Bicara soal psikopat maupun perilaku sadisme memang menyeramkan. Karena, percaya atau tidak, mereka yang memiliki kepribadian psikopat atau sadisme memang ada di kehidupan nyata, atau mungkin di sekitar Anda.
Sebenarnya, apa perbedaan dari kedua gangguan kepribadian tersebut? Selanjutnya, mana yang lebih berbahaya?
Mengenal Psikopat dan Sadisme Lebih Dalam
Supaya tidak keliru apalagi terbolak-balik, yuk kita kenali lebih dalam gangguan mental psikopat dan sadisme.
-
Psikopat
Psikopat atau yang secara medis dikenal dengan kepribadian antisosial merupakan gangguan kepribadian yang ditandai dengan kurangnya empati pada orang lain.
Dijelaskan psikolog Ikhsan Bella Persada, M. Psi., psikopat masuk ke dalam gangguan kepribadian yang perilaku emosionalnya bisa mengganggu relasi dengan orang lain.
Penderita gangguan ini juga cenderung tidak memiliki rasa bersalah dan takut untuk melakukan tindak kriminal.
“Sebagai contoh, seorang psikopat bisa saja membunuh orang lain tanpa sebab, tanpa rasa empati, tidak muncul rasa puas ketika menyakiti orang lain, dan tidak memiliki rasa bersalah saat menyakiti orang lain,” ujar Ikhsan.
Artikel Lainnya: 8 Jenis Kelainan Seksual yang Ada di Sekitar Kita
Menurut Ikhsan, untuk menentukan seseorang memiliki kepribadian psikopat atau tidak, perlu dilakukan serangkaian tes. Salah satunya disebut dengan The Hare Psychopathy Checklist.
Ikhsan menjelaskan, diagnosis dalam tes ini dilakukan berdasarkan diagnostic and statistical manual of mental disorder.
Tes ini dilakukan untuk mengetahui kondisi mental seseorang yang melakukan tindak kriminal apakah cenderung psikopat. Selain itu, ada beberapa gejala psikopat, yaitu:
- Sering berkata bohong.
- Senang menjadi pusat perhatian banyak orang.
- Bersikap dan berkata kasar.
- Tidak punya empati dengan orang lain.
- Bersikap egois dan ingin menang sendiri tapi mempedulikan orang lain.
- Tidak punya rasa malu.
- Tidak punya rasa bersalah.
- Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dipunyai.
- Berhati dingin.
- Punya emosi yang sangat tidak stabil.
- Pintar memanipulasi orang sekitar.
“Dalam kehidupan nyata, seorang psikopat cenderung memanipulasi korbannya. Jadi mereka bertindak sangat ramah terlebih dahulu sampai nantinya para korban jadi jatuh hati. Setelah itu, barulah mereka ‘beraksi’,” kata Ikhsan.
Artikel Lainnya: Tanda-Tanda Pasangan Anda Seorang Psikopat
-
Sadisme
Mirip dengan psikopat, sadisme adalah gangguan kepribadian yang membuat seseorang merasa senang dan sangat puas ketika melihat orang lain kesakitan/menyakiti orang lain.
“Perilaku sadisme itu merasakan kepuasan ketika kita menyakiti atau melukai orang lain, bahkan menyadari bahwa si korbannya merasakan sakit. Jadi dirinya sangat menikmati ketika orang lain menangis, meminta tolong, bahkan berteriak kesakitan,” lanjut Ikhsan.
Mirip dengan psikopat, orang dengan sadistik tidak punya rasa empati ketika menyakiti orang lain.
Perilaku sadisme juga tidak hanya dilakukan pada manusia, tapi juga pada binatang di sekitar.
Misalnya, mereka sengaja membunuh, memukul, atau menyiksa hewan peliharaan atau binatang yang ditemui di jalan.
“Gangguan-gangguan ini bisa muncul sejak anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Kebiasaan melihat adegan sadis dan sebagainya bisa memunculkan rasa sadisme pada diri anak,” ujar Ikhsan.
Selain itu, perilaku sadisme juga biasanya muncul karena dorongan seksual. Pelaku sadisme seksual senang melihat orang yang disayang merasa kesakitan ketika berhubungan seks.
Artikel Lainnya: Ini 5 Fakta Soal Psikopat yang Tidak Diketahui Banyak Orang!
Mana Lebih Berbahaya, Psikopat atau Sadisme?
Menanggapi hal ini, menurut Ikhsan, keduanya berbahaya dan bisa sangat merugikan diri sendiri, terutama orang lain. Meski begitu, Ikhsan mengatakan psikopat masih jauh lebih berbahaya ketimbang sadisme.
“Kalau sadisme itu perilaku menyakiti orang lain dan punya perasaan puas. Tapi psikopat, dia bisa menyakiti orang lain tanpa sebab dan tidak pernah merasa puas. Jadi, kemungkinan dia untuk melakukan tindak kriminal lagi akan sangat tinggi,” kata dia.
Walaupun begitu, keduanya tetap saja berbahaya dan harus segera diterapi, meski sulit. Lebih jauh, Ikhsan menyebutkan sangat kecil kemungkinan seseorang bisa benar-benar sembuh dari dua gangguan kepribadian tersebut.
“Makanya, kalau diberikan terapi pun, tujuannya bukan untuk menyembuhkan. Untuk mengontrol perilaku supaya tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri. Keduanya juga tidak bisa dilepas di masyarakat, tapi harus dalam pengawasan terapis kejiwaan,” tutur Ikhsan.
Jika ingin bertanya lebih lanjut mengenai topik ini, tanyakan langsung pada dokter melalui fitur LiveChat di aplikasi Klikdokter.
(HNS/AYU)