Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang membayangi anak-anak di Indonesia. Prevalensinya, berdasarkan statistik, masih cukup tinggi.
Rata-rata satu dari tiga anak mengalami masalah tumbuh kembang ini. Sayangnya, bahaya stunting belum banyak diinsafi.
Padahal deteksi dini dan penanganan segera sangat menentukan masa depan anak. Dalam lingkup yang lebih luas, stunting juga berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia suatu negara.
Pemerintah telah menargetkan kasus stunting ditekan hingga 14 persen pada 2024. Dapatkah target itu tercapai?
apa pula kendala yang menjadi tantangan di lapangan? Di momentum Hari Anak Internasional yang jatuh 23 Juli mendatang isu ini kembali menjadi relevan.
Klikdokter mengulas seputar akar masalah dan bagaimana kendala penanganan stunting di Indonesia.
Kami berbincang dengan Eni Gustina, MPH, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN. Berikut cuplikan wawancaranya:
Artikel Lainnya: Risiko Stunting Meningkat Saat Pandemi, Mengapa?
Bagaimana situasi stunting di Indonesia lima tahun belakangan?
Saya menjelaskan menurut data. Karena, stunting itu harus diukur seluruh Indonesia, berarti dari lima tahun belakangan, terakhir yang saya ingat itu dari 2018 itu dari Diskesdas datanya itu 30,8, kemudian 2019 ada pengukuran SSGI itu 27,67, data sebelumnya yang 2013 itu 37,8.
Bagaimana dengan tahun ini?
Nah, tahun ini belum dihitung. Cuma ada survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan BPS itu hasilnya sedang dihitung tapi kami baru dapat kabar-kabar bahwa kemungkinan akan naik lagi sekitar 30 persen.
Apakah peningkatan kasus stunting berkaitan dengan dampak pandemi COVID-19?
Kita perkirakan begitu. Jadi, kita sambil menunggu data, ya. BKKBN itu sedang mengadakan pendataan keluarga 2021. ini hasilnya belum selesai. September nanti baru kita dapatkan datanya.
Memang secara hitung-hitungan itu karena banyak orang yang di PHK, kemudian banyak orang kehilangan pekerjaan.
Jadi, kita lihat sendiri saat ini kondisi orang sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan.
Kemudian, yang di PHK ada kemungkinan mengalami peningkatan stunting. Namun, kita belum bisa bicara soal berapanya karena angkanya belum masuk.
Artikel Lainnya: Dampak Stunting pada Masa Depan Anak
Pemerintah sangat serius menangani stunting, sebenarnya seberapa besar ancamannya?
Sebenarnya kalau kita sebut stunting ada tiga gejala. Kalau disebut stunting, orangnya pasti pendek.
Namun, kalau orangnya pendek, belum tentu stunting. Gejalanya stunting selain pendek harusnya ada keterbelakangan dalam berpikir.
Makanya, kita lakukan pencegahan stunting. Jangan sampai orang itu jatuh pada kondisi yang perkembangan otaknya sampai terkena gangguan.
Bisa dibayangkan kalau kita tidak melakukan pencegahan stunting nanti generasi kita ke depan itu makin banyak yang daya pikirnya tidak optimal atau tidak maksimal.
Ini berkaitan sekali dengan visinya Presiden Jokowi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Makanya, ini dianggap penting untuk mencegah jangan sampai generasi ke depan itu kemampuan berpikirnya rendah.
Daerah mana lima besar kasus terbanyak stunting di Indonesia?
Kalau untuk daerah itu, ada tiga daerah yang menjadi perhatian stunting yang terjadi yaitu Sulawesi Barat, NTT dan Papua.
Apa penyebab tingginya stunting di daerah tersebut?
Mungkin kita lihat penyebabnya secara umum ya, penyebab stunting itukan yang pasti karena impak makanannya yang kurang dalam jangka waktu yang lama.
Kalau kita tanya penyebabnya, bisa karena makanan yang tidak cukup tapi bisa juga karena faktor anaknya, karena memang anaknya sakit atau ada penyakit.
Nah, artinya kalau makan tidak cukup bisa karena ekonomi, memang tidak ada makanannya. Bisa juga karena ketidaktahuan keluarga sehingga gizi makannya tidak terpenuhi, kalau kita bicara dia ada penyakit artinya kemungkinan ada faktor yang lain.
Penyakitan disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya karena dia cacingan, jadi karena keluarga miskin misalnya, anaknya main di tanah jadi cacingan sehingga menyebabkan stunting.
Bisa juga karena dia tinggal di lingkungan yang kumuh, dan infeksi atau batuk yang terus menerus.
Bisa dibayangkan kalau anak batuk-batuk maka makannya juga bisa kurang dan menyebabkan stunting. Jadi, penyebab stunting secara keseluruhan ada yang kita sebut dari individunya.
Artikel Lainnya: Cegah Stunting, Penuhi Nutrisi Makro dan Mikro Saat Menyusui
Benarkah anggapan stunting biasanya hanya terjadi di kelompok masyarakat ekonomi bawah saja?
Salah. Stunting itu kan tadi, impact kurangnya nutrisi, bisa jadi karena orangtuanya yang memang tidak paham.
Buktinya juga menunjukan hal seperti itu. Misalnya, pada bayi baru lahir itu yang berat badan lahir rendahkan sekitar 11 persen, ternyata pada umur 2 tahun stunting-nya bisa sampai 23 persen, seingat saya datanya.
Artinya, malah meningkat. Ini menunjukkan ada kejadian nutrisinya kurang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak itu.
Karena orang tuanya tidak paham tentang pola makan anak. Nah, seperti ini artinya tidak sepenuhnya karena pengaruh ekonomi.
Satu lagi yang kita temukan di lapangan. Misalnya, pada anak-anak yang lahirnya kembar. Ini pun juga akan mempengaruhi.
Anak yang lahir kembar itu secara otomatis berat badan juga rendah kemungkinan juga lahirnya BBLR (Berat Badan Lahir Redah-red).
Kemungkinan dia juga daya serap makannya juga tidak baik. Jadi banyak faktor penyebab lain yang menyebabkan terjadinya stunting.
Bagaimana Anda melihat kesadaran publik terhadap bahaya stunting, apakah pemahaman di masyarakat sudah merata?
Yang membuat publik aware sebetulnya kan butuh informasi yang secara masif dari berbagai media tentunya, tidak bisa kalau kita sekedar ngomong gitu.
Kemudian juga harusnya media-media lain secara gencar menyampaikan pentingnya mencegah stunting, ini yang kami harapkan juga artinya semua pihak ikut terlibat untuk sosialisasikan upaya-upaya pencegahan stunting tadi.
Apa kendala pemberantasan stunting di lapangan?
Kendalanya banyak hal, terutama kalau menurut saya lebih pada faktor pemahaman masyarakat dan faktor perilaku.
Saya contohkan misalnya di sebuah daerah di Jawa Barat, itu tidak terlalu jauh dari jakarta. Kan, ada yang namanya dana desa, dana desa kan langsung diberikan ke desa uangnya itu bisa Rp 1 sampai Rp 1,5 miliar. Satu desa dapat dana desa.
Dalam dana desa itu salah satunya harus dimanfaatkan untuk kesehatan termasuk untuk penurunan stunting. Namun, pas kita lihat ternyata kepala desa itu bikinnya jalan, jalan gitu semua.
Sementara masyarakatnya mandinya itu di air yang seperti kolam besar di atasnya dibikin kayak jamban mereka mandi, nyuci bersama-sama di situ.
Terus saya tanya sama bapak kepala desa, “pak itu kenapa tidak dibikinkan sumber air bersih?” Karena di rumah kepala desanya ada pompa air, ketika saya tanya modalnya bikin pompa air itu Rp 7 juta.
Saya bilang kenapa bapak tidak bikin sumber air saja pak untuk masyarakat supaya mandinya juga bersih, pake air bersih.
Itu dia jawab, “Masyarakatnya tidak mau, Bu. Mereka lebih enak mandinya bareng-bareng begitu bisa sambil ngobrol, sambil bercanda.” Ini artinyakan perilaku ini.
Ini sebagai gambaran salah satu aja ya, atau misalnya kalau yang ekstrim itu seperti di NTB misalnya, di beberapa daerah kalau nyuapin anak itu dikunyah ibunya dulu, sudah dikunyah ibunya baru dikasih ke anaknya, jadi zat gizinya sudah tidak ada.
Artikel Lainnya: Nutrisi yang Dibutuhkan Anak agar Tidak Mengalami Stunting
Bisa dijelaskan secara singkat roadmap strategi pemerintah dalam mencegah stunting?
kalau bicara strategi, pemerintah sekarang inikan kita mengacunya masih pada Perpres 42 di mana ada kegiatan konvergensi tingkat pusat.
Itu semua kementerian/lembaga hampir 23 lembaga itu mendapatkan anggaran stunting, tentunya yang mengatur dari Bappenas.
Nah, sekarang dengan pengalihan tanggung jawab stunting ke BKKBN, kita sedang mengajukan Perpres yang baru untuk menggantikan Perpres 42 tersebut.
Namun, polanya yang selama ini konvergensi sudah jalan, mungkin juga pernah mendengar ada yang namanya program keluarga harapan dari kemensos.
Itu bantuan tunai kepada masyarakat yang miskin, tapi ternyata inikan tidak sampai ke masyarakatnya.
Bantuannya malah dijadikan untuk kredit motor gitu atau bantuannya dibelikan barang-barang yang tidak untuk penanganan stunting, beli TV dan lain-lainnya.
Padahal judulnya bantuan inikan untuk anak-anak yang stunting, di dalam anggaran kemensos itu untuk anak stunting.
Nah, seperti ini yang akan kita atau kami BKKBN berusaha untuk menjadi orang yang menyampaikan bantuan itu supaya betul-betul sampai kepada warga.
Presiden menargetkan pada 2024, prevalensi stunting turun hingga 14 persen. Apakah sejauh ini kita sudah berjalan di trek yang tepat?
Kita harus optimis, meskipun di pandemi COVID-19 kita tahu bahwa stunting akan meningkat, tapi kita harus optimis.
BKKBN menyusun langkah-langkah pendampingan. Ternyata stunting itu salah satunya disumbang oleh bayi-bayi yang kelahiran stunting.
Kita sudah mulai menghitung kan setiap tahun itu ada 5 juta kehamilan. BKKBN mulai melihat intervensinya jauh ke hulu, dari calon pengantinnya.
Calon pengantinnya kita lakukan screening, tentunya ini menggunakan aplikasi. Karena, kan, di dalam pandemi COVID kita tidak bisa satu persatu didatangkan calon pengantinnya. Kita bekerja sama dengan Kementerian Agama, dalam hal ini KUA di tingkat kecamatan.
Begitu mereka mendaftar kita suruh mengisi aplikasi untuk melihat atau screening risiko-risiko stunting tadi.
Artikel Lainnya: Smart Sharing, Program untuk Turunkan Angka Stunting Indonesia
Apa saja yang akan menjadi indikatornya?
Misalnya terkait umur, umur calon pengantinnya itu juga pengaruh. Ketika di bawah usia 20 tahun akan memiliki risiko stunting.
Kemudian tinggi badan ibu, kemudian diperiksa apakah dia anemia atau tidak. Diperiksa juga lingkar lengan atasnya.
Ketika ini memang ada kemungkinan untuk risiko stunting, kita akan mengedukasi si calon pengantin ini agar menunda dulu kehamilannya. Kita berikan surat keterangan belum layak hamil.
Kemudian untuk kehamilan juga sama, di kehamilan kita akan dampingi selama kehamilan untuk memonitor perkembangan kehamilannya agar nanti melahirkan bayi yang sehat.
Di samping itu, intervensi sudah berjalan untuk anak-anak atau balita di posyandu agar tetap dipantau pertumbuhan perkembangannya.
Bagaimana implementasinya?
Nah, pemahaman-pemahaman seperti ini membutuhkan informasi ke masyarakat. Kadang-kadang masyarakat kita untuk datang ke posyandu saja merasa tidak penting. Padahal itu untuk melihat apakah berat badan anak meningkat atau tidak.
Mungkin dari tahun-90 an sudah dikatakan kalau dalam dua bulan berturut-turut berat badan anak tidak naik, ini harusnya anak ini dibawa ke dokter untuk diperiksa.
Jadi, ini langkah-langkah yang dilakukan BKKBN untuk mencoba, mengupayakan percepatan penurunan stunting.
Ingin tahu lebih lanjut seputar stunting? Ajukan pertanyaan Anda kepada dokter yang kompeten melalui fitur LiveChat atau baca informasinya lebih lanjut di aplikasi Klikdokter.
(JKT/AYU)