Keputusan itu dibuat Marini (34 tahun)--begitu perempuan ini meminta dipanggil--dan suaminya dua tahun lalu, ketika usia pernikahan mereka berada di tahun kedua. Pasangan muda tersebut membuat kesepakatan yang mungkin tidak biasa bagi kebanyakan orang: childfree alias tidak memiliki anak.
Semua bermula dari keputusan Marini dan suaminya menunda punya momongan. Di awal pernikahan, mereka merencanakan baru akan memiliki anak dua tahun kemudian. Tapi, kemudian waktu mengubah pikiran mereka.
"Makin dijalanin, jadi lebih happy saja tanpa anak. Berasa baik-baik saja tanpa kekurangan," kata Marini kepada Klikdokter.com.
Di luar urusan "happy-happy" tadi, Marini rupanya punya segudang alasan lain untuk tidak memiliki anak. Lahir di keluarga yang kaku, ia besar dengan lingkungan yang kurang bisa mengungkapkan kasih sayang.
Marini bercerita, ia tidak pernah mengungkapkan perasaan kepada orang tua. Hubungan keluarga yang dingin tidak memberinya contoh komunikasi antara orang tua dan anak.
Dia tidak mau pengalaman itu terulang bila memiliki anak. Di keluarganya juga ada anggapan, anak sebagai bentuk investasi.
Bila anak sudah dewasa, mereka harus membalas budi kepada orang tua. Caranya dengan menghidupi orang tua di masa tua.
Marini menolak tegas pandangan semacam itu. Baginya, ketika dewasa anak punya kehidupan sendiri yang lepas dari orang tua.
Artikel lainnya: Memiliki Anak Menurunkan Risiko Gangguan Kesehatan pada Ibu?
"Daripada jadi generasi sandwich, ya kan. Mendingan diputus saja rantai itu dengan cara childfree," katanya.
Apalagi, Marini juga tidak siap memiliki anak. Ketakutan menghadapi rasa sakit saat melahirkan menghantuinya. Belum lagi kecemasan lain, seperti kemungkinan gagal mendidik anak.
Ia sering mendengar keluhan orang tua yang kerepotan mengurus anak. Tidak sedikit dari mereka yang stres dibuatnya.
Terlebih, Marini punya masalah emosi yang dikhawatirkan justru menjadi masalah dalam hubungan anak dan orang tua.
"Sampe sekarang (masalah saya) enggak kelar-kelar. Selalu mudah marah dan moody," Marini menjelaskan.
Di samping semua itu, dia punya alasan lain memilih childfree yang lebih konkret. Marini dan suaminya harus merawat bapak mertuanya yang sakit-sakitan.
Artikel lainnya: Benarkah Wanita Lebih Cepat Tua setelah Punya Anak?
Keputusan menempuh jalan childfree jelas tidak mudah. Pasalnya, pandangan ini masih asing dan cenderung bertentangan dengan anggapan umum.
Menurut Marini, keluarganya pun kebingungan dengan keputusannya memilih childfree. Mereka berusaha menasihati, tapi sejauh ini sikap Marini dan suaminya belum berubah.
Bahkan, Marini tidak jarang bersitegang dengan saudara atau temannya gara-gara pilihannya. Ia terganggu kerap ditanya, "kapan punya anak?" atau pertanyaan lain sejenis.
Biasanya, kata Marini, ujung-ujungnya selalu saja lawan bicara menceramahinya. Bila sudah begitu, Marini kerap naik pitam.
"Sudah banyak teman dan saudara yang putus hubungan dengan saya gara-gara masalah ginian," ujar Marini sambil terbahak-bahak.
Baru belakangan saja dia memilih menanggapi pertanyaan-pertanyaan orang dengan lebih kalem.
Artikel Lainnya: Apakah Sekali Berhubungan Intim Bisa Langsung Hamil?
Tiga Alasan Memilih Childfree
Psikolog Ikhsan Bella Persada, M.Psi., mengatakan banyak alasan pasangan memilih jalan childfree. Sebuah penelitian pada 2019 lalu mengidentifikasi beberapa faktornya.
Setidaknya ada tiga alasan utama pasangan memilih childfree: pemikiran pasangan yang berbeda dari orang kebanyakan; faktor finansial; pasangan belum merasa mampu menjadi sosok orangtua.
Di atas itu semua, masing-masing orang punya alasan sendiri. Ikhsan menampik anggapan pasangan yang memilih childfree sebagai orang yang egois.
Sejumlah riset menunjukkan mereka juga punya kemampuan memberikan afeksi. Mereka yang memilih childfree pun bukan berarti tidak menyukai anak.
"Jadi, sah saja jika ada pasangan yang memutuskan untuk childfree," kata Ikhsan.
Ia menyarankan pasangan yang memilih jalan childfree fokus pada komitmennya. Sebab, kata Ikhsan, mereka berdua yang tahu alasannya.
Mereka boleh saja menjelaskan alasannya kepada orang lain. Yang perlu dicatat, menurut Ikhsan, perlu juga memahami norma dan budaya lingkungan sekitar,
“Dengan memahaminya ini bisa bantu kita untuk mempersiapkan diri ketika ada orang yang tidak setuju dengan keputusan childfree,” Ikhsan berujar.
Bagi Marini dan suaminya ini adalah keputusan yang mereka ambil berdua, tanpa ada pengaruh dari luar. Bahkan dia menduga childfree akan semakin digandrungi ke depan.
Di media sosial, kata dia, sudah banyak orang mendeklarasikan diri sebagai penganut childfree. Marini dengan fasih menyebut nama beberapa akun itu.
Kendati demikian, Marini mengaku tidak saklek pada keputusannya. Dia tetap membuka kemungkinan jika suatu saat berubah pikiran.
"Misalnya suatu saat berubah pikiran mungkin bakal bikin selama masih bisa dan cukup usianya. Tapi kalau udah enggak bisa, ya, bisa jadi angkat anak," ungkap Marini.
(JKT/AMR)