Tak melulu soal bermain, beberapa anak justru punya kewajiban layaknya orang dewasa. Misalnya, mencari uang atau mengurusi rumah tangga. Kondisi seperti ini biasanya terjadi akibat cara mengasuh anak yang tidak tepat.
Contoh, orang tua ‘memaksa’ si Kecil untuk berpakaian atau berdandan layaknya orang dewasa agar ia bisa tampil di berbagai acara atau sekadar dijadikan konten di media sosial.
Tindakan tersebut dilakukan oleh orang tua si anak bukan untuk tujuan bercanda. Tetapi, untuk menarik perhatian khalayak agar ujung-ujungnya menghasilkan uang banyak bagi keluarga (eksploitasi anak).
Lantas, bagaimana jika kondisi “pemaksaan” itu terus-menerus terjadi? Apakah baik untuk melatih tanggung jawab sejak dini, atau justru sebaliknya?
Artikel Lainnya Awas, Orang Tua Pilih Kasih Bisa Berefek pada Perkembangan Anak
Bahaya Memaksa Anak Dewasa Sebelum Waktunya
Cara mengasuh anak yang membuat si Kecil bertingkah seperti orang dewasa sebelum waktunya ditanggapi oleh Ikhsan Bella Persada, M.Psi, Psikolog dari KlikDokter.
Menurutnya, anak kecil belum boleh dibebani hal berat atau tanggung jawab besar karena akan berdampak pada kesehatan mentalnya saat sudah remaja atau dewasa. Memaksa anak untuk dewasa sebelum waktunya bukan bagian dari cara mengasuh anak yang tepat.
“Anak yang dipaksa dewasa sebelum waktunya bisa memiliki rasa trauma atau tekanan tersendiri ketika bertindak,” kata Ikhsan.
“Ketika tumbuh besar, dia bisa menganggap bahwa semua hal adalah tanggung jawabnya, meski sebenarnya bukan. Dia akan merasa tidak berguna jika gagal mengurusi sesuatu,” sambung Ikhsan.
Tak cuma itu, Ikhsan melanjutkan, si anak juga akan tumbuh menjadi orang yang suka mengatur karena sedari kecil dia terbiasa mengambil keputusan sendiri.
“Tidak menutup kemungkinan pula, anak yang dipaksa dewasa sejak dini justru berubah menjadi kekanak-kanakan atau childish saat dewasa nanti,” Ikhsan menambahkan.
Kata Ikhsan, kondisi seperti itu dikenal dengan sebutan regresi. Ini adalah kondisi di mana anak sudah bosan dengan segala tanggung jawab yang pernah dipikulnya, dan malah ingin jadi anak-anak seutuhnya meski usianya sudah tak sesuai.
Ciri-ciri Anak yang Dipaksa Dewasa sebelum Waktunya
Sebagai informasi tambahan, dalam ilmu psikologi, anak yang dipaksa untuk dewasa akan mengalami gejala parentifikasi.
Parentifikasi adalah proses pembalikan peran, yakni ketika seorang anak berkewajiban untuk bertindak sebagai orangtua bagi orangtua atau saudara mereka sendiri.
Psikoterapis berlisensi di Miami, Florida, Amerika Serikat, Whitney Goodman, LMFT, mengungkapkan bahwa pembalikan peran tersebut dapat meninggalkan bekas luka emosional yang dalam hingga dewasa dan ciri-cirinya bisa diamati sejak dini.
Adapun ciri-ciri seorang anak yang dewasa sebelum waktunya, yaitu:
- Ketika diberi tahu atau dinasihati, si anak cenderung tidak mendengarkan dan menjawab omongan orangtuanya. Menurut Ikhsan, hal ini karena si anak merasa bahwa dia tahu apa yang terbaik untuknya.
- Sulit bermain atau melepaskan sesuatu. Dia menjadi anak yang suka menahan diri.
- Tumbuh dan merasa harus bertanggung jawab akan semua hal.
- Suka memegang kendali.
- Tidak akur dengan pengasuh atau orangtuanya sendiri.
- Merasa hidup terasa berat sekali.
- Sering mendapat pujian dari orang-orang dewasa, tetapi tidak akur dengan teman-temannya sendiri.
- Tidak mudah percaya pada orang lain.
- Susah mengingat masa kecil yang menyenangkan, karena masa kecilnya diisi dengan bekerja atau mengurusi suatu hal.
- Rela merawat anak-anak lain, sekalipun dia harus mengorbankan dirinya sendiri.
Artikel Lainnya Ini Dampak Buruk yang Dialami Anak Saat Orangtua Bercerai
Perlukah Diberikan Terapi?
Parentifikasi yang berlangsung dalam waktu lama bisa memberikan dampak buruk pada si Kecil saat dewasa nanti. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa pola pikirnya yang seperti itu dapat mengganggu aspek kehidupannya sendiri, bahkan berefek pada orang lain.
Jika sudah sampai mengganggu aspek kehidupannya, Zarra Dwi Monica, M.Psi, Psikolog dari KlikDokter mengatakan, orang tersebut dapat diberikan terapi cognitive behaviour (CBT).
“Terapi CBT bertujuan mengembalikan pola pikir dan pola perilaku seperti orang normal pada umumnya dan sesuai dengan usianya,” tutur Zarra.
“Akan tetapi, jika orang tersebut termasuk orang yang keras, Acceptance and Commitment Therapy (ACT) akan lebih cocok,” sambungnya.
Terapi ACT tidak mengubah perilaku, tetapi lebih pada membuat si pasien menerima kondisinya sehingga rasa ketidaknyamanan serta trauma akan menghilang.
“Dengan ACT, perilaku orang tersebut nanti akan lebih fleksibel,” ungkap Zarra.
Dua terapi di atas sangat sesuai untuk diberikan pada orang dewasa yang punya masa kanak-kanak kurang menyenangkan, termasuk dipaksa dewasa sebelum waktunya.
Namun, untuk yang masih anak-anak, terapi dapat dilakukan dengan mengandalkan orang yang paling dekat dan dipercaya oleh anak.
“Orang terdekat dan paling dipercaya bisa membantu mengembalikan perilaku anak secara bertahap dan konsisten. Tindakan ini mungkin dilakukan, karena pola pikir anak masih lebih mudah untuk diubah,” pungkas Zarra.
Mengasuh anak dengan cara yang tidak tepat bisa berdampak kurang baik bagi masa depan si buah hati. Karena itu, koreksi kembali pola asuh Anda agar si Kecil tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan di waktu mendatang.
Jika Anda mengalami kendala atau ingin tahu lebih dalam mengenai cara tepat mengasuh anak, jangan sungkan untuk bertanya pada psikolog dan dokter dari KlikDokter di sini.
(NB/RPA)