Epilepsi dalam kehamilan merupakan suatu hal yang mungkin terjadi. Hal ini menjadi cukup berisiko khususnya bagi wanita penyandang epilepsi. Ia pun berhak untuk hamil dan memiliki anak.
Namun, sulit memperkirakan apakah kehamilan akan berjalan lancar atau tidak, mengingat kejang dapat terjadi kapan saja. Epilepsi pada ibu hamil dapat menyebabkan dampak negatif.
Apa Itu Epilepsi?
Mungkin Anda sudah familiar dengan gangguan kesehatan yang satu ini. Epilepsi adalah salah satu penyakit saraf yang ditandai dengan adanya kejang disertai dengan hilangnya kesadaran.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan adanya bangkitan kejang epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologi, dan sosial.
Tak hanya anak-anak dan orang dewasa saja yang bisa mengalami epilepsi, ibu hamil pun dapat mengalaminya. Epilepsi dalam kehamilan merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Artikel lainnya: 8 Hal Pemicu Kejang pada Penderita Epilepsi
Bangkitan kejang epilepsi sangatlah bervariasi, ILAE mengklasifikasikannya menjadi tiga bentuk utama yaitu bangkitan umum, bangkitan parsial, dan tidak terklasifikasi.
Bangkitan umum terdiri dari kejang tonik klonik, kejang absans, kejang klonik, kejang tonik, kejang atonik, dan kejang mioklonik. Sedangkan, bangkitan parsial terdiri dari kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks, dan kejang umum sekunder.
Tanda epilepsi pada ibu hamil tidaklah berbeda dengan penderita epilepsi pada umumnya. Berikut adalah gejala yang dapat muncul:
- Tubuh kaku, disertai hentakan seluruh tubuh atau hanya pada bagian tertentu.
- Mulut berbusa.
- Hilang kesadaran.
Pada beberapa penderita epilepsi, tak jarang juga muncul aura sebelum kejang terjadi. Aura adalah peringatan awal sebelum kejang terjadi. Biasanya berupa kilatan cahaya, lingkaran cahaya (halo), mencium suatu bau, dan telinga berdenging (tinnitus).
Mengapa Ibu Hamil Bisa Mengalami Epilepsi?
Sebenarnya, kehamilan tidak menyebabkan seorang wanita mengalami epilepsi. Biasanya, kondisi ini terjadi karena sebelumnya memang sudah memiliki riwayat epilepsi.
Tetapi, bumil yang mengidap epilepsi akan cenderung memiliki risiko mengalami kejang lebih tinggi, karena pada kehamilan terjadi perubahan hormonal. Selain itu, ketidakpatuhan terhadap pengobatan menjadi faktor utama seseorang mengalami kejang.
Faktor lainnya adalah kelelahan, mual muntah saat hamil, dan penggunaan obat-obatan lain yang dapat memengaruhi kerja obat epilepsi yang dikonsumsi.
Artikel lainnya: 7 Dampak Stres pada Ibu Hamil
Apa Risikonya Bila Ibu Hamil Mengidap Epilepsi?
Epilepsi yang kambuh saat hamil tentu dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Kejang yang timbul dapat menyebabkan menurunnya asupan oksigen ke dalam janin.
Menurut Mayo Clinic, bila itu terjadi, bisa muncul kondisi hipoksia, kelahiran prematur, malformasi kongenital atau cacat bawaan, berat badan lahir rendah, dan perdarahan neonatus.
Risiko lainnya adalah keguguran, keterlambatan perkembangan, cedera akibat terjatuh saat kejang, dan meningkatnya risiko kematian tak terduga pada epilepsi (Sudden Unexpected Death in Epilepsy).
Meski demikian, ibu hamil yang memiliki epilepsi tetap dapat menjalani kehamilan secara normal dan melahirkan bayi dengan keadaan sehat. Tetapi yang terpenting, perhatikan kesehatan diri dan janin.
Bagaimana Penanganan Epilepsi dalam Kehamilan?
Penanganan epilepsi pada ibu hamil merupakan suatu tantangan tersendiri, karena banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Kehamilan bukanlah penghalang dalam pengobatan epilepsi, sehingga apa pun yang terjadi, pengobatan tetap harus berjalan.
Perlu diketahui, tujuan utama dari pengobatan epilepsi dalam kehamilan ini adalah mencegah munculnya kejang selama kehamilan berlangsung dan mengurangi efek samping obat anti-epilepsi pada janin.
Obat anti-epilepsi memiliki sifat teratogenik. Bila dikonsumsi maka dapat menyebabkan kecacatan pada janin seperti bibir sumbing, neural tube defect, penyakit jantung bawaan, kelainan pada tulang, maupun kecacatan pada saluran kemih.
Meski menyebabkan efek samping pada janin, menghentikan penggunaan obat anti-epilepsi bukan suatu hal yang bijak. Dokter akan mengubah dosis dan jenis obat yang diberikan, agar kejang tidak terjadi dan menurunkan risiko efek samping pada janin.
Selain penggunaan obat, ibu hamil dengan epilepsi perlu diberikan konseling dan pendampingan. Kedua hal ini harus menjelaskan segala kemungkinan yang terjadi, seperti risiko melahirkan bayi yang cacat akibat efek samping obat, ketaatan minum obat, dan kemungkinan perubahan dosis maupun jenis obat.
Menurut Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia, pengidap epilepsi yang hamil juga tetap disarankan mengonsumsi asam folat untuk mengurangi risiko neural tube defect. Dokter akan memberikan dosis yang lebih tinggi dibanding wanita hamil pada umumnya, yaitu 5 mg dalam sehari.
Epilepsi dalam kehamilan merupakan sebuah masalah yang kompleks. Ada banyak risiko yang merugikan, baik untuk ibu maupun janin. Namun, dengan rajin kontrol, taat mengonsumsi obat anti-epilepsi, dan menjaga kesehatan, diharapkan ibu hamil tidak mengalami kekambuhan kejang.
Sebaiknya, tetap rutin kontrol ke dokter sesuai anjuran agar kehamilan dan persalinan dapat berjalan dengan baik. Bila ingin mudah berkonsultasi tentang epilepsi dan kehamilan dengan dokter, bisa pakai fitur Live Chat di aplikasi KlikDokter!
(FR/RPA)