Alergi merupakan salah satu kondisi kesehatan yang sering terjadi kepada anak-anak. Jumlah penderita alergi dilaporkan terus meningkat. Di Amerika, lebih dari lima juta anak mengalami alergi.
Tak hanya itu, berbagai kabar simpang siur mengenai alergi yang terjadi pada anak pun semakin banyak tersebar. Lantas, apa saja mitos yang berkembang di masyarakat seputar alergi anak dan bagaimana fakta medisnya?
1. Mitos: Tunda Memberikan Anak Konsumsi Makanan yang Sering Sebabkan Alergi
Banyak orang tua menunda pemberian makanan, seperti telur, kacang-kacangan, dan ikan saat anak berada di masa MPASI. Alasannya, khawatir makanan tersebut dapat menyebabkan alergi di kemudian hari.
Sayangnya, hal tersebut adalah mitos. Menurut fakta rekomendasi dari American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology, pemberian makanan seperti telur dan ikan boleh mulai diberikan sejak masa MPASI. Makanan tersebut tidak ada hubungannya dengan risiko peningkatan alergi saat anak dewasa nanti.
Lalu, bagaimana bila ternyata anak menunjukkan tanda alergi saat diberikan makanan tersebut? Anda boleh menghentikan pemberiannya kepada anak dan berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan makanan berikutnya.
2. Mitos: Alergi Makanan Akan Berlangsung Sepanjang Hidup
Pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar. Beberapa jenis alergi memang ada yang berlangsung hingga anak dewasa dan dengan intensitas yang berbeda. Akan tetapi, kondisi seperti alergi susu dan telur kerap berkurang bahkan hilang seiring pertumbuhan dan perkembangan anak.
Artikel Lainnya: 3 Cara Alami Ini untuk Mengatasi Anak Alergi
3. Mitos: Gejala Langsung Timbul Setelah Makan Makanan Mengandung Alergen
Hal di atas tidak sepenuhnya benar. Umumnya gejala alergi akan timbul segera setelah kita terpapar alergen. Namun, ada pula jenis alergi yang gejalanya muncul lebih lambat yaitu beberapa jam setelah paparan.
4. Mitos: Alergi Kacang Satu-Satunya Kondisi yang Dapat Mengancam Nyawa Anak
Faktanya, semua makanan yang mengandung alergen, termasuk kacang, berisiko menimbulkan reaksi yang membahayakan jiwa. Kondisi ini disebut sebagai reaksi anafilaksis.
Gejala anafilaksis adalah sesak napas, bibir bengkak, muntah, kelemahan, dan penurunan kesadaran. Apabila mengalami kondisi ini, penderita harus dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dokter sesegera mungkin.
5. Mitos: Intoleransi Makanan Sama dengan Alergi Makanan
Intoleransi makanan, seperti intoleransi laktosa, merupakan kondisi yang terjadi ketika saluran pencernaan kesulitan untuk mencerna makanan tersebut.
Sementara itu, alergi adalah respons dari sistem imun tubuh terhadap alergen. Dalam hal ini, alergen bisa saja berupa zat yang terkandung di dalam makanan. Jadi, keduanya adalah hal yang berbeda.
Artikel Lainnya: Kenali Penyebab Alergi Susu Sapi pada Anak
6. Mitos: Anak yang Minum Susu Soya karena Alergi Susu Sapi punya Perkembangan yang Tidak Sebaik Anak Minum Susu Sapi
Faktanya, anak yang minum susu soya karena alergi protein susu sapi, tetap dapat memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Pertumbuhan dan perkembangan anak didukung oleh berbagai aspek, tidak hanya nutrisi, tetapi juga stimulasi.
Selama faktor risiko alergi anak dihindari, kebutuhan nutrisinya seimbang, gizinya lengkap, serta selalu distimulasi dengan baik, anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik.
7. Mitos: Orang Tua yang Tidak Memiliki Alergi, Anaknya pun Tidak Akan Mengalami Alergi
Benar adanya, bahwa anak dapat mengalami alergi jika orang tuanya memiliki riwayat kondisi serupa.
Namun, bukan berarti anak pasti tak mengalami alergi apabila orang tuanya tidak memiliki riwayat tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan, anak yang keluarganya tidak ada riwayat alergi, tetap memiliki risiko alergi hingga 5 persen.
8. Mitos: Susu Soya Tidak Akan Menimbulkan Alergi
Susu soya atau susu berbahan kacang kedelai kerap digunakan sebagai pengganti susu sapi. Sebab, susu soya diyakini tidak akan menimbulkan alergi apapun.
Faktanya, susu soya bisa menjadi alergen atau pencetus alergi. Sebuah studi menunjukkan, dari seluruh pasien dengan alergi susu sapi, 45 persen di antaranya juga mengalami alergi susu soya.
Kendati demikian, bukan berarti Anda sama sekali tak bisa menggunakan susu soya sebagai pengganti ketika anak alergi protein susu sapi. Anda boleh mempertimbangkan memberikan anak susu soya selama tetap berkonsultasi dengan dokter.
Beberapa poin di atas adalah mitos yang kerap beredar di masyarakat seputar alergi pada anak. Untuk menghindari kebingungan akibat berita simpang siur yang beredar, usahakan untuk tetap berkonsultasi dengan dokter anak sebelum mempercayai suatu hal dan menerapkannya kepada si kecil.
Agar lebih mudah, Anda juga bisa mendapatkan informasi kesehatan yang terpercaya melalui aplikasi KlikDokter atau berkonsultasi langsung melalui fitur Tanya Dokter.
(OVI/JKT)