Magical thinking mungkin menjadi istilah yang sulit dipahami. Namun, sebenarnya praktiknya sendiri sudah sering dilakukan anak-anak, mungkin termasuk anak Anda.
Konsep pemikiran ini bukan untuk menjadikan anak sebagai penyihir. Mengutip dari Healthline, magical thinking merupakan pola pikir yang menghasilkan perilaku tidak relevan atau berhubungan dengan peristiwa sekarang.
Sebagai contoh, keluarga sedang naik kereta api dan melewati terowongan gelap. Entah kenapa, anak justru menahan napas (hidungnya dipencet) dan memejamkan mata di saat itu.
Artikel lainnya: Tips Mengatasi Anak yang Perfeksionis
Magical Thinking Termasuk dalam Tahap Perkembangan Anak
Pemikiran magis ini normal terjadi pada anak-anak. Namun, pada orang dewasa, magical thinking terkadang dikaitkan dengan gangguan obsesif-kompulsif.
Biasanya anak-anak mulai mempraktikkan magical thinking di masa balita. Pemikiran ini membuat mereka percaya bahwa tindakan yang dilakukan akan memengaruhi dunia di sekitarnya.
Misalkan, seorang anak mungkin berpikir bahwa makanan hanya terasa enak bila ia memakannya dengan sendok merah atau biru muda.
Dalam hal ini, anak-anak sedang berada di tahap perkembangan egosentris. Mereka yakin tindakannya secara langsung memengaruhi kejadian di sekitar. Positifnya, magical thinking akan menciptakan rasa optimisme.
Rasa optimisme dapat mengubah pandangan dan membantu anak mengelola tekanan emosional, stres, serta depresi dengan lebih mudah. Optimisme yang meningkat juga akan membuatnya lebih mudah memerhatikan hal-hal baik di sekitarnya.
Meskipun kesehatan fisik anak tak instan membaik akibat optimisme, pandangan tersebut setidaknya dapat mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Kekurangan dari pemikiran magis ialah anak menjadi sukar atau sering menolak rutinitas baru. Oleh karena itu, Anda perlu berusaha maksimal dan sekreatif mungkin untuk menghadapi anak dengan magical thinking.
Artikel lainnya: Apa yang Bisa Dilakukan Ortu saat Anak Sering Bilang Benci?
Kapan Magical Thinking Dianggap Sudah Tak Normal?
Walaupun pemikiran yang satu ini menjadi bagian dari tahap perkembangan anak, orangtua tetap tidak boleh lengah.
Gracia Ivonika, M. Psi., Psikolog berpendapat, ayah dan ibu sebaiknya tetap memerhatikan pola perilaku anak akibat magical thinking itu.
“Seberapa besar efek dari magical thinking ini, sehingga anak tidak bisa beraktivitas normal? Misalnya apakah anak jadi melakukan perilaku kompulsif karena pola pikirnya?” ujar Gracia.
Pemikiran magis menurut Gracia memang sangat bergantung pada usia anak. “Pada anak balita, ia masih egosentris, sehingga ia akan memahami sebab-akibat berdasarkan pengalamannya sendiri saja,” ungkapnya.
“Faktor pengasuhan pun berpengaruh. Jika orangtuanya juga sering seperti itu, maka anak bisa meniru.”
Ketika anak masuk ke usia sekolah, seharusnya pemikirannya sudah lebih fleksibel dan objektif.
Artikel lainnya: Catat, Ini Hal yang Tidak Boleh Dikatakan pada Anak Telantar
“Apabila anak masih sangat kaku dan susah beraktivitas secara normal, itu bisa menjadi catatan bagi orangtua. Ayah dan ibu sebaiknya membantu anak untuk mendapatkan penanganan tenaga profesional seperti dokter anak dan psikolog,” saran Gracia.
Pola perilaku yang kaku dan mengganggu dari magical thinking bisa saja disebabkan oleh masalah perkembangan lain, misalnya autisme ataupun ADHD. Biasanya, dua kondisi tersebut memiliki gejala-gejala lain yang menyertai.
Selain autisme dan ADHD, ada pula gangguan obsesif-kompulsif (OCD), gangguan kecemasan, dan skizofrenia yang juga bisa menjadi pemicu terselubung.
Orang OCD biasanya akan melakukan ritual tertentu (kompulsif) untuk menenangkan pikiran obsesifnya. Contohnya, ia mungkin percaya jika tidak mengetuk pintu mobilnya sebanyak tiga kali, maka ia akan mengalami kecelakaan.
Pada orang skizofrenia, ia mungkin percaya dirinya punya kekuatan super yang bisa melindungi dunia dari kejahatan.
Bila ada pertanyaan seputar kesehatan mental dan perilaku anak, konsultasi ke psikolog lewat fitur Live Chat di KlikDokter.
(FR/JKT)