Kehilangan, pasti rasanya tidak enak. Mau itu berupa kesempatan, benda berharga, maupun hewan peliharaan, semuanya bikin gigit jari!
Bayangkan bila yang hilang adalah seseorang yang berarti, pasti perasaan pasca kehilangan tersebut jauh lebih sakit dan hampa dibanding sekadar kehilangan benda.
It’s Okay not to be Okay
Perasaan memang hal yang rumit. Susah sebenarnya untuk mengatakan wajar atau tidak, apalagi bila itu soal perasaan sedih. Yang jelas, semakin dekat kita dengan orang yang pergi atau meninggal tersebut, semakin besar rasa sedih yang dirasakan.
Tak ada cara spesifik untuk menghilangkan rasa sedih karena kehilangan. Akan kurang bijaksana bila memaksakan seseorang, bahkan diri sendiri, untuk langsung bersikap “baik-baik saja”.
Semua orang membutuhkan proses – proses penyesuaian bahwa dirinya mau tak mau harus terbiasa hidup tanpa orang tersebut.
Lamanya proses itu tergantung pada tiap individu. Ada yang cepat, ada yang lama. Ada yang bisa bertahan sendiri, ada pula yang membutuhkan bantuan.
Artikel Lainnya: Perhatikan, ini Tanda Anak Berduka dan Cara Mengatasinya
Tahapan Berduka yang Biasanya Dialami Seseorang
Untuk sampai ke tahap yang benar baik-baik saja, setidaknya manusia butuh melalui lima tahapan menurut teori yang dikembangkan oleh psikiater Elisabeth Kubler-Ross. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan berikut ini.
-
Penolakan
Ketika kita menghadapi kehilangan, kita akan berusaha untuk bertahan dari rasa sakit emosional dengan cara menolak menerima kenyataan. Ini kerap terjadi pada orang yang ditinggal pergi secara tiba-tiba.
-
Muncul Kemarahan
Penyangkalan memang bisa membuat orang yang ditinggalkan menjadi lebih “nyaman”, tetapi tidak bagi orang-orang di sekitarnya (yang sudah menerima kepergian).
Karena terus mendapatkan penyadaran, orang terdekat yang ditinggalkan biasanya akan marah. Ia marah karena orang lain berusaha memisahkan dunianya.
Selain itu, rasa marah juga bisa terjadi akibat kewalahan memproses sesuatu pasca ditinggal. Yang biasanya dilakukan bersama-sama, kini harus sendiri. Otak, tubuh, dan perasaan butuh waktu untuk menyesuaikan itu semua.
Artikel Lainnya: Jangan Cuma Menghibur, Ini Cara Membantu Mengatasi Rasa Duka
Misalnya, ada barang yang rusak di rumah. Saat pasangan masih ada, dialah yang membetulkannya sembari dibantu oleh Anda. Kini, Anda jadi berusaha memperbaiki barang tersebut seorang diri.
Karena tak semahir pasangan yang telah pergi, Anda pun marah dan justru membanting benda tersebut. Anda kebingungan bagaimana caranya hidup tanpanya dan merasa tak siap.
-
Mempertaruhkan Apa Saja agar Dia Kembali
"Aku berjanji akan melakukan apa saja agar kau kembali" merupakan kalimat “tawar-menawar” yang sering dilontarkan setelah ditinggal seseorang.
Akibat adanya penyesalan dan ketidakmampuan untuk hidup tanpa orang tersebut, kita rela mempertaruhkan apa saja. Ya, kalau belum meninggal dunia, itu bisa saja terwujud. Nah, kalau sudah meninggal dunia, tentu itu tidak mungkin, bukan?
-
Depresi
Karena tak bisa mendapatkannya kembali, Anda bisa cenderung frustrasi. Menarik diri dari lingkungan sekitar jadi ciri-ciri depresi yang muncul. Di tahap ini, amarah dan tangisan sudah mereda. Yang ada hanyalah perasaan hampa.
Artikel Lainnya: Berduka Terlalu Lama Bisa Bahayakan Kesehatan
-
Penerimaan
Siapa sangka bahwa depresi menjadi penyambung ke tahap penerimaan! Ketika sampai di tahap ini, bukan berarti kita tidak lagi merasakan kepedihan sama sekali.
Hanya saja, kita tidak lagi menolak kenyataan yang ada dan tidak berjuang untuk mengubah keadaan. Bisa dikatakan, semuanya sudah cukup (rasa lelah menjadi pasrah).
Haruskah Melewati Lima Tahapan Itu?
Di sisi lain, Zarra Dwi Monica, M.Psi., Psikolog mengatakan, lima tahapan di atas bukanlah tahapan pasti atau harus dilalui semua orang.
“Orang yang kehilangan itu perasaannya rumit sekali. Jadi, teori di atas tidak mutlak dan bisa juga hanya dijadikan alat untuk membantu kita mengidentifikasi perasaan,” kata Zarra.
“Bisa jadi ada orang yang sama sekali nggak melewati tahapan itu. Atau, bisa juga ngelewatin lima tahapan itu tapi urutannya beda-beda,” tambahnya.
Yang penting, orang yang ditinggalkan cepat atau lambat harus berada di tahap penerimaan, apapun proses healing yang dihadapi sebelumnya.
“Kalau kehilangan orang yang disayang sampai membuat tertekan, sulit tidur, hingga muncul keinginan untuk ‘menyusul’ alias bunuh diri, jangan ragu untuk meminta bantuan psikolog klinis. Kalau sudah begini, akan sulit sampai ke tahap penerimaan,” ungkap Zarra.
Artikel Lainnya: Mengapa Tubuh Lebih Lemah Saat Berduka?
Bagaimana Membantu Orang yang Habis Kehilangan?
Seperti yang sudah disinggung di atas, jangan memaksakan seseorang untuk langsung bisa menerima keadaan. Biarkan waktu yang menyembuhkan lukanya.
Bila Anda benar-benar peduli dan tak ingin menyakitinya lebih dalam, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membantu orang tersebut yaitu:
- Buatlah diri Anda menjadi orang yang mudah dihubungi. Contohnya, mudah dihubungi via chat atau telepon, dan selalu bisa diajak ketemuan. Tak perlu muncul setiap saat tanpa diminta, karena itu justru membuatnya merasa tak nyaman.
- Jangan hilangkan foto-foto orang yang menghilangkannya tanpa diminta. Biarkan ia sendiri yang mengatur hal tersebut. Ingat, menerima keadaan berbeda dengan melupakan atau membuang seluruh kenangan.
- Bersabarlah dalam menghadapi emosi, tangis, dan ceritanya yang berulang. Ada kalanya mungkin Anda jenuh, tapi menampik atau memotong ceritanya hanya akan memperburuk keadaan.
Tidak perlu juga terlalu antusias, tetap dengarkan dan berikan respons kalau diminta.
- Bila ia ingin ke psikolog, tawarkan bantuan apakah ia perlu ditemani atau tidak. Jika ia ingin sendiri, maka jangan memaksa.
Itu dia penjelasan soal tahapan berduka setelah kehilangan orang yang dicintai, beserta cara membantu mereka yang menghadapi kondisi tersebut.
Bila Anda punya pertanyaan seputar kondisi psikologis, yuk langsung chat psikolog klinis kami melalui fitur LiveChat di aplikasi KlikDokter.
(FR/AYU)