama, serta budaya. Kasus semacam ini banyak terjadi di delapan negara, yaitu Paraguay, Bangladesh, Palestina, Ghana, Lebanon, Nigeria, Indonesia, dan Macedonia.
Kasus intoleransi agama dalam bentuk diskriminasi tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga cedera mental. Berdasarkan studi berjudul Religious discrimination and common mental disorders in England (2015), sebanyak 1,5 persen dari 3873 perserta beragama mengatakan mereka diperlakukan tidak adil dalam dua belas bulan terakhir, karena agamanya.
Peserta yang mengalami diskriminasi agama memiliki peningkatan prevalensi gangguan mental. Bahkan, risiko gangguan mental meningkat dua kali lipat pada orang-orang yang mendapatkan diskriminasi agama, terlepas dari etnis dan warna kulit mereka.
Berdasarkan studi yang diterbitkan di jurnal Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology (2015) itu, orang-orang yang mengalami diskriminasi agama lebih cenderung memiliki gangguan kecemasan daripada depresi. Meski demikian, peneliti mengatakan pengalaman diskriminasi bisa menimbulkan perasaan terancam yang memicu kecemasan, termasuk ketakutan, kekhawatiran dan mengalami kesusahan.
Ellen Olshansky dari Departemen Keperawatan di University of Southern California’s Suzanne Dworak-Peck School of Social Work, juga mengatakan diskriminasi dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan fisik.
Ellen mengungkapkan efek dari diskriminasi cukup banyak, seperti ketakutan yang menyebabkan orang mengisolasikan diri dan minim komunikasi. Ellen juga mencatat orang yang mendapatkan diskriminasi sering memiliki tingkat stres yang lebih tinggi. Kondisi ini dapat memicu hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit kronis lainnya.
Selanjutnya
Mencegah dengan pikiran terbuka
Sejalan dengan fakta di atas, Tara juga mengungkapkan beberapa dampak mental yang dapat terjadi pada korban intoleransi, pertama adalah depresi. Ketika menjadi korban intoleransi, mereka cenderung mengalami depresi, merasa diri buruk, kurang, dan sial—apalagi jika ada hinaan dan sikap merendahkan dari pihak lain.
Gangguan kecemasan juga dapat terjadi pada korban intoleransi. Hidup mereka terasa tidak aman dan ada kekhawatiran akan hal buruk terjadi kembali. Selain itu, intoleransi bisa memicu postraumatic stress disorder atau korban mengalami trauma akan peristiwa intoleransi. “Perasaan aman yang sempat ada menjadi hilang, dan mengakibatkan kekhawatiran yang intens,” ujar Tara.
Meski tidak meninggalkan bekas luka secara nyata, gangguan mental akibat tindak intoleransi agama tetap memengaruhi kualitas hidup seseorang. Untuk mencegahnya, masing-masing pihak perlu membuka diri untuk dapat bersosialisasi, agar memiliki empati dan kasih sayang. Terbuka terhadap pemikiran bahwa orang lain mempunyai pandangan yang berbeda juga sangat penting.
Tara mengatakan, “Banyak bergaul dan bersosialisasi dengan kelompok-kelompok yang berbeda akan meningkatkan toleransi dan belajar memahami perbedaan yang ada di luar diri sendiri.”
Keluarga memiliki peran besar untuk menanamkan empati dan toleransi pada anak. Meningkatkan rasa percaya diri pada anak juga dapat mendukung hal tersebut, supaya anak tidak perlu merasa penting untuk membela diri sendiri dengan menjatuhkan orang lain kelak.
“Meningkatkan rasa percaya diri bisa dilakukan dengan cara memahami kelebihan diri sendiri, banyak bersyukur, dan meningkatkan pola pikir positif terhadap diri sendiri dan orang lain,” kata Tara yang juga merupakan psikolog klinis di Lighthouse Indonesia.
Jadi, menutup mata dari kasus intoleransi agama bukanlah tindakan tepat. Dampak diskriminasi agama terhadap kesehatan mental harus benar-benar dipertimbangkan. Karena itu, penanganan dan pencegahan sangat diperlukan.
(RH)