Orang tua pada umumnya akan merasa tenang setelah sang anak sudah mendapatkan imunisasi lengkap difteri. Namun faktanya, anak yang sudah diimunisasi difteri secara lengkap pun tetap berisiko terkena penyakit yang menyerang saluran pernapasan ini. Mengapa demikian?
Seputar Difteri
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh eksotoksin, yaitu sejenis racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria. Difteri juga dapat disebabkan oleh C. ulcerans meskipun dalam jumlah kasus yang lebih sedikit. Terdapat empat tipe C. diphtheria antara lain adalah gravis, mitis, belfanti dan intermedius.
Artikel lainnya: Adakah Efek Samping Imunisasi Difteri?
Tanda dan gejala yang paling sering dijumpai pada pasien dengan difteri adalah adanya keluhan saluran pernapasan yang umumnya menyerang faring dan tonsil. Namun, gejala juga dapat menyerang laring dan jaringan nasal (hidung).
Pada kasus berat, dapat ditemukan suatu selaput atau pseudo membran yang dapat menyumbat saluran pernapasan bagian atas. Komplikasi berupa peradangan juga bisa terjadi pada dinding otot jantung, yaitu miokarditis, atau peradangan saraf pada beberapa lokasi yang disebut dengan polineuritis. Selain itu, difteri juga dapat menimbulkan lesi pada kulit.
Tahapan Imunisasi Difteri
Imunisasi difteri dapat terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat aktif dan pasif. Imunisasi aktif untuk difteri berasal dari diphtheria toxoid, sedangkan imunisasi pasif berasal dari diphtheria antitoxin (DAT).
Jadwal pemberian vaksin difteri di Indonesia diberikan pada usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan. Kemudian, vaksin ulang akan diberikan pada usia 1 tahun; serta usia prasekolah, yaitu usia 5-6 tahun. Ketika semuanya sudah diberikan, barulah anak disebut mendapatkan imunisasi lengkap difteri.
Namun, seperti vaksin pada umumnya, kekebalan yang diinduksi oleh vaksin semakin berkurang dari waktu ke waktu. Centers for Disease Control and Prevention (CDC),Lembaga Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat, merekomendasikan orang dewasa untuk mendapatkan imunisasi lanjutan atau booster setiap 10 tahun.
Adapun di Indonesia saat ini, cakupan vaksin sebesar 80-85 persen dari seluruh penduduk harus dipertahankan. Hal ini untuk mendorong kekebalan terhadap difteri dan mencegah terjadinya wabah. Untuk mencapai target tersebut, edukasi dalam bentuk penyuluhan mengenai imunisasi memiliki peran yang sangat penting.
Artikel lainnya: Kondisi yang Tidak Diperbolehkan Mendapatkan Vaksin Difteri
Imunisasi dan Risiko Terkena Difteri
Berbagai penelitian mendukung bahwa vaksinasi difteri efektif untuk melawan penyebaran difteri, meski efektivitas perlindungannya tidak mencapai 100 persen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yemen, efektivitas perlindungan dari vaksinasi difteri sekitar 87persen pada orang yang telah menerima dosis vaksinasi sebanyak tiga kali atau lebih.
Jadi, meski sudah mendapatkan imunisasi difteri secara lengkap, seseorang tetap berisiko tertular difteri. Hanya saja, tingkat risikonya akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak imunisasi lengkap atau tidak diimunisasi sama sekali.
Orang yang sudah menerima imunisasi difteri secara lengkap, juga tetap dapat mengalami "karier difteri". Yaitu, membawa bakteri difteri tanpa munculnya keluhan atau gejala apapun. Karena itu, meski tidak memiliki keluhan apapun, belum tentu seseorang terbebas dari difteri. Tetap menjaga daya tahan tubuh harus dilakukan agar dapat terhindar dari sakit.
Artikel lainnya: Inilah Cara Ampuh Mencegah Difteri selain Vaksin
Meskipun sudah mengikuti imunisasi difteri lengkap, proteksi yang diberikan tidaklah bersifat mutlak 100 persen. Masih ada risiko terkena difteri, meski persentasenya lebih kecil dibandingkan yang tidak imunisasi sama sekali atau tidak lengkap. Karena itu, sangat penting untuk melakukan program imunisasi nasional, khususnya imunisasi wajib, yang digalakkan pemerintah. Meningkatkan cakupan populasi yang divaksinasi akan menurunkan risiko terjadinya wabah difteri.
[HNS/ RVS]