Sebelum era digital, sebetulnya fenomena social climber sudah terjadi. Namun, akibat maraknya penggunaan media sosial oleh hampir setiap orang di kota-kota besar memperparah kondisi social climber ini. Pertanyaan besarnya adalah, apakah kondisi ini dikarenakan gangguan kejiwaan?
Social climber adalah sebuah istilah yang merujuk pada kebiasaan orang yang memamerkan sesuatu barang, kondisi, dan hal yang dapat meningkatkan status sosialnya. Banyak seliweran di media sosial seperti unggahan konten seperti foto makan di restoran mewah, liburan ke luar negeri, atau bergaul dengan sosialita atau orang-orang lainnya yang terlihat glamor. Sebetulnya tak ada yang salah dari unggahan seperti ini, asalkan memang bukan sesuatu yang bukan “dipaksakan”, tidak mengada-ngada, dan tidak dibuat seolah-olah terlihat lebih “kaya” daripada kondisi yang sebenarnya.
Kebanyakan dari para social climber bukanlah golongan masyarakat dengan kekayaan melimpah, melainkan merupakan kaum menengah atau menengah ke bawah yang berusaha terlihat kaya untuk meningkatkan status sosial yang sebenarnya, atau kehidupan asli mereka sering kali tidak sehebat atau sebagus apa yang mereka pamerkan di media sosial. Bahkan, mereka mampu melakukan apa saja untuk masuk ke kelas sosial yang mereka inginkan.
Biasanya, mereka hanya akan berteman dengan orang-orang yang dianggap memiliki level yang sama dan cenderung menjauhi orang-orang yang dianggap “kurang mampu”. Dengan kata lain, social climber akan selektif dan oportunis dalam berteman. Orang-orang yang dianggap bisa membawa keuntungan akan didekati dan sebaliknya.
Sebetulnya, tanpa disadari sebetulnya banyak orang yang juga bersikap oportunis. Misalnya berkenalan dengan seseorang atau mempertahankan sebuah pertemanan karena mengharapkan sesuatu. Apakah ini wajar?
Setiap individu adalah social climber, tapi ...
Giancarlo De Luca, PhD., seorang penulis jurnal mengenai ini menyebutkan, sebenarnya tiap individu adalah social climber. Entah disadari atau tidak, Anda pasti pernah berhubungan dengan seseorang untuk tujuan di belakangnya, tapi bukan serta-merta hanya untuk meningkatkan status sosial.
Pada dasarnya, sah saja sesekali menjadi social climber. Namun, ketika sudah dipaksakan dan menjadi gaya hidup, inilah yang menjadi tak baik. Dari kacamata medis, penelitian menyebut bahwa ada perubahan cara bekerja otak bila seseorang menjadi social climber. Ahli biologis di Universitas Negeri Georgia, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa ada perubahan kimia yang ada di otak bila terjadi perubahan status sosial. Namun, memang penelitian ini masih terbatas pada otak hewan.
Adalah dopamin, sebuah zat yang berhubungan dengan perasaan senang seseorang dan serotonin adalah zat yang mengatur suasana hati seseorang. Ketika seseorang merasa tertarik akan sesuatu, terjadi aktivasi dopamin. Setelahnya terjadi peningkatan serotonin dan produksi oksitosin. Kedua zat ini meningkatkan kekuatan hubungan emosional terhadap suatu hal dan menurunkan sensasi sakit atau nyeri.
Zat-zat ini penting pada pembentukan sensasi senang dan suasana hati seseorang. Serotonin dipercaya sebagai zat yang akan dikeluarkan ketika suatu makhluk menjadi superior dibandingkan yang lainnya. Penelitian pada hewan juga telah menemukan, sel saraf menjadi lebih responsif terhadap serotonin pada hewan yang terbiasa menjadi “pemenang” di kalangannya dibandingkan dengan hewan yang biasa-biasa saja.
Kemungkinan yang sama terjadi pada otak seorang social climber. Meski serotonin dan dopamin berperan menentukan suasana hati baik seseorang, tapi kelainan mental seperti gangguan cemas, skizofrenia, ketergantungan zat, autisme, dan ADHD dikaitkan dengan disfungsi dari serotonin.
Seseorang menjadi social climber karena gangguan kejiwaan?
Sampai saat ini belum ada diagnosis medis berhasil mengindikasikan atau membuktikan bahwa social climber diakibatkan atau dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan. Namun, pada dasarnya apa pun yang berlebihan itu tidak baik.
Perlahan, menjadi social climber bisa-bisa berdampak pada berbagai aspek hidup pelakunya. Misalnya ingin terus tampil glamor padahal uang tak seberapa, bisa-bisa memengaruhi kehidupan finansialnya dan pada akhirnya bisa membuatnya stres. Dari sini, bukan tak mungkin kondisi ini juga bisa berdampak pada kualitas hidupnya.
Walaupun menjadi populer dan dominan itu menyenangkan, tapi tidak perlu menjadi “orang lain” demi meraih kebahagiaan. Berbahagialah karena pencapaian yang dilakukan dengan usaha dan kerja keras. Meski tak ada penelitian yang mengaitkan antara social climber dan gangguan kejiwaan, tapi dengan bukan menjadi diri sendiri dan berusaha keras ingin menaikkan status sosial dengan menjadi social climber, pada akhirnya ketenangan jiwa bisa menjadi taruhannya.
[RN/ RVS]