Pola asuh yang diterapkan oleh orangtua memiliki peran yang penting dalam membentuk karakter anak. Tidak hanya itu, tahukah Anda bahwa pola asuh anak juga turut mempengaruhi kesehatan mental si kecil?
Faktanya, terdapat berbagai jenis pola asuh yang bisa diterapkan. Beberapa di antaranya terbukti efektif dan dapat membentuk anak yang sehat dari segi fisik maupun mental. Namun, sebagian lainnya malah dapat menyebabkan berbagai masalah pada anak, khususnya terkait kondisi mental.
Menurut tinjauan studi terbaru oleh Population Mental Health Group di Melbourne School of Population and Global Health yang meneliti 181 studi, pola asuh yang salah terbukti dapat menjadi penyebab depresi pada anak.
Artikel Lainnya: Manfaat Slow Parenting atau Pola Asuh Lambat Bagi Anak
Pola Asuh yang Dapat Memicu Depresi pada Anak
Berikut ini beberapa tipe pola asuh anak yang dapat menyebabkan depresi:
1. Pola Asuh Otoriter
Gracia Ivonika, M.Psi., Psikolog mengatakan bahwa pola asuh otoriter atau authoritarian parenting style berhubungan erat dengan peningkatan risiko depresi pada anak.
Kata otoriter merujuk pada gambaran pola asuh yang berfokus pada pemaksaan. Anak harus menuruti apa yang orangtua katakan tanpa membantah. Dalam pola asuh ini, orangtua juga tidak mengizinkan anak terlibat dalam pemecahan masalah.
“Pola asuh otoriter biasanya tidak ada kehangatan, karena orangtua terlalu protektif dan mengatur, tapi tidak diimbangi dengan kedekatan emosional maupun kehangatan dalam pengasuhan sehingga dapat memicu depresi pada anak,” jelas Gracia.
Orangtua yang otoriter juga cenderung akan memberikan hukuman daripada pendisiplinan saat anak melakukan kesalahan. Jadi, alih-alih mengajari untuk belajar dari kesalahan, orangtua malah membuat anak menyesal atas hal yang telah diperbuat.
Anak yang besar dengan pola asuh otoriter juga mungkin memiliki pandangan yang buruk terhadap orangtuanya. Hal ini dapat meningkatkan risiko masalah pada harga diri anak, karena pendapatnya yang selalu tidak dihargai.
2. Pola Asuh Tanpa Terlibat
Menurut Gracia, pola asuh yang tidak melibatkan orangtua secara langsung dapat pula menyebabkan depresi pada anak
“Orangtua terlalu cuek, sehingga anak tidak merasakan adanya keterikatan emosional. Padahal, orangtua seharusnya memberikan rasa aman, nyaman dan kehangatan, tapi hal itu tidak didapatkan oleh anak,” ucap Gracia.
Tidak dimungkiri, dukungan dan kedekatan keluarga bisa menjadi pondasi anak ketika mereka berada di luar rumah. Contohnya, ketika anak merasa tidak aman di lingkungan sekolah, paling tidak ia memiliki orangtua untuk berlindung dari kondisi tersebut.
Di sisi lain, orangtua yang tidak terlibat dalam pola asuh berharap bahwa anak dapat membesarkan diri mereka sendiri. Orangtua dengan pola asuh tersebut juga menuntut anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Keadaan tersebut dapat membuat anak memiliki masalah dengan harga dirinya. Mereka pun cenderung memiliki prestasi yang buruk di sekolah, sering terlibat perilaku bermasalah dan peringkat kebahagiaannya rendah.
3. Tiger Parenting
Melansir healthline, tiger parenting menuntut anak untuk selalu unggul dalam hal akademis. Tipe pola asuh ini juga cenderung bersifat keras, menuntut, dan tidak mendukung anak secara emosional.
Psikolog di Heal, Souzan Swift, PsyD, mengatakan bahwa sukses adalah tujuan utama dari tiger parenting. Anak-anak pun sering menuruti apa pun permintaan orangtua. Mereka cenderung takut terhadap hukuman dan penerimaan dari keluarga.
Swift juga mengatakan, niat kuat untuk membuat anak cerdas dan sukses pada tiger parenting dapat berimbas pada meningkatnya stres. Padah akhirnya, hal itu malah memicu depresi pada anak.
Artikel Lainnya: Mengenal Pola Asuh Co-Parenting untuk Pasangan Bercerai
Anak Depresi Tidak Melulu Akibat Pola Asuh
Pada dasarnya, kondisi anak depresi tidak melulu soal pola asuh, tetapi bagaimana kondisi di dalam keluarga itu sendiri. Misalnya saja, pola asuh anak sudah baik-baik saja, tetapi hubungan kedua orangtuanya tidak baik. Kondisi demikian juga rentan memicu depresi pada anak.
“Karena, walaupun kasih sayang sudah didapatkan, tetapi anak yang broken home dapat mempersepsikan rumah sebagai tempat yang tidak aman,” jelas Gracia.
Tidak hanya itu, riwayat keluarga dengan penyakit mental, status sosial ekonomi, dan etnis; semuanya juga berperan dalam menentukan apakah seorang anak rentan mengalami gangguan kecemasan dan depresi atau tidak.
Faktor lingkungan di luar kendali orangtua, seperti intimidasi di sekolah atau kecanduan media sosial turut berkontribusi terhadap risiko depresi pada anak.
Oleh karena itu, jika Anda merasa sudah menerapkan pola asuh yang tepat namun anak terlihat tidak baik-baik saja, sebaiknya segera berkonsultasi lebih lanjut kepada psikolog melalui LiveChat 24 jam atau aplikasi KlikDokter. Hal ini bertujuan untuk mencari tahu serta mengoreksi sesuatu yang berjalan keliru.
(NB/JKT)