Beberapa tahun lalu dunia dihebohkan dengan berita mantan atlit Bruce Jenner, ayah tiri dari Kim Kardashian, yang mengumumkan telah melakukan perubahan gendernya menjadi wanita seutuhnya. Kondisi ini dalam dunia medis disebut dengan gender dysphoria.
Bruce Jenner yang akhirnya mengganti nama menjadi Caitlyn Jenner ini mengaku telah lama mengalami konflik soal gender dengan dirinya sendiri. Hingga akhirnya Bruce memutuskan untuk menjadi perempuan seutuhnya pada tahun 2015.
Tak hanya Caitlyn Jenner saja, beberapa publik figur di Indonesia pun beberapa kali diberitakan telah berganti gender. Seseorang yang merasa “terjebak” di tubuh yang salah ini bisa menjadi pertanda gender dysphoria.
Seputar gender dysphoria
Menurut American Psychiatric Association, gender dysphoria merupakan konflik diri antara gender yang ia miliki secara fisik dengan gender yang berlawanan dengannya.
Seseorang dengan gender dysphoria akan merasa sangat tidak nyaman dengan gender yang ia miliki secara fisik, tidak merasa nyaman dengan tubuhnya, terutama perubahan fisik selama pubertas, atau tidak merasa nyaman dengan peran-peran yang diharapkan oleh gender yang ia miliki.
Konflik gender ini akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang berpengaruh pada perilakunya, cara berpakaian atau citra diri.
Semisal seorang laki-laki (yang berharap ingin menjadi perempuan) akan merasa tidak nyaman dengan tampilan fisik laki-laki yang dimilikinya, kemudian akan melakukan operasi alat kelamin atau menjalani terapi hormon agar terlihat seperti perempuan.
Selain itu, seseorang pun akan menjalani transisi di kehidupan sosial seperti cara berbicara atau bahkan pergi ke kamar mandi untuk gender tertentu.
Kenali tanda-tandanya
Tanda gender dysphoria dapat mulai terlihat pada anak-anak, bahkan mulai dari usia anak 4 tahun. Namun tanda-tanda ini akan makin terlihat menginjak anak pubertas.
Anak-anak yang mengalaminya akan mengekspresikan keinginannya untuk berubah menjadi gender yang berlawanan, bertingkah atau mengikuti cara berpenampilan gender yang berlawanan dengan dirinya.
Menurut the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), seseorang dinyatakan mengalami gender dysphoria apabila memiliki paling tidak 2 tanda berikut selama paling tidak 6 bulan:
- Adanya ketidaksesuaian antara gender secara fisik dengan identitas diri sebenarnya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menghilangkan tanda seks primer atau sekunder (semisal seorang laki-laki ingin menghilangkan penisnya).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki tanda seks primer atau sekunder (semisal keinginan memiliki payudara atau vagina).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi gender yang berlawanan dengan dirinya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk diperlakukan seperti gender yang berlawanan dengan dirinya.
- Memiliki keyakinan kuat bahwa perasaan dan reaksinya sama seperti gender yang berlawanan dengan dirinya.
Pada kultur budaya tertentu, seseorang yang mengalami gender dysphoria dapat mengalami kesulitan dalam mengekspresikan identitas dirinya. Akibatnya, konflik gender dan identitas dalam dirinya akan semakin besar, memicu stres, depresi, ingin menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri.
Untuk itu, sebaiknya seseorang yang menunjukkan adanya tanda gender dysphoria tidak dikucilkan. Cara menanganinya antara lain dengan konseling, menekan pubertas atau pemberian hormon gender yang berlawanan. Namun, sebaiknya lakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis kejiwaan atau psikiater.
[NP/ RVS]