Remaja sering dikaitkan dengan masa pencarian jati diri. Mereka yang berada di golongan usia ini akan melakukan eksplorasi terhadap lingkungan sekitar dengan tingkat yang lebih jauh dan kompleks. Akibat hal ini, para remaja lebih mudah mengalami gejolak emosional di dalam dirinya.
Emosi pada remaja yang masih labil dan sering kali dipengaruhi mood membuat mereka rentan mengalami depresi. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya terus-terusan merasa sedih hingga munculnya rasa ingin bunuh diri.
“Di Indonesia, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia Yogyakarta, gangguan depresi berat dialami 3 persen anak usia sekolah, dan 6 persen usia remaja. Jika Anda orang tua yang memiliki anak berusia remaja, tidak ada salahnya untuk selalu mengikuti dan waspada terhadap perilaku mereka,” kata dr. Nadia Octavia dari KlikDokter.
Sehubungan dengan itu, teknologi pencitraan mutakhir mengungkapkan bahwa otak remaja memiliki banyak plastisitas yang berarti dapat berubah, beradaptasi, dan merespons lingkungan sekitar sesuai keadaan. Oleh karena itu, lewat peningkatan konektivitas antar wilayak otak, perilaku seorang remaja dapat menyesuaikan dengan kondisi yang sedang dialaminya.
Hal itu tak luput ketika seorang remaja mengalami gejolak emosional, yang sering diluapkan dalam bentuk sikap temperamental yang naik-turun. Bagaimana dunia medis menjelaskan fenomena ini?
Kompleksitas emosi dalam diri remaja
Sistem emosional berada pada struktur otak limbik, sedangkan sistem logis berkutat di daerah frontal. Sistem limbik bertugas mengatur emosi, dorongan, penghargaan, dan motivasi. Sementara itu, sistem frontal terkait dengan pengambilan keputusan, pengendalian impuls dan lain-lain. Kedua sistem ini memiliki cara kerjanya masing-masing.
Pada segala usia, kedua struktur tersebut bakal selalu berhubungan dengan tugas dan perannya masing-masing. Namun, saat fase remaja, faktor hormonal dan perkembangan otak yang menjadi lebih matang terkadang mesti “mengorbankan” fungsi dari bagian-bagian otak tersebut.
Selama masa remaja, sistem limbik bakal lebih bergesekan dengan hormon testosteron. Hal ini dapat memicu fungsi otak menjadi lebih labil dan “naik–turun”.
Memasuki usia menjelang dewasa, contohya jelang 20-an, sistem otak limbik akan lebih berkorelasi dengan korteks prefrontal (PFC) dan amigdala. Korteks prefrontal akan mengembangkan dan memperluas jalur komunikasi cepat ke sistem limbik, juga memperbaiki segala hal terkait emosi dan hasrat remaja sehingga dapat bersikap lebih matang dalam menanggapi banyak hal.
Faktanya, emosi dan perasaan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari sehingga amat penting untuk mempelajarinya sejak dini. Pada setiap pengambilan keputusan, emosi perlu terlibat karena dapat memengaruhi apa pun yang dipilih. Terlalu emosional akan mengaburkan sikap rasional, sementara kelewat dingin bakal menghilangkan sisi peka.
“Membimbing remaja memahami emosinya bukanlah hal yang mudah, karena menuntut kesabaran tingkat tinggi. Namun, inilah tugas orangtua. Karena jika tidak dilindungi, mereka (remaja) akan memiliki interpretasi yang salah mengenai cara bersikap, yang dapat berpengaruh pada masa dewasanya,” ujar dr. Atika dari KlikDokter.
Jadi, bagi para orang tua atau Anda yang memiliki kerabat remaja, penting untuk memahami pertumbuhan mereka agar tidak terjadi salah paham. Remaja yang sebelumnya emosional bisa berkembang ke arah yang lebih baik jika didampingi, diawasi dan didukung oleh orang-orang di sekitarnya.
[NB/ RVS]