Peristiwa akhir tahun 2016 lalu membuat Egi syok. Perempuan yang kini berusia 40 tahun itu itu mendapat kabar mengejutkan.
Dokter kandungannya bilang, jantung janin di kandungan Egi tidak berdenyut. Waktu itu kehamilan Egi sudah masuk usia 10 pekan.
"Aku syok. Karena aku lumayan effort karena udah berusaha hidup sehat," katanya kepada Klikdokter.
Keguguran kali itu bukan yang pertama bagi Egi. Setahun sebelumnya, Egi mengalami hal yang serupa.
Kejadiannya juga mirip. Pada pemeriksaan rutin di pekan ke 10 kehamilan, dokter tidak dapat mendengar detak jantung jabang bayi.
Dokter menduga, janin dalam kandungan Egi tidak berkembang karena pengentalan darah. Aliran darah Egi mampet.
Artikel Lainnya: Ketahui Penyebab Umum Keguguran pada Ibu Hamil
Saluran yang memasok nutrisi bagi janin tersumbat. Alhasil, janin tidak mendapat nutrisi yang dibutuhkan untuk berkembang.
"Kata dokter udah enggak bisa diselamatkan lagi, aku akhirnya minum obat peluruh," Egi menuturkan.
Egi kaget dengan kondisi pengentalan darahnya. Pasalnya, anak pertamanya lahir tanpa kendala apa pun. Ia hamil hanya berselang empat bulan setelah pernikahan.
Padahal, orang dengan pengentalan darah biasanya akan kesulitan mengalami pembuahan. Menurut dokter, pengentalan darah bisa terjadi seiring pertambahan usia dan perubahan gaya hidup.
Pengalaman keguguran yang pertama itu membuat Egi memutuskan hidup lebih sehat. Ia mulai makan makanan bergizi bahkan menjurus ke arah vegan, rajin berolahraga, minum obat penyubur kehamilan, hingga suntik pengencer darah.
Namun, nasib berkata lain. Pada 2016 itu ia mengalami keguguran lagi. "Akhirnya aku istirahat hamil dulu kan," Egi berujar.
Artikel Lainnya: Ini yang Harus Dilakukan Setelah Ibu Mengalami Keguguran
Dua tahun berselang, ia kembali hamil dan lagi-lagi mengalami keguguran. Keguguran adalah peristiwa kematian janin sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu.
Kasus keguguran yang dialami Egi merupakan hal yang dekat dengan realita dunia kesehatan di Indonesia. Terlebih, setiap bulan Oktober menjadi Bulan Kesadaran Keguguran dan Kematian Bayi.
Bagi seorang calon ibu, keguguran bukan merupakan hal yang mudah dilalui. Egi, misalnya, mengaku trauma untuk hamil lagi.
"Lebih karena aku takut dengan beban untuk menjaganya, supaya bisa berhasil sampai sembilan bulan. Itu yang bikin aku deg-degan," katanya.
Ia mengaku ngeri membayangkan jika kejadian seperti itu terjadi di usia kehamilan di atas 20 bulan. Sejak keguguran yang ketiga, Egi belum pernah hamil lagi.
Dia mengaku masih memiliki keinginan punya anak. Namun, kini Egi hanya berserah pada takdir.
"Meski umurku udah di usia sulit hamil, aku pengin coba lagi. Pengin tanya ke dokter, masih bisa enggak. Kalau ternyata memang enggak bisa ya udah. Cukup anak satu saja mungkin," ungkapnya.
Artikel Lainnya: Mitos Seputar Keguguran yang Perlu Diluruskan
Seorang Ibu lain bernama Fani (39 tahun) juga punya pengalaman beberapa kali keguguran. Ia pertama kali mengalaminya pada 2010.
Waktu itu adalah pengalaman hamil pertamanya. Ia terkejut ketika pada suatu sesi kontrol, dokter mengabarkan tidak ada detak jantung pada janin yang dikandungnya. Padahal Fani merasa kehamilannya aman-aman saja.
"Kalau ditanya ada ciri-ciri apa, aku nggak ada, nggak ada mual muntah, atau pun apa. Bahkan sebulan terakhir kita ke dokter nggak ada perubahan apa pun." ia menceritakan pengalamannya.
Pengentalan darah diduga sebagai penyebab keguguran kandungan Fani. Ia pun harus menjalani kuret untuk membersihkan rahim.
Pada 2011, Fani kembali mengalami keguguran. Pengalaman kali itu, menurut dia, paling dramatis.
Artikel Lainnya: Cek Persentase Risiko Keguguran Berdasarkan Usia Kandungan
Fani mengalami perdarahan luar biasa. "Sampai keluar yang darah yang gumpalan kalau lagi mens itu besar-besar," kenangnya.
Pada kehamilan kedua itu, dia mengalami hamil kosong atau blighted ovum. Kondisi itu terjadi ketika sel telur sudah dibuahi, tapi embrio di dalamnya tidak berkembang.
Plasenta dan kantung embrio hanya menempel di dinding rahim. Pengalaman Keguguran membuat Fani trauma.
Ia masih ingat betul pengalaman dikuret. Dia masuk ke ruang persalinan dengan beberapa orang ibu lain.
"Itu nunggunya bareng. Yang lain mau lahiran, tapi saya mau dikuret. Mereka datang bawa bayi, saya mau ngelepas. Itu nangisnya kayak apa," katanya.
Pengalaman itu akhirnya berdampak pada psikis Fani. "Setiap saya ke dokter kandungan, saya nggak mau pergi sendiri. Saya maunya ditemenin, takut denger kabar yang nggak enak aja," ia menambahkan.
Artikel Lainnya: Tips Cegah Keguguran yang Wajib Anda Tahu
Belum lagi, ia juga harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan menggangu dari kerabatnya. Fani, misalnya, sering ditanya, "kapan hamil?" atau "sudah hamil belum?"
Banyak orang yang menyarankannya pergi ke dokter ini atau mengonsumsi obat itu. Baginya, hal semacam itu sangat menyebalkan. Hamil, menurut dia, bukan perkara gampang.
Tiga bulan setelah keguguran pertama, Fani benar-benar malas bertemu orang. Secara mental, ia lelah dengan pertanyaan dan saran orang seputar kehamilan.
Tapi tekad Fani sudah bulat untuk bisa hamil. Ia mengubah total pola hidup. Ia mulai memaksakan diri memakan sayuran, pola makan yang sebelumnya jarang dia lakukan.
Begitu pula dengan konsumsi buah-buahan. Fani mengaku harus melawan egonya untuk membiasakan diri dengan pola hidup yang baru. Dia juga melakukan terapi suntik untuk mencegah pengentalan darah.
"Suntik setiap hari itu menyakitkan. Posisinya harus sama, jamnya harus sama, jadi kita kalau hari ini suntuk jam 8 malam, yaudah seterusnya jam 8 malam. Itu bikin kita repot," katanya. Akhirnya upaya itu membuahkan hasil. Kini Fani sudah memiliki tiga orang anak.
Bagi ibu-ibu dengan pengalaman seperti Fani dan Egi, kehadiran ekosistem yang mendukung mereka untuk bangkit sangat penting. Keduanya mengaku suamilah yang paling punya andil paling besar.
Menurut Psikolog Ikhsan Bella Persada, wajar bila keguguran menyebabkan kondisi mental ibu tertekan.
Artikel Lainnya: Janin Meninggal Tanpa Tanda Keguguran, Waspada Missed Abortion
"Keguguran itu seperti menghancurkan harapan seorang Ibu," kata Ikhsan.
Seorang ibu yang mengalami keguguran bisa mengembangkan perasaan bersalah. Dia, menurut Ikhsan, cenderung punya perasaan gagal merawat kehamilan.
"Bisa juga menimbulkan kecemasan yang berlebihan, ibu akhirnya jadi takut ketika dia hamil lagi dan mengalami hal yang sama, atau malah beberapa ibu ada yang memiliki trauma sehingga tidak ingin hamil lagi," Ikhsan menguraikan.
Dampak hal itu pada setiap orang akan berbeda-beda. Demikian pula dengan seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pulih.
Yang paling penting agar ibu bisa bangkit dari pengalaman menyakitkan itu adalah dukungan. Biasanya, ibu yang mendapat dukungan emosional positif dari orang sekitar akan lebih mudah untuk menerima kondisi keguguran.
Ikhsan pernah mendapat klien ibu yang mengalami keguguran. Kondisi suami memberikan dukungan yang sangat positif bagi si ibu.
Masalahnya, kata Ikhsan, keluarganya yang lain justru terkesan menyalahkan sang ibu akibat peristiwa keguguran yang ia alami.
"Ada juga pihak keluarga lainnya juga suka menanyakan 'kapan mau hamil lagi?' Nah, itu yang akhirnya buat dia jadi stres banget," lanjut Ikhsan.
Ia mengingatkan bahwa ibu yang mengalami keguguran butuh agar perasaannya divalidasi oleh lingkungan sekitar.
"Orang di sekelilingnya sebaiknya lebih peka lagi dengan perasaan ibu yang baru keguguran, coba untuk tidak menanyakan hal-hal yang sensitif," sarannya.
Bila punya pertanyaan lain seputar topik ini, gunakan fitur Tanya Dokter di aplikasi KlikDokter untuk konsultasi dengan dokter.
(JKT/AYU)