Kasus pasutri yang mempertontonkan hubungan intimnya secara live di depan sekelompok anak di Tasikmalaya sempat menggemparkan masyarakat. Kasus yang terjadi di Tasikmalaya tersebut bisa digolongan sebagai bentuk dari perilaku eksibisionis.
Uniknya, studi mengatakan bahwa pelaku eksibisionis lebih banyak ditemukan pada kalangan pria. Mengapa bisa demikian?
Mengenal eksibisionisme
Eksibisionisme merupakan salah satu bentuk parafilia, yakni gangguan jiwa di mana pelakunya melakukan aktivitas seksual yang di luar kebiasaan. Umumnya, pelaku memuaskan hasrat seksualnya dengan melibatkan benda mati, melakukan pelecehan, hingga kekerasan.
Bentuk tindakan eksibisionisme yang banyak dikenal merujuk kepada pelaku yang kerap menunjukkan alat kelamin kepada orang asing untuk mencapai kepuasan seksual. Dengan kata lain, pelakunya memiliki keinginan kuat untuk diamati oleh orang lain selama aktivitas seksual.
Selain itu, sering mendokumentasikan hubungan intim dan menyebarkannya ke publik atau mempertontonkan hubungan intim di depan umum juga termasuk di dalamnya. Fenomena ini yang mungkin sering Anda dengar dari kalangan selebritas.
Menurut sebuah survei di Inggris, eksibisionis menyukai reaksi kaget atau terkejut dari korban. Reaksi ini merangsang libido, sehingga meningkatkan sensasi dan kepuasan seksual orang yang melakukannya. Jika korban bersikap biasa saja, justru pelaku eksibisionis akan merasa tidak nyaman karena tujuannya tidak berhasil.
Bahkan, ada pula yang justru merasa bahagia ketika tertangkap basah saat melakukan aktivitas seksual, termasuk berhubungan intim.
Pelakunya lebih banyak pria
Perilaku seksual yang menyimpang ini sebenarnya bisa terjadi baik pada pria maupun wanita. Meski demikian, berbagai studi menyimpulkan bahwa pelaku eksibisionis lebih banyak pria, yakni sekitar 2-4 persen. Pada wanita, angkanya lebih rendah lagi.
Hal ini bisa terjadi karena terkait dengan kadar hormon testosteron. Rata-rata hormon testosteron pada pria pelaku eksibisionis lebih tinggi daripada pria normal. Ini membuat mereka cenderung memiliki keinginan yang tinggi untuk memuaskan dorongan seksualnya.
Sebuah studi di tahun 1989 menemukan bahwa eksibisionis pria memiliki kadar hormon testosteron yang lebih tinggi ketimbang mereka yang memiliki penyimpangan perilaku namun tidak berkaitan dengan seks. Artinya, perilaku eksibiosionis dapat timbul dari kebutuhan untuk memuaskan dorongan seksual yang meningkat.
Studi lain pun mencoba mencari tahu efek terapi obat. Hal ini dilakukan untuk menekan dorongan seksual eksibisionis dengan memberikan obat-obat yang bersifat antiandrogen, dengan efek yang berlawanan dengan hormon testosteron.
Ditemukan bahwa pria yang mengonsumsi obat antiandrogen selama 8 tahun menunjukkan penurunan hiperseksual, dorongan seksual, kemampuan ereksi, dan orgasme.
Namun, setelah periode pengobatan selesai, kadar hormon testosteron kembali ke semula dalam waktu 2 bulan dan dorongan seksual parafilia muncul kembali.
Meski penelitian mengatakan sebagian besar pelaku eksibisionis adalah pria, pada kasus pasutri di Tasikmalaya, pelakunya bisa saja sang suami, sang istri atau keduanya. Siapapun itu, pelaku eksibisionis umumnya jarang mencari pengobatan kecuali terjerat ke dalam masalah hukum atau mengalami masalah dalam perkawinan akibat perilaku tersebut.
[NP/ RVS]