Teruntuk para ibu yang sedang berjuang dalam mengasuh anak di luar sana, ketahuilah bahwa mom-shaming terjadi ketika ada seorang ibu mengkritik ibu lainnya. Biasanya, kritikan ini terkait metode persalinan yang dipilih, pola pengasuhan anak, soal menyusui, penggunaan susu formula, atau apa pun yang berhubungan dengan anak.
“Gendong anak, kok, begitu, sih?!”
“Orang tua macam apa yang membiarkan anaknya tidur seperti itu?!”
“Baru lahiran sudah mau diet, mending makan lebih banyak supaya ASI lancar!”
“Kok, rumahmu berantakan? Saya yang punya dua anak di rumah saja tetap bisa bersih-bersih.”
Jika Anda pernah mendengarnya atau kalimat-kalimat tersebut pernah keluar dari mulut Anda, itulah beberapa contoh mom-shaming. Perilaku ini seolah menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dan lebih hebat dalam hal mengasuh anak ketimbang ibu lain yang ia kritik. Ibu yang dikritik umumnya akan merasa malu, bersalah, hingga menganggap dirinya tak layak menjadi seorang ibu.
Artikel Lainnya: Cara Mengatasi Mom Shaming agar Tak Rusak Mental Ibu
Terdapat sebuah survei yang dilakukan oleh JAKPAT tahun 2018 pada 574 ibu yang memiliki anak. Survei ini bertujuan untuk melihat pendapat para ibu dan cara menyikapi mom-shaming dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka difokuskan pada dua topik, yaitu ibu yang punya pengalaman diperlakukan atau dikritik atau menjadi korban mom-shaming, atau ibu yang berperan sebagai pelaku alias mom-shamer.
Temuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
- Pada ibu yang punya pengalaman mom-shaming, perilaku tersebut paling sering didapat dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga, bahkan dari orang tua.
- Topik yang sering dijadikan pembahasan tersering adalah tentang asupan makanan anak (50,2 persen), pemilihan susu formula atau ASI (49 persen), metode mendisiplinkan anak (48,8 persen).
- Sebanyak 72,65 persen responden mengatakan mom-shaming terjadi melalui pembicaraan secara langsung.
- Sebanyak 64,9 persen responden mengalami pengalaman dipermalukan di media sosial.
- Sebanyak 57,3 persen ibu yang mengalami mom-shaming mendorong mereka lebih aktif mencari informasi mengenai pola asuh.
- Sebanyak 55,23 persen tidak terpengaruh terhadap kritikan yang mereka terima, bahkan membuat mereka lebih kuat terhadap pilihan metode parenting yang mereka pilih.
Artikel Lainnya: Baru Punya Anak, Waspadai Depresi Akibat Dad Shaming
Cara menangani perilaku mom-shaming
Pada dasarnya, semua ibu ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Menjadi ibu sudah cukup sulit tanpa kritikan dari ibu lainnya yang merasa lebih baik. Begini cara menangani perilaku mom-shaming.
- Terima fakta bahwa menjadi orang tua tak akan lepas dari kritikan. Dengan kata lain, anggap itu sebagai tantangan.
- Sering kali perilaku mom-shaming tak butuh direspons. Misalnya, unggahan foto atau video Anda dan anak dikritik, hingga mendapat cacian. Kalau menuruti intuisi pasti inginnya membalas komentar tersebut. Lebih baik tak usah diladeni. Bahkan, permintaan maaf tak mampu menghentikan mom-shamer menghentikan terornya.
- Pahami bahwa melontarkan penilaian atau kritikan bisa membuat pelakunya merasa lebih baik. Jika pelaku mom-shaming adalah ibu Anda sendiri, mungkin itu adalah pernyataan bahwa ia ingin terlibat dalam pengasuhan anak.
- Perilaku mom-shaming sering kali menjadi kedok rasa tidak aman (insecurity) seseorang mengenai hal-hal yang mereka harap bisa mereka lakukan secara berbeda. Bagi sebagian ibu, yang mungkin punya anak-anak yang berusia lebih besar, melakukan mom-shaming adalah mungkin cara memberi tahu Anda untuk tidak melakukan kesalahan seperti yang ia pernah perbuat.
- Habiskan waktu lebih banyak dengan orang-orang yang setia mendukung Anda, kurangi dan batasi interaksi ibu-ibu mom-shamer—baik teman maupun keluarga.
- Tanggapi kritikan dengan selera humor.
- Jangan terpengaruh oleh teman-teman yang pola asuhnya terlihat mudah dan tanpa cela—apalagi jika Anda melihatnya di media sosial. Ingat, tak jarang apa yang terlihat di media sosial berbanding terbalik dengan kenyataannya.
- Apa yang Anda anggap sebagai kritikan mungkin adalah bentuk ketidaktahuan mom-shamer. Misalnya, mereka tak tahu alasan sebenarnya Anda berhenti atau tidak menyusui bayi atau cara Anda mendisiplinkan anak.
- Anda mengenal anak Anda lebih baik daripada siapa pun. Percayalah dengan insting Anda sebagai seorang ibu, tentang apa yang Anda yakini terbaik untuk Anda dan buah hati.
- Tambah wawasan dan pengetahuan Anda dari sumber-sumber terpercaya seperti buku, jurnal, ataupun seminar mengenai kesehatan atau pola asuh anak.
- Jangan menjadi mereka. Karena sakit hati, Anda jadi membalas orang-orang yang pernah mengkritik Anda, atau bahkan Anda melampiaskannya ke ibu baru lainnya. Ini tak akan bisa memutus tali mom-shaming. Orang-orang akan kehilangan minat untuk berperilaku mom-shaming jika Anda tidak merespons dengan cara apa pun.
Jika ada ibu lain yang mengkritik dan melukai perasaan Anda lewat perilaku mom-shaming seputar pengasuhan anak, segara buang jauh perasaan tersebut. Lebih baik fokuskan perhatian untuk memberikan yang terbaik untuk anak. Misalnya dengan berupaya untuk memenuhi nutrisi esensial yang ia dan Anda butuhkan.
Nutrisi yang dibutuhkan ibu menyusui antara lain adalah protein, karbohidrat, lemak, zat besi, omega-3, dan kalsium. Namun, jika Anda ragu dengan pemenuhan nutrisi tersebut dari makanan sehari-hari, Anda dapat mengonsumsi suplemen khusus kesehatan ibu hamil dan menyusui. Pastikan suplemen yang dipilih mengandung zat besi, kalsium, DHA, dan omega-3 demi kesehatan ibu dan perkembangan bayi selama 1.000 hari pertama hingga anak berusia 2 tahun.
Perilaku mom-shaming tak boleh dibiarkan, tapi juga sebaiknya tidak dibalas karena tanpa sadar Anda akan menjadi pelakunya. Tanamkan dalam pikiran bahwa kondisi setiap ibu dan anak berbeda-beda, sehingga kritik dari mereka bisa jadi sesuai dengan kondisi Anda. Ingat, cuma Anda yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak, dan percaya dirilah bahwa apa yang Anda lakukan adalah untuk kebaikannya.
(RN/ RH)